Maop Anggaran
Oleh Nurdin Hasan/Jurnalis Freelance
DI pedalaman pelosok negeri, sebelum ada listrik, para orang tua dulu sering menakut-nakuti anak mereka dengan ancaman klasik: “Cepat balik, nanti diambil Maop!” Anak-anak pun kocar-kacir, segera masuk rumah. Mereka gentar, dibopong raksasa tak kasat mata ke pucuk pohon besar atau hutan belantara.
Lucunya, puluhan tahun berselang, ternyata Maop tak punah, padahal listrik sudah ada. Ia hanya berganti lokasi. Dari hutan rimba, ia bermigrasi ke ruang rapat parlemen, meja anggaran pemerintah, hingga pojok-pojok ruang tender proyek. Kini, ia dijuluki sebagai Maop Anggaran.
Bedanya, Maop klasik hanya mengambil anak-anak nakal, yang tidak patuh pada orang tua. Sedangkan, Maop Anggaran ternyata lebih rakus. Ia mengambil jatah rakyat. Dan, yang diambil bukan receh seribu-dua ribu, tapi miliar demi miliar yang seharusnya bisa membuat rakyat tersenyum.
Maop Anggaran juga terjadi di negeri, yang katanya menerapkan syariat Islam. Di sini, perempuan harus berjilbab, meskipun kadang pakaian ketat membalut tubuh. Pasangan non-mahram digerebek. Penyabung ayam dihukum cambuk di depan umum. Semua itu, katanya, demi menegakkan hukum syariah.
Tapi ironisnya, di ruang-ruang kekuasaan, disinyalir ada makhluk tak terlihat yang lebih ganas dari penyabung ayam, dengan taruhan sepuluh ribu, atau remaja pacaran, sambil menikmati sunset. Itulah Maop Anggaran. Ia tak pernah dicambuk, tidak pernah diarak, dan jangan harap ditangkap polisi syariah. Mungkin karena tubuhnya raksasa, cambuk pun putus sebelum menyentuhnya.
Yang lebih menarik, para “penunggang” Maop Anggaran ini justru sering tampil saleh di depan publik. Bicaranya penuh ayat. Wajahnya glowing berkat pembersih mahal, teduh dan berwibawa di balik balutan jas. Tetapi, begitu pintu rapat ditutup, telunjuknya lebih gesit dari dukun memanggil jin. Tiba-tiba, digit siluman muncul di dokumen anggaran.
Fenomena pokok pikiran (pokir) anggota dewan sering dijadikan contoh klasik. Konon, sebelum proyek dikerjakan, ia sudah ’ditender’ ke agen buat menjualnya ke kontraktor. Istilah kasarnya, Maop Anggaran melakukan _pre-order._
Bayangkan, kejadian ini seperti memesan nasi goreng ketika hujan lebat. Tapi, nasi dan telurnya belum dibeli. Bedanya, nasi goreng tetap enak meski pesannya dini. Sementara proyek yang dijual lebih dulu hampir pasti berakhir hambar. Malah, basi sebelum rakyat sempat menikmatinya.
Tak adil rasanya menyalahkan anggota parlemen. Di eksekutif, ada pejabat penyembah Maop Anggaran dengan ritual, yang tidak kalah sakral: “fee proyek”. Biasanya, sebelum kontraktor tanda tangan, ada bisikan lembut lebih menusuk daripada suara genderang perang. “Pak, ini ada sikit untuk kita, ya.”
Persentasenya bervariasi. Ada yang minta jatah 10 persen atau 20 persen. Bahkan ada yang lebih nekat mematok setengah pagu. Katanya sih, untuk “biaya koordinasi.” Entah koordinasi ke mana — mungkin ke alam gaib tempat Maop asli dulu tinggal.
Akibatnya, proyek 10 miliar dikerjakan dengan modal 6 miliar. Sisa 4 miliarnya sudah berpindah tangan ke rekening Maop Anggaran. Hasilnya, jalan cepat rusak, rumah sakit ambruk, gedung sekolah retak. Lalu rakyat disuruh sabar, sambil pejabat berkoar: “Kita sudah membangun!” Ada juga model ”sunat” jatah orang sakit atau kaum papa.
Yang lebih lucu lagi, semua orang tahu praktik ini. Dari kontraktor, wartawan, aktivis, bahkan tukang kopi di warung pinggir jalan. Nama-nama para Maop Anggaran beredar dari mulut ke mulut lebih cepat daripada gosip artis.
Tetapi anehnya, saat bicara di publik, semua pura-pura tuli. Hanya segelintir pejabat kelas ecek-ecek yang dijadikan tumbal. Sementara yang benar-benar kenyang, wajahnya selalu glowing, bajunya tetap putih bersih di balik jas.
Kalau penyabung ayam bisa kena cambuk, tetapi Maop Anggaran justru naik panggung politik sambil dikawal kamera TV. Bedanya, penyabung ayam mungkin lapar, sehingga bertaruh sepuluh ribu. Maop Anggaran? Lapar juga, tapi bukan lapar perut, melainkan haus kuasa.
Di sinilah paradoks negeri syariat terasa makin pahit sekaligus kocak. Syariat dijalankan dengan penuh ketegasan, tapi, hanya buat urusan moral rakyat kecil. Sementara urusan korupsi, yang jelas-jelas dilarang keras dalam Islam, malah jadi ruang gelap yang jarang tersentuh.
Bayangkan, di negeri yang katanya menegakkan hukum Tuhan, uang rakyat raib tanpa jejak. Hasil pembangunan compang-camping. Tentu, rakyat yang jadi korban. Mereka berharap jalan mulus, gedung sekolah bagus, dan rumah sakit layak. Tapi yang datang justru proyek abal-abal. Kalau pun roboh, semoga robohnya setelah acara potong pita, biar videonya bisa masuk Instagram dan TikTok.
Maop Anggaran memang tak terlihat. Tetapi jejaknya jelas ada: di jalan yang berlubang, jembatan reyot, jatah orang sakit dan kaum papa, serta gedung kosong tidak fungsional. Lucunya, para pelaku masih sempat ceramah soal moral, kadang malah pakai dalil.
Sejatinya, kisah Maop Anggaran mengajarkan kita bahwa korupsi bukan sekadar kasus hukum, tapi juga persoalan budaya. Di masa lalu, orang tua menggunakan mitos Maop untuk mendidik anak agar disiplin. Kini, politisi dan pejabat bermain Maop Anggaran untuk mendisiplinkan rakyat agar tetap diam.
Dulu para orang tua di kampung-kampung berkata: “Nak, jangan main menjelang senja, nanti diambil Maop.” Mungkin adagium itu perlu direvisi, “Nak, jangan terlalu percaya pada janji pembangunan, nanti diambil Maop Anggaran. Dan ingat bahwa ia lebih rajin mengaji daripada kamu.”[]