Di Sebuah Era
Oleh Darmansyah
SAYA takzim ketika ia mengatakan: “kita kini hidup di era itu. Era penipuan universal. Ketika kebenaran sering salah tingkah. Dan kebenaran bukan lagi sesuatu yang mutlak.”
Saya bahkan tahu kebenaran itu sering dinyaringkan oleh narasi. Diproduksi dengan harga mahal. Disebarkan secara luas.
Ia telah menjadi komoditas: diperjualbelikan, dipelintir, dan dipoles oleh penjual ilusi untuk melayani nafsu kekuasaan dan kekayaan.
Untuk itu kebenaran memerlukan tindakan revolusioner.
Saya setengah jengah mendengar uraiannya. Nanar dengan analisisnya yang bersilang sengkarut sehingga saya harus menulis ulang setiap ungkapannya. Mengutip ucapannya.
Itu kamarin. Di sebuah kafe. Di Kemang. Di sebuah diskusi yang cair. Tentang era digital yang kebenarannya memerlukan penulisan ulang.
Bukan penulisan ulang sejarah seperti ide bongek ala Fadli Zon.
Tentang era itu, katanya, mereka ada di mana-mana. Para buzzer yang menari di atas papan ketik, menjual kebohongan demi secuil rupiah.
Dia mengutip ucapan seorang filsuf yang saya lupa mengeja namanya kembali.
“Mereka bukti nyata yang membuat seseorang sulit memahami sesuatu, ketika gajinya tergantung pada ketidakpahamannya.”
Lantas, bagaimana mungkin kita meminta mereka untuk jujur, ketika mata pencaharian mereka justru bergantung pada menyuburkan kebodohan dan perpecahan?
Ya.. saya tahu yang dipersandingkan adalah para influencer, pemburu popularitas yang haus validasi. Mereka memproyeksikan citra, bukan realitas.
“Setiap orang melihat apa yang kamu tampakkan, sedikit orang yang merasakan apa yang kamu sembunyikan sebenarnya.”
Mereka menampilkan kesan soliditas pada angin, memoles kebohongan hingga terlihat seperti kebenaran, tanpa peduli pada kerusakan sosial yang ditinggalkannya.
Mereka adalah arsitek dari “kebenaran yang disepakati bersama” dan yang palsu.
Lalu, di tengah hiruk-pikuk kebisingan ini, ada yang memilih untuk diam. Masyarakat yang pasif, yang acuh, yang berkata, “Ah, itu urusan mereka.”
Diam dalam gelombang disinformasi bukanlah tindakan yang netral. Diam adalah persetujuan. Diam adalah bentuk pasif dari “menyetujui kebohongan bersama” itu.
Setiap kali kita menggulir layar tanpa verifikasi, setiap kali kita mengangkat bahu dan berkata “biasalah politik.”
Kita membiarkan racun itu merasuk lebih dalam, menggerogoti fondasi kebenaran yang seharusnya kita jaga bersama.
Dan bagaimana dengan para mahasiswa, yang dahulu digdaya sebagai agent of change? Banyak yang masih berjuang, tetapi tidak sedikit yang idealismenya telah terkooptasi.
Terperangkap dalam jejaring kuasa yang halus: dibujuk dengan proyek, dibungkam dengan janji beasiswa, atau sekadar dialihkan dengan hiruk-pikuk kehidupan kampus yang tidak substansial.
Mereka lupa bahwa revolusi dimulai dari pikiran. Tugas utama mereka adalah memahami, bukan hanya mengejar nilai. Ketika mereka diam, sebuah generasi kehilangan suaranya.
Di tengah banjir kebohongan ini, institusi pendidikan: sekolah dan universitas, seharusnya menjadi benteng terakhir penjaga kebenaran. Namun, benteng ini sedang dikepung.
Maraknya isu ijazah palsu bukan hanya skandal administratif; ia adalah simbol yang sangat beracun.
Ia adalah pesan bahwa gelar dan ilmu bisa dibeli, bahwa integritas bisa dipalsukan. Ketika kredibilitas ilmu dan pendidikan dijual, apa lagi yang tersisa?
Kampus dan sekolah harus kit dan membersihkan rumahnya sendiri.
Mereka harus kembali pada misi suci: mencetak manusia yang bukan hanya pintar, tetapi juga berintegritas, yang mampu membedakan fakta dari ilusi, dan berani menolak pemalsuan.
Perang ini tidak akan dimenangkan tanpa mengerahkan pasukan terbesar dan terpenting: para ibu. Ibu-ibu rumah tangga, yang sering dianggap silent majority, adalah garda depan pertahanan.
