Bor Seulawah

Oleh Darmansyah

INILAH proyek besar pertama di Aceh  era otonomi khusus. Proyek yang terbengkalai lebih empat puluh tahun. Proyek utak-atik.  Proyek ulang-alik. Proyek pusing otak.

Kalau menurut joke seorang menteri koboi proyek ini masuk kategori mikir. Proyek layak tapi gak pernah dipikirkan.

Proyek yang sangat feasible. Yang kelayakan di atas angka dua belas. Layak secara praktis, ekonomis, dan teknis. Proyek yang dapat direalisasikan dari semua aspek, terutama menguntungkan.

Bulan Desember mendatang realisasi proyek akan dimulai. Mulai kick-off. “Get the ball rolling”.

Lokasi proyek feasible itu di Seulawah Agam. Seulawah Agam di Kabupaten Aceh besar. Aceh. Persisnya di Kecamatan Lembah Seulawah.

Seulawah Agam itu gunung berapi yang tingginya seribu tujuh ratus meter lebih dari permukaan laut.

Gunung berapi itu punya banyak nama; Solawa Agam, Solawaik, Selawadjanten, dan Goldberg.

Seulawah itu sendiri nama dataran tinggi. Pegunungan. Memiliki dua puncak. Agam dan inong. Lelaki dan perempuan. Yang inong sering juga disapa dengan Seulawah Dara.

Khusus yang agam kawahnya masih aktif. Memiliki nama unik di lingkungan peneliti gunung api. Heutsz.

Diambil dari nama seorang jenderal tentara belanda yang pernah memimpin ekspedisi penaklukan dalam perang Aceh. Heutz juga pernah jadi gubernur militer di Aceh. Van Heutz.

Penduduk di sekitar gunung api itu menamakan kawahnya tanah simpago.

Seperti yang saya kutip dari laman vulkanologi, Seulawah Agam ini merupakan gunung api aktif.

Secara berkala terjadi suara gemuruh dan asap keluar dari kawahnya.

Menurut catatan data sesmik kegunung-apian pusat vulkanologi lembaga ini sering menaikkan statusnya menjadi waspada karena terjadi peningkatan aktivitas vulkanik, terutama kegempaan.

Terakhir status waspadanya dikeluarkan dua belas tahun silam ketika peningkatan aktivitas kegempaan vulkanik berada di atas ambang normal.

Baik Seulawah Agam maupun Seulawah Inong ini, menurut hasil peneletian, terbentuk akibat pertemuan lempeng indo-australia yang bergerak relatif ke utara, menujam di bawah lempeng kerak benua eurasia.

Akibat penujaman itu terjadi proses peleburan kerak samudera indo-autralia menjadi magma, yang kemudian menerobos ke permukaan melewati zona lemah dan terbentuklah gunung Seulawah Agam.

Selain Seulawah Agam ada juga Seulawah Inong. Seulawah perempuan. Berdampingan. Tapi sudah tidak aktif, Mungkin sudah menapuse. Maklum perempuan baya….Hahahaha.

Kedua gunung ini berjarak enam puluh kilometer dari Kutaraja yang kini bernama Banda Aceh.

Maaf untuk pelajaran geografinya.

Kembali ke cerita proyek.

Dua hari lalu saya ditelepon. Yang nelepon minta ketemu. Sekalian jumat-an bareng plus makan siang “kuah beulangong” di keudai nasi aceh “apa nu” kawasan Kranji.

Keude bu Apa Nu itu berhampiran dengan stasion ka-er-el. Dari rumah saya stasiun ini sehampiran. Cuma sepuluh menitan.

Saya sering ke sana. Stasiun itu telah menjadi salah satu urat nadi transportasi publik yang tak tergantikan. Ia menjadi bagian penting dari jaringan commuter line yang sering saya sambangi.

Tiap hari melayani ribuan penumpang yang mengandalkan kereta sebagai moda transportasi utama untuk berbagai wilayah lainnya. Lebih dari sekadar tempat naik turun penumpang.

Kesanalah janjian saya. Janjian shalat dan kuah beulangong. Di jumaatan lagi ….wkwkwk….

Yang nelepon itu seorang anak muda. Ia murid saya di kelas penulisan tebet barat. Gak murid benaran. Lebih pasnya salah seorang peserta komunitas penulis.

Komunitas anak-anak muda mencari tantangan. Tantangan untuk menulis yang baik. Terutama esai.

Ia seorang profesional. Lulusan geologi  i-te-be yang lanjut ke Kansas, Kini bekerja di pe-ge-e.

Pertamina geothermal energy. Anak usaha Pertamina. Yang punya ladang geothermal Seulawah Agam.

Posisinya di strata middle manajer. Manajer klas menengah. Gak punya hubungan dengan klas pendapatan menengah. Anak muda ini sudah masuk klas mapan.

Saya sering ketemuan usai menjadi gaidennya ketika survei lanjut ke Seulawah Agam. Seulawah yang memiliki potensi geothermal menjanjikan.

Besaran potensinya, seperti yang saya dapatkan di brosur survei terbaru: tiga ratus dua puluh em-we. Megawatt. Jumlah ini lebih dari setengah kebutuhan puncak listrik di negeri itu.

Selama ini Aceh membutuhkan enam ratus tiga puluh satu megawatt di saat beban puncak. Sedangkan ketersediaan daya listriknya sekarang mencapai seribu empat megawatt. Surplus daya.

