Jangan Paksa Daerah (Kembali) Menyulut Bara

Usman Lamreung

Oleh Usman Lamreung, Pengamat Politik

DI negeri ini, perlawanan tidak selalu lahir dari ambisi. Ia sering tumbuh dari kekecewaan yang dipelihara terlalu lama. Dari rasa tidak dianggap. Dari luka yang dibiarkan menganga oleh sistem yang hanya tahu mengambil, tapi lupa memberi ruang untuk bicara.

Kita pernah melihat itu. Di masa Orde Baru, banyak daerah hanya dijadikan ladang eksploitasi. Sumber daya alam diambil, tapi suara daerah tak pernah benar-benar didengar.

Aceh, Papua, dan banyak wilayah lain tahu persis rasanya menjadi bagian dari republik, tapi tidak pernah dianggap sebagai mitra yang setara.

Hasan Tiro adalah contoh nyata. Ia bukan separatis liar. Ia seorang republikan yang kecewa. Ia pernah membela Indonesia di forum internasional. Tapi ketika Aceh terus diperlakukan sebagai objek pembangunan tanpa hak politik dan ekonomi yang adil, ia memilih jalan perlawanan. Bukan karena benci, tapi karena cinta yang tak dihargai.

Reformasi 1998 datang membawa harapan. Ketetapan MPR IV/2000 lahir sebagai pengakuan bahwa otonomi daerah harus dijalankan secara nyata, luas, dan bermartabat.

Lalu lahirlah UU No. 33 Tahun 2004, yang menjamin alokasi minimal 26% dari pendapatan negara untuk Dana Alokasi Umum (DAU). Sebuah janji bahwa pusat akan mendukung daerah, bukan menekan.

Namun kini, janji itu mulai dilupakan. UU No. 1 Tahun 2022 menggantikan UU lama, tapi ruhnya hilang. Tak ada lagi angka pasti. Tak ada lagi jaminan fiskal. Daerah dipaksa menggali pendapatan sendiri, tapi tetap dibatasi.

Ketika transfer dari pusat berkurang, daerah terpaksa menaikkan pajak. Rakyat marah. Demo pecah. Kepala daerah terancam dimakzulkan. Sementara partai politik justru menuntut kenaikan dana hibah, dan jika tak dipenuhi, dukungan terhadap eksekutif bisa dicabut.

Ini bukan sekadar soal anggaran. Ini soal rasa. Rasa bahwa daerah kembali tidak dianggap. Rasa bahwa pusat lupa siapa yang menopang republik ini. Jika ini terus dibiarkan, bukan mustahil bara itu akan menyala lagi.

Pemerintah pusat harus ingat: otonomi bukan beban, tapi hak. Transfer fiskal bukan hadiah, tapi pengakuan.

Daerah bukan objek pembangunan, tapi subjek kedaulatan. Jika satu bagian tubuh republik terus disakiti, tubuh ini bisa retak. Dan jika luka lama dibuka lagi, jangan salahkan daerah jika mereka mulai bertanya: masihkah kami dianggap? []

Berikan Pendapat