BAKDA zuhur kemarin saya dikirimi sepenggal straight news. Straight news yang artian bakunya berita lurus. Berita langsung. Bisa juga disederhanakan dengan tulisan lurus.
Semua kosakata ini merupakan tren di komunitas jurnalis.
Kosakata yang prasyaratnya harus memenuhi unsur lima w tambah satu h. Tulisan yang ditulis singkat, padat, lugas, dan apa adanya. Yang pemaparannya tanpa tambahan penjelasan. Apalagi interpretasi.
Sisi yang ditonjolkan di berita lurus ini: apa, siapa, di mana, dan kapan.
Ah…. saya selalu menyepelekannya. Hambar. Karena sudah terbiasa dengan berita indepth news yang penggalian sisi mengapa dan bagaimana lebih dalam. Ada investigation report-nya.
Indepth news yang mejadi bacaan saya adalah berita mendalam yang dikembangkan dari berita yang sudah ada. Berita ini biasanya membahas suatu peristiwa atau kejadian dari perspektif tertentu.
Untuk straight news kiriman si teman saya gak ngah.. Gak level untul bacaan…
Maaf, sedikit lebay….
Namun begitu, isian berita lurus itu sendiri gak lebay..lebay amat. Untuk si teman. Si pengirim. Ia menanggapnya serius. Serius amat.
Saking seriusnya ia mengusik handphone saya dengan nada tring..ting..ting.. berisik. Sebanyak tiga panggilan. Lantas menjalin tanya ini itu.. dan sembari bla..bla..bla…
Saya sendiri gak dalam posisi mood ketika tri..la.. la itu berlangsung. Lagi mual menanggapi isian berita itu,
Mual itu sudah merendam otak saya selama dua hari terakhir. Dua hari usai seorang teman yang lain memberitahu sas.. dan sus yang tiga perempatnya hoaks tentang pergantian penjabat gubernur.
Hoaks-nya berputar tentang anggaran yang mampat pembahasannya, tentang sang penjabat lama yang tak mampu melaksanakan kebijakan syariat islam. Hingga ada ka-ka-en bisnis keluarga.
Saya mendengar semuanya. Baik hoaks, setengah hoaks maupun gak hoaks. Semuanya ia ceritakan dalam kelindan konflik ala nagabonar. Konflik setengah preman yang memperebutkan lapak toke bangku.
Yang semuanya itu anda pasti lebih tahu dari saya. Apalagi bagi anda dan anda.. yang berada di pusaran kelindan konflik.
Pokoknya macam-macamlah. Termasuk tentang link dan hub peta jalan politik pascapilpres dan pileg. Disertai bumbu tiki-takanya pergantian sang penjabat. Achmad Marzuki. Dari penjabat gubernur Aceh.
Sekaligus tentang penggantinya. Bustami Hamzah.
Tiki-taka ini dikuatkan lagi oleh banjir bandang informasi tentang keluarga penjabat yang akan hengkang mengemas sejumlah barang milik pribadi.
“Ya, sudah mulai mengepak barang-barang,” tulis sebuah media mainstream. Tambahannya, mencuatnya nama pengganti membuat tidur sang penjabat gak bisa nyenyak.
Kedua pejabat, yang pergi dan datang digambarkan sebagai dua tokoh dalam serial karton tom and jerry. Saling kucing-kucingan. Saling menyandera.
Entahlah…. saya gak tahu.
Yang saya tahu, dulunya, belum dulu sekali, Achmad Marzuki, memang diplot untuk mengisi posisi penjabat gubernur untuk satu masa periode penilaian. Yang rentangnya setahun masa jabatan.
Untuk itu setahun lalu muncul surat dari dewan perwakilan yang dikirim ke presiden. Isinya: minta agar Achmad Marzuki dicukupkan sekian saja.
Jangan diperpanjang. Cukup setahun menjadi pejabat gubernur.
Surat itu resmi. Dengan kesepakatan bulat semua fraksi yang ada di sana. Saya mendengar keinginan seperti itu. Dari ketua salah satu fraksi Juga mendengar dari perbincangan perbincangan umum.
Di surat itu disebutkan pula nama calon pengganti. Calon pengganti yang diinginkan dewan. Hanya satu nama. Bustami Hamzah. Pusat tidak diberi pilihan lain.
Saya gak tahu apa surat itu yang jadi pertimbangan penggantian penjabat hari ini. Saya sudah tanya kiri-kanan, depan-belakang. Gak ada yang mau memberi jawaban.
