Mencermati Dana Rp7 Triliun Bank Aceh Syariah, Benarkah Menganggur?
Penulis: Don Zakiyamani Al-Kotsa, Pemerhati Media Sosial dan Ruang Publik
SUASANA ngopi pagi dan sore di Banda Aceh selalu ditemani obrolan hangat. Dalam beberapa hari terakhir ini berita soal laporan keuangan Bank Aceh Syariah (BAS) 2024 menjadi bahan diskusi menarik.
Dalam laporan itu disebutkan bank meraih keuntungan Rp443 miliar, namun juga menempatkan sekitar Rp7,05 triliun di surat berharga (instrumen investasi yang mudah dicairkan, seperti Sukuk Negara, obligasi syariah, dan obligasi perusahaan nasional).
Angka Rp7 triliun ini memicu polemik karena sebagian masyarakat menilai dana rakyat Aceh seolah tidak kembali ke daerah. Namun, sebelum menilai, mari kita pahami mekanisme di balik keputusan ini.
Bank tidak bisa sembarangan menyalurkan seluruh dananya ke kredit atau pembiayaan. Mereka harus menjaga likuiditas (kemampuan menyediakan uang tunai kapan saja saat nasabah membutuhkannya) agar tidak kolaps ketika terjadi gejolak ekonomi.
Regulasi perbankan, seperti Peraturan OJK Nomor 11/POJK.03/2016 tentang Kesehatan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, mewajibkan bank menjaga rasio kecukupan modal, likuiditas, dan kualitas aset.
Dengan demikian, menempatkan sebagian dana di surat berharga bukan sekadar pilihan, tetapi bagian dari strategi manajemen risiko yang diatur secara ketat.
Surat berharga tergolong instrumen yang aman dan likuid karena dijamin negara. Dana pihak ketiga yang dihimpun bank, seperti tabungan (uang simpanan nasabah), deposito (simpanan berjangka), dan giro (rekening bayar cepat), tidak bisa semuanya dipinjamkan sekaligus.
Analogi sederhananya seperti mengelola dapur rumah tangga: sebagian uang digunakan untuk belanja harian, sebagian disimpan sebagai tabungan darurat. Jika semua uang habis untuk belanja, keluarga bisa kesulitan saat ada kebutuhan mendadak. Begitu pula bank; tanpa cadangan di instrumen aman, risiko gagal bayar bisa membahayakan kelangsungan bank.
Beberapa pihak mengaitkan dana Rp7 triliun ini dengan kucuran Rp200 triliun dari Bank Indonesia ke bank Himbara, yang dilakukan Menkeu RI, dan menyimpulkan BAS tidak produktif.
Hal ini adalah salah paham. Dana BAS berasal dari simpanan nasabah, sementara dana BI ke Himbara adalah fasilitas likuiditas untuk menstabilkan ekonomi nasional.
Kedua dana ini berbeda sumber, tujuan, dan aturan penggunaan. Memaksakan BAS menyalurkan dana seolah sama dengan Himbara akan melanggar prinsip kehati-hatian (prudential principle) dan aturan OJK.
Selain itu, menempatkan dana di surat berharga tidak berarti uang menganggur. Dana tetap produktif karena bisa dicairkan kapan saja, memberi imbal hasil halal (keuntungan sesuai prinsip syariah), dan mendukung pembiayaan pemerintah yang pada akhirnya kembali ke Aceh melalui Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus.
Dengan kata lain, BAS tetap menjaga keseimbangan antara keamanan dana dan manfaat ekonomi bagi masyarakat.
Prinsip syariah yang diterapkan BAS menekankan keadilan, transparansi, dan risiko bersama. Bank tidak boleh menyalurkan pembiayaan yang mengandung riba (bunga) atau spekulasi tinggi. Oleh karena itu, sebagian dana ditempatkan di surat berharga, instrumen yang halal, aman, dan memberi keuntungan adil bagi bank dan nasabah. Dengan cara ini, keuntungan bank tetap sesuai etika syariah, sementara masyarakat terlindungi dari risiko gagal bayar.
Langkah BAS juga sejalan dengan teori ekonomi. Teori likuiditas Keynesian menyatakan bahwa pelaku ekonomi cenderung menyimpan sebagian dana dalam bentuk likuid untuk menghadapi ketidakpastian.
