Buktikan, DNA Saudagar Aceh Belum Punah

Nurdin Hasan

Nurdin Hasan | Jurnalis Freelance

PADA 22 November 2025 nanti, akan digelar Muzakarah Saudagar Aceh dengan tema sungguh mulia: “Strategi Produk Lokal Menembus Pasar Global”. Ini adalah judul yang sangat ambisius, atau mungkin terlalu berharap, mengingat realitas ekonomi Aceh hari ini.

Muzakarah ini harus menjadi momentum yang membuat kita semua tersenyum bahagia, saat menyeruput kopi Arabika Gayo. Senyum karena mengenang sungguh kerennya bansa tseunebeh dahulu dan getir melihat betapa kocaknya kondisi kita sekarang.

Dulu, Aceh tersohor sebagai Venice of the East — pusat perdagangan maritim yang mengontrol lada dunia. Sekarang? Kita lebih mirip Contractor’s Paradise, surganya pengusaha yang pusing memikirkan termin proyek, bukan jadwal ekspor.

Mari kita jujur dan buka kembali album sejarah. Para saudagar Aceh zaman sebelum Indonesia ada kalau flexing (pamer kekayaan) beda level. Di Penang, Malaysia, komunitas pedagang Aceh bukan cuma sibuk berdagang. Mereka berorganisasi di bawah nama ”Aceh Traders Association” (Asosiasi Saudagar Aceh). Bukan sekadar berorganisasi, tapi patungan untuk kegiatan amal dan sosial.

Amal macam apa? Mereka menyumbang dana paling besar selama hampir dua dekade untuk pembangunan Rumah Sakit Lam Wah Ee, tahun 1883. Ya, Anda tidak salah baca. Para saudagar Aceh ikut membangun rumah sakit di luar negeri. Keren, kan!

Bayangkan kontrasnya. Dulu, orang Aceh donasi rumah sakit bertaraf internasional. Sekarang, sebagian pengusaha kita berebut tender proyek pembangunan pagar puskesmas.

Lompatan sejarah paling epik terjadi di awal kemerdekaan Indonesia. Ketika negara masih seumur jagung dan terancam bangkrut, siapa yang datang membawa koper emas? Rakyat bersama para saudagar Aceh yang tergabung dalam GASIDA (Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh).

Mereka patungan, menyumbang emas buat membeli pesawat pertama RI: Seulawah RI-001. Pesawat itu kemudian menjadi cikal-bakal lahirnya Garuda Indonesia — maskapai penerbangan pelat merah yang kini dilaporkan kerap merugi triliunan rupiah. Ada juga kisah Teuku Markam yang menyumbang 28 kg emas untuk puncak Tugu Monas.

Merekalah saudagar sejati. Modal murni, keberanian global, dan solidaritas nasional. Saudagar Aceh bukan berbisnis di bawah payung Otonomi Khusus. Mereka berdiri di bawah payung risk-taking ganasnya Samudra Hindia dan Selat Malaka.

Lalu, apa yang terjadi setelah era gelombang emas itu dan dilanjutkan tsunami hingga akhirnya konflik bersenjata pun berhenti? Datanglah Dana Otonomi Khusus (Otsus). Sejak 2008, lebih 100 triliun rupiah digelontorkan dari Jakarta ke Serambi Makkah. Ini bagai hadiah kompensasi perang yang tak pernah habis. Tujuannya sangat mulia? Mencetak “kesejahteraan rakyat”…!

Hasilnya? Ini bagian paling getir. Penelitian secara ilmiah dan pengamat menyimpulkan bahwa dana Otsus yang luar biasa gede belum berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Aceh. Selama 18 tahun, dana Otsus laksana harta karun yang menciptakan kehampaan ekonomi. Inilah akar masalahnya. Nanggroe keuneubah endatu bagaikan terperangkap dalam jebakan ekonomi para pengelola duit rakyat.

