Quo Vadis PEMA?
Catatan Alfian, Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA)
BANYAK masyarakat Aceh yang tampaknya tidak bisa membedakan antara PT. Pembangunan Aceh (PEMA) dan PT. Pema Global Energi (PGE).
Kedua entitas tersebut berbeda, di mana PEMA dimiliki sepenuhnya oleh Pemerintah Aceh sedangkan PGE merupakan perusahaan “joint venture” antara PEMA dengan pihak swasta, di mana PEMA memiliki 51% saham mayoritas di PGE.
PGE sendiri merupakan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang mengelola Wilayah Kerja (WK) B, di mana wilayah kerja B ini juga 10% participating interestnya diberikan kepada Pase Eenergi (PE) NSB) yang merupakan BUMD Aceh Utara.
Berdasarkan laporan keuangan yang didapat oleh penulis, PGE telah menyetor deviden ke PEMA sejak tahun 2021 hingga 2024, di mana jumlahnya USD 2.6 juta (2021), USD 4.7 juta (2022), USD 2.7 juta (2023), dan USD 4,08 juta (2024). Dengan demikian total deviden yang diterima PEMA selama 4 tahun mencapai USD 14.19 juta atau Rp 227 miliar tanpa penyertaan modal kerja 1 rupiah pun karena pihak swasta yang menanggungnya.
PGE juga memberikan bagian 10% participating interest ke PE NSB (BUMD Aceh Utara) selama 4 tahun dengan total Rp 19,2 miliar.
Seperti diketahui, berdasarkan perjanjian Helsinki semua migas di darat sampai 12 mil laut dikelola mandiri oleh Pemerintah Aceh melalui BPMA.
Data yang diterima penulis, PGE sudah memberikan bagian negara (government share) ke Pemerintah selama empat tahun dengan total sebesar Rp 515 miliar.
Penulis berusaha mencari laporan keuangan PEMA. Pada 2024 ditemukan bahwa pendapatan operasi sulfur, kopi, ikan dan lainnya sebesar Rp 17 miliar. Sedangkan pendapatan lain yang merupakan deviden dari PGE sebesar USD 4,08 juta atau sekitar Rp 65 miliar.
Dari segi beban administratif umum pada tahun 2024 dicatatkan sebesar Rp 23 miliar. Sehingga disimpulkan bahwa PEMA tidak mampu menutupi beban administrasi umumnya dengan pendapatan operasinya sendiri sehingga deviden PGE digunakan untuk kegiatan operasi PEMA. Dampaknya, PEMA hanya memberikan setoran deviden sebesar Rp 26.7 miliar kepada Pemerintah Aceh.
Dari segi performance perusahaan jika tidak ada deviden dari PGE maka PEMA akan menjadi perusahaan yang merugi secara finansial. Sehingga berita terbaru mengenai bonus tantiem dan jasa produksi sangat melukai perasaan masyarakat Aceh.
Sejatinya penghematan harus dilakukan dan pengeluaran yang belebihan tidak boleh dilakukan oleh PEMA karena sejatinya PEMA tidak bisa menghidupi dirinya sendiri tanpa deviden dari PGE.
Pembenahan PEMA perlu dilakukan dengan segera karena secara alamiah produksi WK B yang dikelola PGE akan terus menurun secara alami.
Kembalinya WK B ke Pemerintah Aceh pada tahun 2021 adalah kerja keras dari para founding father PEMA, di mana diharapkan hasil dari deviden PGE akan menjadi capex (capital expenditure) untuk PEMA melakukan usaha-usaha yang membangun ekonomi Aceh dan menyerap tenaga kerja Aceh. Bukan untuk pesta-pesta.[]