Gak Kan Bangkrut
Oleh Darmansyah
SAYA gak percaya Aceh akan bangkrut usai dicekik te-ka-de dan heng-nya tenggat dana otonomi khusus di dua tahun mendatang. Persisnya tahun dua ribu dua puluh tujuh.
Te-ka-de Anda sudah tahu. Yang dicekik bukan hanya Aceh. Semua daerah dicekik. Yang mencekikknya Anda sudah tahu. Yang belakangan cekikannya menjadi efek…
Yang hebohnya cekikannya dipuncaki oleh delapan belas gubernur mnyeruduk kementerian keuangan. Dan viral…
Te-ka-de itu hanya salah satunya. Bukan satu-satunya.
Te-ka-de itu hanya akronim dari transfer ke daerah. Akronim jadul dari penyaluran dana yang bersumber dari a-pe-be-en untuk dialokasikan ke pemerintah daerah.
Muasal dananya dalam istilah era staglanit “lep-lap.” Bolak di balik. Dari daerah ke pusat dan dari pusat ke daerah.
Dari pendapatan negara. Dari sabang-meroke. Peruntukannya jelas. Mendanai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
Tujuannya adalah untuk mengurangi kesenjangan fiskal, meningkatkan pemerataan pembangunan, dan mendukung percepatan pelayanan publik di berbagai wilayah.
Ya terserah ajalah…
Beda dengan daerah lain. Cekikan yang membuat Aceh megap-megap adalah akan stopnya dana otonomi khusus dua tahun ke depan bila revisi undang-undang pemerintahan aceh gak di-prolegnas.
Bagi saya selain gak percaya negeri itu akan bangkrut juga tak peduli tentang rencana revisi undang-undang otonomi khusus.
Revisinya, menurut sahibul, bakal ada tambahan pasal-pasal tentang dilanjutkannya pemberian dana otonomi khusus yang angka persennya masih di langit-langit.
Bakal ada juga pasal tambahan tentang tenggat tahunnya.
Entahlah…Sekali lagi tentang revisi itu saya gak peduli. Entah juga sampai kapan masa berlakunya… terserah aja..
Ashbab tentang ketidakpercayaan saya itu datang dari mulut bocor seorang teman kemarin siang.
Saya cuma melengos ketika ia ngelantur tentang berhasilnya revisi otonomi khusus Papua dua tahun sebelum tutup buku. Otonomi prank. Otonomi gaya preman…
Untuk negeri “pucok donya” itu, saya tahu dana otonomi khusus itu kini sedang sakarat. Bacaan saya hingga pagi tadi revisi otonomi khusus itu belum menjadi prioritas di daftar prolegnas.
Entah di tengah hari nanti akan muncul “breaking news” tentang jadwal pembahasannya.
Memang…….saya menantangnya untuk memberi argumen valid dan kuat disertai peta jalan provinsi itu bisa bangkrut kalau dana totonomi khusus stop.. Bahkan saya minta progresnya.
Yang saya tantang itu seorang akademisi. Pengajar ilmu ekonomi. Ia rajin mengutak-atik data. Bicaranya lurus. Sulit di intervensi. Sulit mendengar ocehan berbeda. Ngotot.
Itu yang membedakannya dengan saya yang “lep lap.” Yang sering menyalin isi kepala orang lain dan lantas menuliskannya seperti pendapatnya sendiri. “Second opinion”
Ini memang khas style saya. Gaya jurnalis tua. Gaya seperti yang dialmi oleh banyak pasien di dunia kesehatan.
Pendapat medis yang diperoleh dengan berkonsultasi pada dokter lain selain dokter utama yang menangani suatu kondisi medis, setelah menerima diagnosis atau rencana perawatan awal.
Saya gak pernah tersinggung dengan gaya ini. Tujuannya adalah untuk mengonfirmasi atau mempertanyakan diagnosis.
Gunanya untuk mendapatkan informasi tambahan, dan mengeksplorasi pilihan lain untuk memastikan pendapat itu menjadi yang terbaik. Ya… Begitulah. Kerennya “investigasi report.”
Bagi saya aceh itu lebih mudah menjadi bangkrut karena titik..titik… Silakan apa isian titik-titik itu. Mungkin anda dan saya sudah sama tahu…
Tahu hulu dan hilirnya angka seratus triliunan lebih menguap. Angka yang sudah disalurkan pusat. Angka yang mamastikan aceh sebagai provinsi termiskin di Sumatera. Miris….
Saya gak harus berbohong bangkrutnya negeri “pucom donya “itu karena adanya metafora “gurita korupsi,” yang terjadi dan melibatkan pejabat publik
Isu korupsi di Aceh, yang digambarkan sebagai “gurita korupsi,” adalah fenomena riel yang gak memerlukan kacamata kuda untuk melihatnya.
Korupsi itu sudah bagaikan bau tahi ayam. Semua tahu tapi tak ada wujudnya. Praktiknya mengakar dari hulu hingga ke hilir.
Dari tingkat provinsi hingga ke dinas-dinas dan kabupaten. Bukan hanya di tahun-tahun sekarang, tapi juga sudah terjadi bertahun-tahun sebelumnya.
Pelakunyanya juga melimpah ruah. Anda gak perlu harus tunjuk hidung menyebut nama dan orangnya. Sudah paham..