Perang melawan kebohongan dimulai dari meja makan. Dari ibulah anak belajar nilai kejujuran pertama kali.
Dari ibulah mereka belajar untuk tidak mudah menyebarkan kabar yang belum pasti kebenarannya.
Seorang ibu yang kritis dan melek informasi akan membesarkan anak-anak yang tidak mudah ditipu oleh buzzer atau politikus licin.
Emak-emak punya kekuatan untuk mengarahkan masa depan anak-anaknya dengan menyuapi mereka bukan hanya dengan nasi, tetapi juga dengan kebenaran dan nilai-nilai luhur.
Maka, ini adalah seruan untukmu, Generasi Z. Kalian adalah generasi yang paling melek teknologi, yang paling lincah bermedia sosial.
Kalian punya kekuatan yang tidak dimiliki generasi sebelumnya: kemampuan untuk memverifikasi, untuk menyebarkan informasi dengan cepat, dan untuk membangun solidaritas global.
Jangan biarkan masa depan kalian dicemari oleh kebohongan yang dijual hari ini.
Masa depan politik, ekonomi, dan sosial adalah warisan yang akan kalian terima. Jika kalian pasif hari ini, kalian akan mewarisi dunia yang penuh dengan puing-puing kebenaran. Bangkitlah!
Jadilah tindakan revolusioner itu dengan mengatakan yang benar, sekecil apa pun. Jadilah konsumen informasi yang kritis. Gali lebih dalam, jangan terima mentah-mentah.
Tantang setiap narasi yang terasa janggal. Jangan sampai gajimu, popularitasmu, atau kenyamananmu, bergantung pada ketidakpahaman.
Karena, seperti peringatan Orwell yang lain, politik bahasa dirancang untuk membuat kita menerima yang tidak masuk akal. Jangan biarkan mereka mencuri masa depanmu dengan kata-kata indah yang kosong.
Kebenaran membutuhkan keberanian untuk menyuarakannya, dan kebijaksanaan untuk mengenalinya. Di pundakmulah tugas mulia itu sekarang berada.
Maka, ini adalah seruan untuk perang semesta. Sebuah pertarungan yang tidak hanya melawan kebohongan, tetapi untuk keadilan, melawan kemiskinan, dan mengikis ketimpangan sosial yang diperparah oleh kabut bohong itu.
Jadilah tindakan revolusioner. Gunakan kecepatan jempolmu untuk menyebarkan verifikasi, bukan hoaks.
Berbenahlah. Kembalikan martabat ilmu pengetahuan sebagai cahaya yang menerangi, bukan sebagai komoditas yang diperjualbelikan.
Ambil peranmu. Jadikan rumahmu sebagai sekolah pertama yang mengajarkan kejujuran. Didiklah anak-anakmu menjadi manusia yang merdeka pikirannya.
Berhenti diam. Kebenaran yang dipelintir oleh penguasa dan oligarki akan terus berkuasa jika kita memilih untuk acuh.
Di tangan kitalah demokrasi ini dipertaruhkan. Perang dimulai dari genggaman ponsel, dari ruang kuliah, dan dari meja makan kita.
Di negeri ini, demokrasi bukanlah kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Ia lebih mirip sirkus yang dimainkan oleh segelintir elit, sementara rakyat cukup menjadi penonton yang tertawa, menangis, dan akhirnya pulang tanpa menyadari bahwa mereka baru saja ditipu.
Demokrasi tanpa pendidikan adalah bencana. Dan penguasa yang takut pada kecerdasan rakyat adalah mereka yang tahu bahwa tanpa kebodohan, mereka tidak akan bertahan lama.
Rakyat yang bodoh adalah jaminan umur panjang bagi kekuasaan. Di berbagai negara, kebijakan yang memperbodoh rakyat selalu menjadi senjata utama untuk mempertahankan dominasi.
Bau busuk demokrasi yang dijalankan tanpa pendidikan. Ia membandingkan masyarakat dengan kapal di tengah lautan.
Jika kapal itu dinakhodai oleh orang-orang yang tidak paham navigasi, hasilnya adalah bencana.
Begitu pula dengan negara yang dipimpin oleh orang-orang yang dipilih oleh rakyat yang tidak memiliki pemahaman mendalam tentang politik dan kebijakan publik.
Menangkan perang ini, bukan untuk kita, tetapi untuk masa depan yang layak untuk diwarisi.[]
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”



