Reza Kabur

SAYA bertemu dengannya di Orchad Road. Di sebuah kedai kuliner melayu. Di lantai empat sebuah mall. Kedai kuliner yang halal thoyibah.

Ada gado-gado, nasi pecal dan sop kambing milik seorang “wak.” Dengan nama “wak” saja so pasti menjadikannya sebagai jaminan halal.

Mall itu memang populer untuk kuliner melayu. Namanya lucky plaza. Menaungi beberapa tempat makan seperti  asian foodmaill dan minang house.

Lucky Plaza hanya sepelemparan dari tempat saya menginap. Orchard Hotel. Sebuah hotel tempo doeloe yang selalu kebanjiran tamu dari berbagai ras.

Orchad Road itu jantungnya Singapura. Negara tetangga. Negara kota…Tapi untuk menemukan kuliner thoyib sulit. Memerlukan rekomendasi. Beruntung … saya punya seorang rekomended.

Memang, sebelumnya saya kontak dengannya minta rekomendasi warung halal. Asbhabnya, saya, terutama sang istri, peka dengan makanan non-halal. Apalagi sang istri pengidap “babiphobia”.

“Babiphobia” istri saya nurulnya sudah tingkat makrifat. Sudah di ubun-ubun. Strata rasa takut yang berlebihan terhadap suatu makanan yang diasupnya haram.

Saya tahu kondisi kecemasannya bisa berujung ke puasa. Ini berisiko. Mengganggu ritme perjalanan. Saya tahu ketakutannya sudah di ranah ekstrem. Tahu pula ini merupakan bagian dari fobia spesifik.

Sebutan untuk ketakutan irasional. Yang menurut nujumnya disebut swinofobia atau porcofobia. Fobia ini bisa berasal dari pengalaman traumatis atau persepsi umum babi adalah hewan yang kotor.

Seseorang yang memiliki swinofobia atau porcofobia dapat mengalami gejala kecemasan yang parah ketika hanya mendengar dan melihat gambar ilustrasi. Bahkan saat membayangkan babi.

Ketakutan ini dipicu oleh pengajiannya yang pernah bersentuhan dengan kitab kuning. Sehingga hafal semua tajwid keharamannya.

Maaf… melencang dari topik.

Kembali ke-”nya” seperti lead tulisan ini. “Nya” ini seorang  anak muda. Tiga puluhan awal. Lulusan sebuah perguruan tinggi di negeri ini. Spesialisasi teknologi informasi. Sub-nya: data.

Pola pikirnya khas generasi muda era kini. Maju. Cerdas. Analisis. Selalu melihat prospek karier global sebagai solusi atas tantangan sosial ekonomi dalam negeri.

Kini si anak muda yang ketemu saya di Orhard Lucky Plaza itu sudah mengantongi izin tinggal tetap. Akronimnya Itap.

Itap itu adalah izin yang diberikan kepada warga negara asing untuk tinggal dan menetap sebagai penduduk tetap. Untuk anak muda itu izinnya di Singapura. Negara kota.

Status ini memberikan legalitas jangka panjang. Berbilang tahun. Beda dengan Itas. Izin tinggal terbatas.

Si anak muda ini telah melewati proses “alih status” dari Itas ke Itap. Ia tinggal pilih untuk menjadi warga negara bila peluang itu dibuka lewat tawaran.

Ia hanya tertawa ketika saya goda. Apakah akan pilih jadi warga negara Singapura yang kalau pulang kampung nantinya dapat julukan “orang asing.”

Hahahahahah…..  Ia tertawa dan saya tertawa…. Tampakny ia senang jadi warga sana… entahlah.

Saya ungkap aja. Nama si anak muda itu: Reza…. Asli meu-aceh. Ibu dan bapaknya, keduanya pe-en-es. Pegawai negeri sipil. Yang kini mutasi istilah aparat sipil negara. A-es-en.

Di Singapura Reza mengikuti jejak ibu dan bapaknya. Jadi pe-en-es. Pe-en-es beda income. Beda cuan.

Pe-en-es-nya di kementerian pendidikan. Staf pengelolaan data. Yang tahu banyak tentang status lembaga pendidikan.

Yang ia tahu juga tentang lembaga pendidikan dari anak si…apa itu…. “Ahhhh gak usah dibahas la Om..,” ujarnya mengibaskan tangan.

Mungkin si Reza takut keseret arusnya Roy Suryo.

Ah.. nggak lah.

Di negara kota itu dengan status sebagai itap dan pe-en-es, Reza menerima salary yang lebih dari cukup.

Salary Anda sudah tahu, gaji dari kompensasi finansial yang dibayarkan kepada pekerja sebagai imbalan dan dibayarkan secara rutin dalam jumlah tetap.

Ia tak mau menyebut besarannya. “Bisa mbong Om,” ujarnya tersenyum. Saya mengerti. Mengerti dan tahu dari ujarannya sebelumnya. Untuk sewa apartemen sebulan saja ia harus bayar lima puluh juta.

“Ada kompensasi lain,” katanya. Biaya pendidikan untuk anaknya yang sudah memasuki jenjang sekolah dasar nyaris gratis. Cuma tiga ratus ribu rupiah berdasarkan nilai tukar dollar Singapura.

Nah … kualitas pendidikannya wah….

Selain itu ia masih bisa nabung karena sang istri yang asal negeri Agam, Minang, bekerja di sebuah klinik prestise.

