Refleksi Tanggap Darurat Bencana Aceh; “Negara seperti Ada dan Tiada”
Teuku Kamaruzzaman*)
SELAMA periode tanggap darurat tahap I (28 November-11 Desember 2025) rakyat Aceh seperti diajak kembali ke zaman purba, setelah berhari-hari bahkan berminggu harus hidup tanpa listrik maupun jaringan telekomunikasi.
Perlengkapan masyarakat modern seperti gadget, komputer, mesin cuci, televisi, AC, lemari pendingin dan lainnya tidak lagi bisa digunakan bahkan termasuk di daerah tidak terdampak bencana seperti Banda Aceh, Aceh Jaya, Aceh Besar dan Pidie.
BBM dan elpiji juga langka sehingga masyarakat Aceh yang terdampak mencapai 5-6 juta jiwa karena industri rumah tangga, UMKM serta melonjaknya bahan kebutuhan pokok karena distribusi yang terkendala transportasi.
Kemampuan penanganan bencana oleh lembaga/organisasi pemerintahan yang ada terlihat sangat terbatas.
Tidak telihat ada kehandalan dan kualifikasi humanitarian workers dalam unit resque yang dimiliki negara dan sebahagian terlihat malah mirip orang kantoran.
Di beberapa daerah terisolir rakyat korban mungkin makan apa saja yang ada karena nasi dan makanan lainnya telah berhari-hari tidak dapat ditemui. Mereka harus menempuh jalan puluhan kilometer dan bahkan berhari-hari untuk mendapatkan makanan bagi diri dan keluarganya yang selamat.
Keterisolasian yang terlalu lama buat sebagian korban bencana yang belum dapat diakses dengan bantuan, ini berakibat juga kepada pencarian serta evakuasi korban yang dapat diselamatkan maupun dapat ditemukan.
Tidak tampak droping besar-besaran logistik ke daerah terisolir oleh pesawat udara, sebagaimana saat bencana tsunami.
Waktu itu penyelamatan korban dan penyaluran logistik yang dilakukan secara besar-besaran ke berbagai lokasi termasuk yang tidak terdampak. Ini semata-mata demi penyelamatan nyawa manusia.
Pada bencana kali ini, juga tidak terlihat pengerahan komponen cadangan negara untuk pencarian dan penyelamatan korban bencana secara masive baik di darat, sungai maupun di laut ataupun korban yang kemungkinan tertimbun lumpur.
Jaringan telekomunikasi yang seharusnya mandiri (punya genset/ batere) malah beralasan juga tidak ada listrik dan BBM sehingga jaringan komunikasi dan informasi yang penting di seluruh Aceh terganggu kecuali beberapa yang telah memiliki Starlink.
PT PLN hanya melakukan perbaikan jaringan listrik dengan mekanisme biasa pascabencana atau perbaikan kerusakan yang pasti akan memakan waktu lama tergantung kondisinya, walau katanya sudah mengerahkan puluhan ribu teknisi dari seluruh Indonesia. Namun tidak terlihat emergency respons seperti adanya pengadaan generator untuk kota-kota terdampak bencana sebagai alat aktivitas dan jalur komunikasi vital untuk seluruh Aceh.
Pertamina baru pada hari ke-10 mulai lancar menyalurkan BBM dan elpiji setelah sebelumnya berkutat soal kuota.
Yang patut diberi apresisasi hanya Badan Pangan Nasional dan Bulog yang memiliki stok pangan yang cukup.
Untuk berapa saja keperluan bagi korban dapat diambil kapan saja oleh Posko Kebencanaan yang ada. Malah akan ditambah lagi ribuan ton beras sesuai permintaan Pemerintah Aceh.
Buat pemerintah dan rakyat Aceh sikap meremehkan/mengabaikan penyelematan satu nyawa korban bencana Aceh, sama seperti meremehkan 5-6 juta nyawa rakyat Aceh.
Aceh sepertinya memang telah terlahir dan ditakdirkan Allah SWT selalu dalam episode perjuangan, baik dalam konflik antarmanusia (konflik politik maupun senjata) maupun perjuangan dalam menghadapi bencana alam secara mandiri.
Bencana tsunami telah memberi Aceh perdamaian untuk konflik selama hampir 30 tahun.
Dalam bencana hydrometeorologi ini Allah SWT mungkin punya rencana lain untuk rakyat Aceh. Allah SWT adalah perencana terbaik. Untuk itu Aceh harus bisa dan berani berjuang dalam bencana dengan berdiri di atas kaki sendiri dengan semua kekuatan dan kemampuan yang ada dalam masyakarat Aceh. Karena kita Aceh “meutaloe wareeh.”
Statemen Gubernur Muzakir Manaf bahwa kita hanya boleh berharap pada ketentuan dan pertolongan Allah SWT, karena jika kita berharap pada Manusia maka kita mungkin akan kecewa. Ini Sudah cukup menggambarkan situasi dan kondisi yang Aceh akan hadapi dalam negara-bangsa ini.[]
*)Penulis adalah mantan Sekretaris BRR Aceh Nias/Juru Bicara Pemerintah Aceh




