Kebijakan Pembangunan tanpa Nurani: Ketika Rakyat Hanya Jadi Penonton
Catatan Samsuar/Wartawan Portalnusa.com, Aceh Jaya
DI tengah gencarnya pemerintah daerah menggaungkan pembangunan infrastruktur sebagai simbol kemajuan, suara rakyat kecil justru kian tenggelam. Deretan proyek fisik bernilai miliaran rupiah terus digulirkan, namun manfaat riil bagi masyarakat masih menjadi tanda tanya besar.
Kritik mulai bermunculan ketika sejumlah proyek yang dikerjakan tahun ini dinilai hanya mengejar pencitraan politik semata. Di lapangan, banyak pekerjaan terkesan terburu-buru, minim perencanaan matang, dan kerap mengabaikan aspek keselamatan serta kelayakan publik.
“Yang dibangun memang ada, tapi yang menikmati hanya segelintir. Kami hanya melihat dari jauh,” ujar salah satu warga yang menolak disebut namanya dalam diskusi Rakyat Kaki Lima.
Fenomena ini memperlihatkan bagaimana pembangunan sering kali dijadikan alat legitimasi kekuasaan, bukan solusi atas problem sosial. Alih-alih memperjuangkan kesejahteraan publik, pemerintah justru terjebak dalam budaya seremonial—lebih sibuk membangun pencitraan ketimbang mendengarkan aspirasi rakyat yang mereka wakili.
Padahal, keberhasilan kebijakan publik tidak diukur dari seberapa banyak proyek selesai diresmikan, melainkan sejauh mana kebijakan itu mampu menjawab kebutuhan dasar masyarakat. Ketika pembangunan kehilangan arah keberpihakan, di sanalah nilai keadilan sosial ikut terkubur bersama idealisme pelayanan publik.
Transparansi dan akuntabilitas anggaran kini menjadi tuntutan yang terus menggema dari berbagai lapisan masyarakat. Namun sejauh ini, pejabat publik tampak lebih lihai menyusun retorika daripada membuka data penggunaan dana publik secara terbuka. Rakyat seolah terus dipaksa percaya, meski kenyataan di depan mata menunjukkan sebaliknya—jalan rusak, proyek mangkrak, dan janji manis yang tak kunjung ditepati.
Lebih ironis lagi, banyak kejanggalan yang terjadi di depan mata seolah tak tersentuh penegakan hukum. Praktik penyalahgunaan wewenang dan proyek titipan berjalan mulus atas nama pembangunan. Kekuasaan tampak begitu dominan, mengendalikan arah kebijakan demi kepentingan kelompok tertentu sambil berdalih “demi rakyat”.
Jika situasi ini terus dibiarkan, maka pembangunan hanya akan menjadi panggung kepalsuan: gemerlap di permukaan, rapuh di dalam. Rakyat yang mestinya menjadi subjek pembangunan justru terpinggirkan, menjadi penonton dari kebijakan yang dibuat atas nama mereka, namun tanpa mereka.
Kritik publik semestinya tidak dianggap sebagai ancaman, melainkan cermin bagi penguasa untuk meninjau ulang arah kebijakan. Sebab kekuasaan yang menolak dikoreksi hanyalah jalan lurus menuju kesalahan yang berulang—dan di sanalah nurani kepemimpinan diuji, apakah berpihak pada rakyat atau pada diri sendiri.[]