Ini terjadi setelah dana otsus sepenuhnya dikelola oleh provinsi. Memang sudah ada alokasi tiap kabupaten maupun kota. Masing-masing dapat berapa saja sesuai kriterianya.
Seperti luas wilayah, jumlah penduduk dan lain-lain. Tapi di sana juga ada negosiasi. Dan negosiasi ini yang memunculkan potensi suap. Sogok. Gak tahu siapa yang menogok dan disogok.
Bukti bangkrutnya negeri itu hari-hari ini, seperti ditertawakan oleh seorang teman, karena pelaku korupsi gak di hukum cambuk atau potong tangan Hanya sanksi penjara biasa.
Kontradiksi dengan sanksi celana “puntong” dan gandengan gadis remaja yang digiring polisi syariat dan dihukum cambuk usai jumatan.
Padahal semua tahu korupsi merugikan publik lebih besar daripada kasus celana “puntong”
Seperti kasus korupsi yang berfokus pada dana desa dan proyek-proyek infrastruktur.
Kita sudah terlalu lama dipaksa percaya bahwa bansos, subsidi, dan akses kredit murahan adalah solusi. Padahal itu hanya mengikat rakyat dalam jerat ketergantungan.
Kemiskinan kita adalah kemiskinan struktural. Sistem ekonomi yang kita anut telah gagal menciptakan kesempatan yang adil bagi rakyat untuk mengkreasi pendapatan.
Kita diwarisi ketimpangan, dan jika dibiarkan, kita hanya akan mewariskan kemiskinan baru bagi generasi berikutnya.
Pemanfaatan dana otsus sepanjang bacaaan ditujukan untuk pembiayaan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan
Lainnya pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan.
Tujuannya mulia. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mempercepat pembangunan melalui kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengatur firinya.
Tujuan lain, berbau narasi politik, menjaga integrasi dan keutuhan bangsa, melindungi dan menghormati hak-hak dasar penduduk, serta meningkatkan kualitas dan pelayanan publik
Dengan kewenangan yang lebih luas, daerah dapat memaksimalkan potensi sumber daya alam, manusia, dan budaya untuk kemajuan dan peningkatan taraf hidup masyarakat.
Anda tahu otonomi khusus dirancang untuk mengatasi konflik dan tuntutan masyarakat agar tidak terlepas dari en-ka-r-i.
Khusus untuk aceh dana otonomi khusus akan selesai pada dua tahun kedepan. Dan siapapun tahu propinsi ini sedang tercekik mengejar ketinggalan.
Tercekik oleh sakaratnya dana otsus dan suapan te-ka-de. Layaknya bocah dengan orangtua kaya raya, ia tak mampu hidup mandiri.
Dana otsus ditelan mentah-mentah tanpa pertimbangan memutarnya menjadi modal. Lantas, bagaimana nanti ia bertahan jika dana otsus itu dicabut dari pusat?
Entahlah…
Kalau saya ditanya tentang dana otsus yang akan tercerabut itu… Biarkan saja.
Meminjam jargon menteri keuangan “koboy:” biarkan mereka mikir lagi Mikir agendanya pemanfaatannya. Mikir program prioritasnya.
Jangan mikirnya untuk banyak proyek mandek ataupun terbengkalai. Jangan banyak dramalah. Jangan banyak serial. Molor pengesahan. Silpa. Banyak ainnya.
Yang kemudiannya menjadi wacana bahan omongan warung kopi. Saya melihat belum ada pembahasan serius dan formal untuk membahas provinsi setelah dua tujuh.
Tidak terlihat ada rencana untuk mencolek sektor riil dalam strategi tersebut. Solusi lain yang lebih praktis pun ditawarkan. Aminkan saja narasi keinginan dana otsus selamanya tidak dicabut
Aminkan juga kalau gak ada solusi yang matang usai dana otsus dicabut. Abi sanda dan say akan makmun.
Kerjakan saja apa yang perlu, jangan telat lagi. Walaupun kemudian menyembul pertanyaan: bila sudah di tangan para elite proyek-proyek dana otsus itu untuk keperluan siapa?
Mengapa dana otsus tidak digunakan pada sektor-sektor riil yang dapat meningkatkan pendapatan daerah. Bukankah selama ini dana otsus habis untuk kegiatan konsumtif.
Sebenarnya bisa untuk pembangunan infrastruktur mampu mengurangi kesenjangan antarwilayah, peningkatan kebutuhan air bersih dan sanitasi, mendukung kawasan wisata, dan investasi daerah.
Pembangunan infrastruktur nyatanya tak dibarengi pertumbuhan ekonomi masyarakat. Jalan-jalan mulus tak ubahnya pajangan lengang minim aktivitas ekonomi yang bergairah oleh masyarakatnya.
Saya tahu pertumbuhan ekonomi daerah ini sejak dua puluh tahun terakhir rapornya merah. Gak pernah melewati angka pertumbuhan nasioonal. Malah pernah minus. Padahal duit bergepok.
Pernah selama tiga tahun berturut-turut, menurun drastis dan menyentuh angka minus. Bak orang kena flu berat Itu bukan kata saya. Tapi kata angka be-pe-es. Gak percaya ya udah.
Lantas kenapa Aceh belum maju?
Ah tanyakan saja kepada mereka yang menata kelola pemerintahan. Dana dana otsus seratus triliun itu diapain. []
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”