Aceh Darurat Fiskal

Usman Lamreung

Catatan Usman Lamreung/Akademisi

ANCAMAN pemotongan Transfer ke Daerah (TKD) sebesar 20-25% dari pemerintah pusat bukanlah isapan jempol belaka.

Bagi Aceh, ini adalah alarm darurat fiskal. Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, bukan sedang menggertak. Ia melontarkan peringatan tentang sebuah bom waktu yang siap meledak: gaji ribuan Aparatur Sipil Negara (ASN) bisa gagal bayar, dan proyek-proyek pembangunan berisiko mangkrak di tengah jalan.

Baca: Mualem Tolak Kebijakan Pusat Potong Dana Transfer ke Daerah

Struktur ekonomi. Aceh, seperti banyak daerah lain di Indonesia, masih bergantung pada suntikan dana pusat. Pendapatan Asli Daerah (PAD) belum cukup kuat untuk menopang beban operasional dan pembangunan. Mayoritas anggaran daerah habis untuk pos-pos rutin seperti gaji dan biaya operasional pemerintahan.

Dalam konteks ini, protes Gubernur Muzakir Manaf ke Kementerian Keuangan adalah hal yang sangat wajar. Memotong TKD bagi Aceh bukan sekadar penghematan anggaran; ini adalah tindakan yang mencekik kemampuan daerah untuk bernapas dan memberikan pelayanan dasar kepada rakyatnya.

Tingkat makro, fungsi TKD jauh lebih mulia dari sekadar mengisi celah defisit anggaran daerah. Ia adalah pilar pemerataan dan perekat integrasi nasional. Tanpa instrumen ini, kesenjangan antara Jawa dan Luar Jawa, antara kota besar dan daerah terpencil, akan melebar tak terkendali. Dana pusat memastikan bahwa prinsip keadilan berjalan—bahwa warga negara di manapun berada merasakan kehadiran negara.

Oleh karena itu, narasi bahwa daerah harus “mandiri” dan lepas dari ketergantungan pada pusat seringkali keliru konteks. Ketergantungan fiskal dalam Negara Kesatuan bukan aib, melainkan sebuah mekanisme untuk memastikan tidak ada satu daerah pun yang tertinggal.

Memperkuat PAD tentu sebuah keharusan. Namun, upaya ini tidak boleh dijadikan alasan untuk memotong komitmen pusat. Keduanya harus berjalan beriringan, bukan saling menggantikan.

Idealnya, TKD difokuskan untuk menutup kebutuhan dasar dan menjaga stabilitas fiskal, seperti membiayai gaji ASN dan pelayanan publik. Sementara itu, PAD yang diperkuat harus dialokasikan untuk mendanai sektor-sektor unggulan dan investasi strategis yang memacu pertumbuhan ekonomi daerah.

Dengan strategi kolaboratif ini, pembangunan tidak berhenti menunggu “kemandirian” yang mungkin butuh waktu puluhan tahun. Rakyat juga tidak langsung dibebani oleh kenaikan pajak dan retribusi daerah yang melambung tinggi.

Transparansi dan akuntabilitas adalah kunci. Dengan pengelolaan yang bersih dan tepat sasaran, setiap rupiah dari TKD akan menjadi bukti nyata bahwa negara hadir untuk seluruh rakyatnya dengan prinsip keadilan yang berkelanjutan. Pemerintah pusat dan daerah harus duduk bersama, bukan untuk saling menyalahkan, tetapi untuk memastikan bahwa dana rakyat benar-benar sampai untuk kesejahteraan rakyat.[]

 

Berikan Pendapat