Indonesia Gelap Berawal dari Aceh?
INDONESIA gelap adalah sebutan untuk gerakan protes mahasiswa dan masyarakat yang ramai pada Februari 2025.
Aksi ini menggunakan tagar #IndonesiaGelap di media sosial sebagai respons kritis terhadap kebijakan pemerintahan baru (Presiden Prabowo) yang dianggap merugikan rakyat, seperti isu kelangkaan gas, efisiensi anggaran yang berdampak PHK, dan pemotongan tunjangan pendidikan, yang mencerminkan ketakutan akan masa depan bangsa yang suram.
Indonesia gelap yang digaungkan mahasiswa merupakan refleksi sikap kritis dan tanggung jawab terhadap kondisi bangsa yang terancam gelap akibat berbagai kebijakan yang dianggap salah.
Tagar #IndonesiaGelap sekaligus bentuk “perlawanan” terhadap visi Indonesia Emas 2045 yang bertujuan menjadikan Indonesia negara maju, adil, makmur, berdaulat, dan menjadi salah satu dari lima kekuatan ekonomi terbesar dunia pada peringatan 100 tahun kemerdekaan RI.
Bencana Sumatra
Setelah hiruk pikuk gerakan protes mahasiswa dengan mengusung tagar #IndonesiaGelap—sementara visi Indonesia Emas 2045 masih harus menunggu dua dekade lagi—tiba-tiba pada akhir 2025 bencana hidrometeorologi meluluhlantakkan Sumatra.
Bencana Sumatra berupa terjangan banjir bandang dan longsor mendera tiga provinsi, yaitu Aceh, Sumut, dan Sumbar.
Dampak bencana Sumatra sangat luar biasa. Mengutip berbagai sumber resmi, hingga 13 Desember 2025 korban meninggal mencapai 990 jiwa, hilang 218 jiwa, terluka 5,4 ribu jiwa, dan pengungsi tembus ratusan ribu jiwa.
Data tersebut belum termasuk kerusakan yang sangat masif infrastruktur, fasilitas publik, dan hilangnya tempat berusaha masyarakat.
Aceh gelap
Salah satu dampak paling fatal yang dirasakan korban bencana Sumatra adalah hancurnya instalasi listrik PLN termasuk di Aceh.
Hingga dua pekan pascabencana, listrik belum ada tanda-tanda pulih. Masyarakat dan pelaku usaha menderita. Puing-puing kehancuran di zona bencana semakin sempurna dibalut kegelapan.
Malam hari di banyak wilayah Aceh kini menjadi waktu yang paling sunyi sekaligus paling menyakitkan. Aktivitas ekonomi terhenti, usaha kecil mati perlahan, anak-anak belajar dalam cahaya seadanya, dan rumah sakit serta fasilitas publik bekerja dalam keterbatasan. Rakyat bertanya-tanya: sampai kapan keadaan ini harus ditanggung?
Pemerintah melalui PT PLN (Persero) telah mengerahkan ribuan personel dari berbagai daerah, bahkan melibatkan TNI dan Polri untuk mempercepat pemulihan jaringan listrik yang rusak akibat bencana. Namun di lapangan, kenyataan yang dirasakan warga jauh dari kabar optimistis yang disampaikan ke publik.
Pernyataan sejumlah pejabat pusat yang menyebut pemulihan listrik telah mencapai lebih dari 97 persen justru memicu kekecewaan mendalam. Bagi masyarakat yang masih hidup dalam gelap, angka-angka itu terasa asing dan tidak mencerminkan realitas sehari-hari.
“Yang kami rasakan bukan persentase, tapi kegelapan,” ujar seorang warga Banda Aceh.
Janji yang diulang tanpa bukti hanya menambah luka.
Lebih dari sekadar listrik yang padam, krisis ini telah menghantam sendi-sendi ekonomi rakyat.
Pedagang kecil kehilangan penghasilan, nelayan kesulitan menyimpan hasil tangkapan, dan pelaku UMKM terpaksa menutup usaha. Aceh seperti dipaksa menanggung bencana kedua: krisis layanan publik.
Kekecewaan juga diarahkan kepada para wakil rakyat yang dinilai belum cukup bersuara lantang membela kepentingan masyarakat. Di tengah penderitaan yang berkepanjangan, rakyat berharap ada kehadiran nyata negara—bukan sekadar pernyataan di atas kertas.
Aceh bukan meminta keistimewaan, melainkan keadilan. Rakyat hanya ingin hidup normal kembali, menyalakan lampu di rumah mereka, dan melanjutkan kehidupan tanpa rasa cemas.
Di tanah yang dikenal dengan solidaritas dan ketangguhannya ini, harapan masih ada—asal negara benar-benar hadir, jujur, dan bertanggung jawab.
Semoga, Aceh gelap—akibat berlarutnya masalah kelistrikan—bukan menjadi pembenar aksi mahasiswa tentang #IndonesiaGelap.
Semoga pula, jika benar Indonesia bakal gelap, kondisi itu bukan berawal dari Aceh. []




