ARM IPB ke Aceh: Menantang Kelalaian Negara
Laporan Joko Sutopo/Pemerhati Lingkungan dan Sosial Keagamaan
AKSI Relawan Mandiri (ARM) IPB bersama almamater universitas tersebut menjejak Aceh Tamiang, salah satu kabupaten di Aceh yang paling hancur akibat bencana banjir dan longsor yang terjadi akhir November 2025.
ARM IPB merupakan badan otonom di bawah Himpunan Alumni IPB yang fokus pada kegiatan kemanusiaan, penanggulangan bencana, dan pemberdayaan masyarakat, melibatkan relawan dari kalangan mahasiswa, alumni, dan civitas academica IPB untuk menebar manfaat sosial.
Relawannnya datang ke Aceh Tamiang bukan hanya untuk memberi bantuan, tapi untuk menegaskan satu fakta yang sering diabaikan: rakyat dan alam Aceh terlalu sering ditinggalkan saat bencana datang.
Negara hadir dengan retorika, tetapi aksi nyata sering terlambat. Inilah misi yang lebih dari sekadar pengabdian—ini adalah panggilan moral.
Perjalanan menuju Aceh pun sudah menjadi ujian: harga tiket selangit memaksa transit hampir tujuh jam di Kuala Lumpur. Lelah? Tentu.
Tetapi momen itu menegaskan prinsip dasar kerja kemanusiaan: kepedulian tidak pernah nyaman. Saat check-in, petugas bandara bertanya dengan mata penuh empati: “Tugas kemanusiaan ya, Mas?” Satu kalimat itu menjadi bukti bahwa solidaritas sejati kadang datang dari mereka yang bukan bagian dari sistem.
Rompi lapangan ARM diuji sebelum keberangkatan. Terang, visibilitas tinggi, nyaman dipakai—tapi lebih dari itu, rompi itu simbol kesiapsiagaan moral: menjaga keselamatan relawan, masyarakat, dan alam yang telah terlalu lama dirusak.
Hutan yang hilang, sungai tercemar, pesisir terkikis—bencana Aceh bukan hanya ulah alam, tetapi juga akibat kelalaian manusia yang mengabaikan amanah khalifah fil ardh.
Aceh mengajarkan satu pelajaran keras: bencana dan krisis sosial bukan sekadar persoalan logistik, tetapi panggilan moral.
Kehadiran ARM IPB dan almamater IPB University adalah jawaban atas kelalaian itu: solidaritas nyata, kepedulian tulus, dan penguatan komunitas yang selama ini seolah terlupakan.
Agama menegaskan: manusia terbaik adalah yang memberi manfaat bagi sesamanya dan lingkungan. Mengabaikan hal ini berarti membuka jalan bagi bencana yang lebih besar—baik dari alam maupun dari hati manusia sendiri.
Ke Aceh bukan sekadar perjalanan fisik. Ini adalah perjalanan moral dan spiritual: menegaskan bahwa kita tidak bisa diam ketika saudara dan bumi terabaikan. Pengabdian sejati hadir melalui langkah, tenaga, dan hati yang ikhlas. Di sanalah keberanian moral diuji, dan di sanalah makna pengabdian sejati ditemukan.[]




