Sumbatan Moral Elite dan Janji Palsu Reformasi
Oleh: Sri Radjasa/Pemerhati Intelijen
RAKYAT sebagai bangsa, kita ini ibarat pungguk merindukan bulan, selalu terpikat oleh kemasan politik yang baru, yang berjanji akan “berpihak pada rakyat”, tapi isinya tetap sama: bagi-bagi kue kekuasaan antara para elite dan kaum oligarki.
Indonesia sudah puluhan tahun merdeka, tetapi kita tidak pernah benar-benar menikmati suksesi yang tulus.
Setiap pergantian pemimpin selalu diwarnai konflik, seolah kita baru merdeka kemarin sore. Kebijakan presiden sebelumnya dianggap duri dalam daging yang harus dibuang, menciptakan ketidakpastian abadi.
Yang paling menyakitkan, semua hiruk pikuk politik itu tidak pernah menyentuh persoalan mendasar berupa kesulitan hidup rakyat jelata. Harta bumi kita dikuasai siapa? Mari kita lihat fakta.
Sejak reformasi, kekayaan alam Aceh hingga Papua mulai minyak, batu bara, emas, nikel, dan lainnya jika dihitung, nilainya mencapai angka fantastis ribuan triliun. Ini bukan sekadar angka. Ini adalah modal dasar yang, menurut Pasal 33 UUD 1945, seharusnya digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Seharusnya, dengan modal sebesar itu, utang luar negeri bisa lunas, tidak ada lagi anak Aceh yang menderita gizi buruk, setiap anak bangsa bisa sekolah, dan setiap kepala keluarga punya pekerjaan layak. Namun, apa yang terjadi? Reformasi yang diharapkan membawa kebaikan, nyatanya justru membuka pintu selebar-lebarnya.
Undang-undang kita seolah mencerminkan liberalisme buta, memberi karpet merah kepada oligarki, mafia tambang, dan investor asing untuk merampok warisan Ibu Pertiwi.
Kedaulatan negara atas kekayaan alam kita sudah digadaikan. Kita, rakyat pemilik sah, hanya jadi penonton, bahkan korban, di tanah sendiri.
Masalah moralitas
Biang keladi kekacauan ini bukan karena kita bodoh mengelola tambang, atau tidak punya teknologi canggih. Masalah utamanya adalah moralitas dan kejujuran para penguasa.
Dari rezim ke rezim, sektor tambang ini selalu dijadikan “bancakan”. Pejabat, aparat penegak hukum, dan aparat keamanan ramai-ramai berkolaborasi dengan pemilik modal. Kita berani menuding, para penguasa negara sejak merdeka adalah otak pelaku perampokan harta warisan untuk anak cucu kita.
Ada pepatah mengatakan, binatang buas pun tidak akan memakan anaknya sendiri. Tapi hari ini, kita melihat penguasa negara seolah lebih kejam, menghabiskan jatah kemakmuran anak bangsanya sendiri.
Langkah penindakan kejahatan korporasi yang dilakukan Presiden saat ini memang baik. Namun, jika tidak dibarengi dengan perubahan sistem yang mendasar dan berkelanjutan, penindakan ini hanya akan berujung pada “ganti pemain”. Kejahatan tetap berjalan, hanya pelakunya yang berganti.
Pada akhirnya, kita hanya disuguhkan sinetron yang tidak pernah tamat. Kita melihat wajah-wajah baru di Istana, tapi nasib rakyat kecil tetap sama yaitu menjadi korban dari kekuasaan yang selalu setengah hati untuk menyejahterakan kita. []