Dorongan dan jejak petualang saudagar Aceh seolah rusak dan berhenti. Mungkin sebagian kita berpikir, kenapa harus susah-susah memikirkan bagaimana Kopi Arabika Gayo menembus pasar B2B global di Belgia atau Eropa. Sebab itu tentu saja perlu proses yang ribet, butuh sertifikasi mutu, dan risikonya juga tinggi.

Sebagian pengusaha kita seolah mengalami transformasi identitas. Dari keturunan pedagang ulung yang diperhitungkan di kawasan regional Asia Tenggara, menjadi “raja proyek tembok”, yang mahir lobi di lantai dinas daripada bursa komoditas global. Energi, modal, dan waktu dihabiskan untuk berebut kue anggaran, bukan memanggang produk unggulan ekspor.

Akibatnya, kita menjadi daerah yang secara fiskal sangat tergantung pada dana perimbangan dari pusat. Ibaratnya, Aceh adalah influencer dengan jutaan followers (Otsus), tapi tak punya banyak produk untuk dijual. Kita seakan-akan hanya sibuk menghabiskan endorsement Jakarta.

Muzakarah Saudagar Aceh, pada 22 November 2025 harus tegas. Ini bukan waktunya flashback nostalgia tanpa aksi nyata. Pertemuan ini harus menjadi panggung untuk menonjolkan bahwa saudagar Aceh masih mampu bernapas di luar ranah proyek pemerintah.

Langkah awal yang mungkin bisa dilakukan adalah manfaatkan Kopi Gayo yang memang sudah go international. Lalu, rempah-rempah, dan hasil laut yang memang sangat melimpah. Dan, paling penting tidak merusak lingkungan, seperti usaha tambang yang banyak muncul selama ini.

Untuk itu, tentu perlu peningkatan kualitas dan penguasaan branding premium. Sebab ini adalah kunci untuk bisa bersaing dengan produk yang sama dari belahan dunia lain. Jangan cuma menjual bahan mentah, tapi ekspor martabat dan value!

Selain itu, segera kembangkan pelabuhan di Aceh agar barang ekspor tidak perlu numpang ke Sumatera Utara. Langkah ini sesuai dengan komitmen Gubernur Muzakir ”Mualem” Manaf yang beberapa kali bilang ingin melepaskan ketergantungan pada Medan, meskipun itu sangat sulit.

Pelabuhan Langsa, Krueng Geukueh, Malahayati, dan Sabang sudah sangat lama mati suri. Saatnya mereka bangkit dari tidur panjang, untuk mengembalikan marwah endatu.

Lalu, yang tak kalah penting adalah reformasi total dana Otsus. Ini yang paling menyakitkan. Alihkan duit Otsus dari proyek ”cilet-cilet” infrastruktur yang tidak signifikan menumbuhkan ekonomi, ke program inkubasi wirausaha ekspor dan insentif modal kerja non-kontraktor. Berikan insentif fiskal yang jauh lebih menggiurkan bagi eksportir sejati ketimbang untuk kontraktor kelas teri.

Jika Muzakarah ini hanya melahirkan wacana dan lagi-lagi didominasi oleh perbincangan tender proyek tahun depan, maka kita harus siap-siap menjadi generasi yang dikenang sejarah karena telah mengganti emas Tugu Monas dengan paving block.

Akhirnya, mari kita buktikan, DNA saudagar Aceh belum punah. Mereka hanya sedang tertidur pulas (mungkin) akibat konflik berkepanjangan, ditambah buaian mimpi proyek APBA. Saatnya bangkit! Ambil kapal (atau setidaknya, mobil kontainer), dan kembali merajai Selat Malaka dan Samudra Hindia.

Jangan lihat Aceh dari Jakarta karena kita berada di ujung dan kerap dilupakan. Tapi, tengoklah peta nanggroe seperti endatu kita dahulu, karena letaknya di tengah dan sangat strategis. Selamat bermuzakarah, para saudagar bansa tseuneubeh![]

Berikan Pendapat

Copyright © 2025. Portalnusa.com – All rights reserved

Berita Terkait