Teori perputaran uang (velocity of money) menekankan bahwa uang tetap produktif meski tidak langsung masuk kredit, karena tetap mendukung aktivitas ekonomi melalui proyek pemerintah dan pembangunan lokal. Dengan pemahaman teori ini, penempatan dana di surat berharga menjadi lebih jelas: bukan menganggur, tapi strategi pengelolaan risiko dan likuiditas yang rasional.
Selain surat berharga, BAS tetap menyalurkan pembiayaan langsung ke sektor produktif lokal: pertanian, UMKM, dan infrastruktur.
Hingga Juni 2025, UMKM menerima pembiayaan Rp2,53 triliun dengan 8.072 debitur, sementara Kredit Usaha Rakyat (KUR) mencapai Rp2,2 triliun. Total pembiayaan produktif lebih dari Rp20 triliun, menegaskan bahwa meski sebagian dana ditempatkan di surat berharga, manfaat nyata tetap mengalir ke masyarakat Aceh.
Jika dianalogikan dengan kehidupan sehari-hari, tindakan BAS seperti kepala keluarga yang menabung sebagian uang di celengan aman untuk menghadapi kebutuhan mendadak, sambil tetap menggunakan sebagian dana untuk belanja, membayar sekolah anak, atau memperbaiki rumah.
Dengan cara ini, keluarga tetap aman ketika ada risiko tak terduga, namun kehidupan sehari-hari tetap berjalan lancar. Begitu pula BAS: sebagian dana di surat berharga memberi keamanan, sementara sebagian lainnya mendukung kegiatan ekonomi rakyat Aceh.
Dengan demikian, menempatkan dana di surat berharga bukan “lari” dari tanggung jawab lokal, melainkan strategi menjaga stabilitas. Bank mendapat imbal hasil halal, negara terbantu pembiayaan pembangunan, dan Aceh tetap menerima manfaat langsung maupun tidak langsung. Ibaratnya, BAS menaruh sebagian modal di “celengan negara” yang aman, sambil tetap membiayai kegiatan ekonomi lokal.
Meski begitu, kritik masyarakat tetap penting. Jika porsi dana di surat berharga terlalu besar, pembiayaan lokal bisa terhambat. Oleh karena itu, transparansi mutlak diperlukan.
Publik berhak mengetahui persentase dana di instrumen nasional dan yang dialokasikan untuk pembiayaan lokal. Data menunjukkan BAS terus menyalurkan pembiayaan produktif, menjaga keseimbangan antara keamanan dana dan ketersediaan modal untuk rakyat Aceh.
Peran ekonom, akademisi, dan media sangat krusial. Ekonom menjelaskan logika keuangan dan risiko bank, akademisi menempatkan langkah BAS dalam kerangka teori dan praktik perbankan syariah, sementara media menyampaikan informasi jernih dan kritis.
Dengan kontribusi bersama, publik tercerahkan, kritik tetap sehat, dan dukungan terhadap BAS lebih terarah. Sinergi masyarakat, akademisi, ekonom, dan media akan membuat BAS semakin kuat, transparan, dan relevan dalam mendukung pembangunan ekonomi Aceh.
Dan ingat, seperti kopi Aceh yang enak tapi tidak terlalu pahit, membaca berita keuangan harus seimbang: jangan sampai kepahitan informasi membuat kita mual, tapi cukup membangkitkan kesadaran.
Sebelum menilai sebuah berita atau angka besar seperti “Rp7 triliun yang katanya tidak produktif dan menganggur”, berhentilah sejenak untuk memahami konteks, regulasi, dan mekanisme di baliknya. Jangan langsung terjebak pada judul atau kesimpulan sepihak. Pikirkan logikanya, cek sumbernya, dan pahami prinsip dasar yang terlibat—apakah itu prinsip perbankan syariah, manajemen risiko, atau teori ekonomi.
Menjadi pembaca yang cerdas bukan berarti selalu setuju, tetapi mampu menilai secara objektif, kritis, dan tidak mudah digiring opini. Dengan begitu, kita bisa memberi kritik yang sehat dan mendukung keputusan yang bijak, tanpa terjebak pada kesalahpahaman.
Jadi, tetaplah kritis, jangan cepat terpancing, tapi nikmati proses belajar dan memahami—sedikit seperti menikmati kopi Aceh: pahitnya wajar, tapi yang penting bikin segar dan waspada. Dan jangan lupa tersenyum, karena di balik angka besar, ada strategi aman, berprinsip syariah, sesuai teori ekonomi, dan tentunya tidak serumit rasa kopi pahit yang belum ditambah gula.[]