Sebelum hengkang ke negara kota itu Reza pernah kerja serabutan. Dari membantu dosen hingga ngendon di traveloka. Prospeknya gak cerah. Banyak liku dan jalan berlubang. Banyak guncangan.

Yang entah bagaimana juntrungannya tiba-tiba ia dapat link dari seorang temannya tentang adanya peluang kerja di negara tetangga itu. Ia sikat saja… Apalagi lowongan itu ada di platform resmi.

Bukan di platform media sosial. Seperti  tren viralnya tagar hoaks. Seperti yang menjelma di  tagar “kaburajadulu”.  Tagar yang hebohnya ampun. yang, katanya, diinisiasi oleh kaum muda.

Tagar ini menyebar dengan cepat melalui berbagai akun media sosial di kalangan anak muda yang kemunculannya semakin diperkuat  diaspora nasionalisme.

“Saya kabur ke negara ini bukan karena diaspora. Tapi lewat pertimbangan matang, Banyak aspek yang menjadi pemikiran,” katanya dengan santun.

Salah satu perspektif yang menjadi pertimbangannya  bisa menjadi peluang jika kembali nanti ke tanah tumpah ruah sembari membagikan pengalaman dari pekerjaannya.

“Saya percaya dibutuhkan ekosistem dan dukungan yang menarik agar para diaspora yang berada di luar negeri mau kembali,” tuturnya.

Ia menyadari ekosistem inovasi di negeri kita belum sepenuhnya optimal. “Baik dari segi insentif, upah, dukungan regulasi, perlindungan hak pekerja, dan lainnya,” jelas Reza.

Saya tahu apa yang menjadi pembenaran Reza cari kerja di luar negeri  Tahu juga ketika ia kehilangn minat untuk mengembangkan karier di dalam negeri.

Terlebih lagi, dukungan untuk hilirisasi inovasi masih minim, sehingga banyak karya yang tidak dapat diimplementasikan dengan baik ke masyarakat.

Reza menekankan bahwa untuk menghadapi tantangan ini, perlu hilirisasi penelitian dan inovasi serta menciptakan lapangan pekerjaan yang memadai bagi kaum muda di tengah bonus demografi.

Selain itu, kebijakan yang memberikan insentif dan penghargaan terhadap inovasi generasi muda juga sangat penting.

“Dukungan terhadap hilirisasi inovasi dalam bentuk pasar maupun perlindungan hak kekayaan intelektual sangat diperlukan,” ujarnya dengan tensi tinggi.

Tentang ekspektasinya tinggal dan bekerja di negara tetangga itu saya bisa mengiyakan. Tingkat keamanan dan kebahagian selalu cemerlang tiap tahun.

Sudah begitu, hidup di sana serba efisien, fasilitas lengkap, tunjangan sosial menggiurkan, dan masyarakatnya disiplin.

Gak ada pungli, tukang parkir menyebalkan, dan tidak ada janji yang molor berjam-jam. Semua aturan tegak lurus tanpa kompromi. Ya negeri yang paripurna sebagai tujuan kabur.

Sebagai wisatawan selama enam hari saya merasakan apa yang dikatakan Reza Semuanya kelihatan sempurna sampai ketika kita datang langsung ke tempatnya.

Dengan segala keteraturan dan sistem sosial yang hampir sempurna, memang bekerja sebagaimana mestinya. Mereka efisien, rapi, dan nyaris tanpa cela.

Lantas saya mengkronfontirnya. Apakah kesempurnaan tersebut tidak menjadikannya bebas dari masalah. Simpul jawabannya masalah yang dihadapinya mungkin sama seperti mereka lainnya.

Adalah adaptasi yang selalu jadi menakutkan. Seperti persyaratan level kecakapan dalam hal berkomunikasi dengan sederhana.

Di fase ini, menurutnya siapapun bisa belajar sekaligus memperoleh informasi yang dibutuhkan seputar dunia kerja. “Saya mengikutinya,” katanya.

Tidak ada yang salah. Keinginan yang sangat wajar. Ketika di negeri wakatana ini kondisi  sedang ajaib-ajaibnya.

Ketika ada yang menggoda dengan janji gaji besar, jaminan kesejahteraan, hingga pemerintahan bersih dari korupsi kenapa tidak. Yanga jangan banding-bandingkan hijaunya rumput di negeri orang.

Pengalaman awal Reza kabur dulunya tentu bukan cuma soal beli tiket dan pindah domisili.

Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan. Administrasi ribet, bahasa asing, adaptasi budaya, pengetahuan mengenai politik dan kebijakan negara yang dituju, dan lain-lain.

“Ya tentu gak sesederhana kabur aja dulu dan tak pernah menoleh lagi.”

Untuk itu juga jangan lebay, seakan negeri sendiri jamban mampet. Padahal ya, di beberapa sudut, emang iya.

Contohnya, kualitas pendidikan selain konteks sosial, geografis, demografis, dan ekonomi yang sangat berbeda.

Jangan pernah lupa penduduk negara pulau itu secuil. Enam juta sekian. Sama dengan jumlah penduduk kabupaten plus Kota Bekasi. Sedangkan negeri kita tahu sendirilah.[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”

 

Berikan Pendapat

Berita Terkait

0

Kolumnis

Darmansyah
0

Masih Terowongan

Darmansyah
0