Surplus ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan daya di provinsi tetangga.

Si teman selalu membanggakan potensi geothermal sebagai pilihan terbaik green enerji. Dan negeri ini merupakan  pemilik enerji ini terbesar di dunia. Yang sudah jadi listrik baru secuil. Keciiilll.

 

Selama puluhan tahun, panas bumi hanya jadi bahan presentasi. Potensinya besar, tapi tak kunjung jadi nyata. Negeri ini  disebut punya cadangan panas bumi terbesar di dunia.

Padahal green energi itu asli milik negeri ini. Kalkulasi harga listriknya bila sudah berproduksi sangat murah. Lebih murah dari solar cell. Tapi investasinya memang mahal.

Kalau berhasil “green”-nya luar biasa. Tanpa perlu beli bahan baku. Boleh dikata seumur hidup mesinnya.

Para ahli selalu terbentur cara memulainya.

Ya, seperti di Seulawah itu. Yang menjadi proyek kerlap-kerlip. Proyek yang hidup-padam. Sebab untuk mengerjakannya diperlukan investasi sebesar –Anda bisa hitung sendiri.

Tidak mungkin ada perusahaan di negeri ini yang punya uang segitu besar.

Saya belum lupa: proyek Seulawah Agam ini sudah dicanangkan sejak era swasembada energi. Sejak gas arun masih jaya-jayanya. Kala sumur ladang gas arun masih belum mongering seperti hari-hari ini. Sudah lebih dari empat puluh tahun lalu.

Saya sendiri pernah membuat laporan investigasi dengan judul: proyek jalan buntu. Setiap ditemukan jalan keluar selalu saja jalan itu buntu.

Orang-orang geothermal tahu jalan buntu terakhirnya. Seperti di Seulawah Agam. Ketika pendana dari sebuah konsosium Jerman bernama we-ka-ef  menyerah. Angkat tangan. Sepuluh tahun lalu.

Saya sendiri pernah menjadi orang setengah calo untuk investor Cina. Menawarnya ke pe-ge-e. Lantas mereka angkat jari sepuluh dan tabik pergi karena gak ada bank yang sanggup mendanai.

Entah kini. Saya gak tahu…

Yang tahu itu anak muda yang middle manajer di pe-ge-e itu.

Ia mengatakan kepada saya tentang teknik staging untuk menggerek gheotermal. Dikerjakan bertahap.

Dimulai dari kapasitas rendah. Yang penting segera dimulai. Seperti di Seulawah Agam itu. Desember nanti pengeboran pertamanya dilakukan.

Mereka akan melakukan pengeboran lewat beberapa tahapan. Mulai dari eksplorasi lokasi, penggunaan peralatan bor khusus yang menembus kerak bumi hingga kedalaman tertentu.

Juga harus dipantau sirkulasi lumpur bor untuk membersihkan serpihan dan menstabilkan lubang, serta pemasangan casing untuk mencegah keruntuhan dan melindungi air tanah.

Setelah sumur mencapai kedalaman yang ditargetkan, fluida panas bumi diangkat ke permukaan untuk digunakan. Lantas sumur ditutup dengan nat khusus untuk meningkatkan perpindahan panas.

Tentang jenis bor yang digunakan ia tak mau menyebut spesifikasinya. “Gak ada nama khusus. Bisa beberapa jenis mata bor dan rig yang umum digunakan,” katanya. Tergantung pada kondisi geologi. 

Saya diberitahu mata  bor yang popular itu pe-de-ce. Polycrystalline diamond compact. Lainya down-the-hole dan mata bor drag.

Semuanya tergantung efisiensinya dalam formasi lunak hingga keras dan mampu bekerja pada kecepatan tinggi.

Dengan akurasi penjelasannya saya berani tulis inilah proyek besar pertama di Aceh di dekade terakhir.

Dengan nilai empat trilunan rupiah lebih. Setara dengan dana otonomi khusus yang diberikan ke Aceh selama setahun. Pasti gak setara dengan pabrik ban atau pun celunguk kandang ayam di Cina.

Sebagai tambahan, secara khusus saya diceramahi tentang teknik staging.

Ia mengatakan, mengacu pada penggunaan beberapa tahapan pemisahan uap untuk mengoptimalkan produksi listrik dari fluida panas bumi tipe flash steam.

Teknik ini memanfaatkan fluida panas bumi yang berupa campuran air panas dan uap.

Dengan menurunkan tekanan secara bertahap, lebih banyak uap bisa dihasilkan untuk memutar turbin dan meningkatkan efisiensi total pembangkit.

Teknik ini nantinya akan bisa menurunkan biaya investasi

Dengan cara staging itu cash flow perusahaan akan lebih baik. Perusahaan bisa segera dapat uang untuk menggerakkan proyek pengembangan berikutnya.

Geothermal Seulawah Agam beruntung. Era pemerintahan omon-omon ini ia seperti dapat booster baru. Swasembada energi menjadi salah satu prioritas.

Apakah itu berarti prioritas pendanaan negara pun akan mengutamakan proyek seperti geothermal?[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”
Berikan Pendapat

Berita Terkait

Rakyat Em-er-te

Darmansyah
0

Botani Nilam

Darmansyah
0

Mandai Tertawa

Darmansyah
0