Yang belum saya tanya ke atas dan bawah. Anda tentu tahu yang atas dan bawah ini siapa. Wallahualam bisawab…
Untuk penggantian ini saya sendiri gak mau geruduk. Tanya sana dan sini untuk mencari tahu. Yang saya tahu, siapa pun penjabatnya sisa waktu yang tersisa hanya tujuh bulan sampai masa pemilihan kepala daerah serentak
Waktunya sudah mepet: gak penting-penting amat dengan penjabat baru. Kalau pun penjabat lama lanjut bagi saya terserah aja.
Tentang aspirasi daerah? Jawabnya simplistic. Gak ada makan siang gratis. Dukung mendukung yang ada dalam kamus tanpa peng mirah.
Seperti dukung mendukung dan lobi melobi di ujung periode Nova Iriansyah. Dukung mendukung yang Anda sudah tahu nama-namanya. Faksinya. Sekalian orangnya.
Yang ternyata pusat memilih sebuah nama. Yang kala itu semua faksi menerima sebuah nama. Bukan putra daerah.
Waktu itu, dengan mengusulkan tiga nama, sudah dianggap mencoba bijaksana.
Setelah setahun menjabat gubernur, banyak ketidakcocokan. Sang penjabat dinilai banyak kurangnya.
Menurut eska-nya jabatan si penjabat memang hanya satu tahun. Itu di pekan pertama bulan Juli. Bisa diperpanjang atau stop. Kalau pusat mau.
Saat itu dewan provinsi gak mau. Lantas kirim surat ke pusat. Agar jabatan penjabat dicukupkan sekian. Lalu mengusulkan nama sekarang sebagai pengganti. Yang maaf bila saya menyebutnya dengan jerry.
Surat itu dikangkangi. Ditempatkan di selangkang pemerintah pusat. Dewan ”marah.” Derajat marahnya di tingkat menggerutu. Gak mau mau terjebak lagi. Pilihan adem. Nrimo. Khas-nya jawa.
Jerry gagal. Padahal pengusulannya sudah pakai taktik, Hanya ada satu nama. Tidak memberikan pilihan lain.
Jerry yang Bustami itu seumuran dengan Marzuki. Dan Marzuki-lah yang mengangkat. sebagai sekda. Di tahun pertama penugasannya sebagai pejabat.
Bustami Aceh medok. Anak di Gampong Nicah, Peusangan, Bireuen. Ia sarjana ekonomi dari Unsyiah-USK. Memperoleh master ekonomi dari Universitas Padjadjaran, Bandung.
Jabatan lainnya yang prestise ketua alumnus usk. Menjabat sejak tahun lalu. Dipilih secara aklamasi.
Maka tebak-tebakan baru pun muncul tentang peta kekuatan usai marzuki di pinggirkan.
Tebakan baru itu menyertakan harga diri Aceh. Apakah akan diusik lagi.
Dapat gelar provinsi termiskin kedua di sumatera. Padahal tidak kurang-kurangnya orang pintar di sana.
Juga tidak kurang-kurangnya dana. Alokasi dana otonomi khusus begitu besar. Sejak tahun delapan belas tahun silam. Itu menjadi bagian dari tercapainya perdamaian setelah tsunami lalu.
Angka persisnya semua kita sudah tahu. Dari seorang pejabat anggaran di Kementerian Keuangan jumlahnya sudah mencapai angka seratus triliun.
Itu dana untuk pembangunan, pemeliharaan sampai pengentasan kemiskinan. Jenis dana itu akan berakhir di empat tahun anggaran kelak.
Hasilnya: masih termiskin.
Tentang Marzuki tak diperpanjang Anda tahu pelintir komunikasi politik sampai soal teknis izin tambang.
Misalnya soal kehadirannya di pleno dewan. Yang hitungan jumlah dan kehadirannya bisa ditanyakan ke pengelola pokir, Itu dianggap dosa,
Hari-hari ini para tokoh politik sedang berpesta. Menyiapkan jas dan dasi merah terbang ke Jakarta. Lobi dan kontra lobi yamg sebelumnya saling berganti tak lagi berarti.
Pusat sudah memutuskan sang pengganti. Maaf…betapa menyedihkan setiap kali ada masalah Aceh menyerah dan menantikan takdir dari pusat.
Sejak perdamaian tercapai telah ganti-berganti orang dan golongan yang berkuasa. Belum ada yang benar-benar istimewa. Dan tak ada tanda-tanda orang yang berkuasa akan istimewa
Padahal, di daerah lain orang berkuasa terus berubah. Mereka sudah bisa menghitung dengan valid problem struktural secara sistematis. Dengan kepemimpinan bisa membawa solusi untuk zaman.
Solusi-solusi yang keluarnya dari pengalaman dan hati.
Aceh di pandangan saya masih seperti penggalan lagu “do da ida do da idi.” Masih berkutat dengan selaksa makna. Padahal itu sudah digerogoti zaman.
Kini, Aceh tak ubahnya parade pemandangan kusut manusia-manusia yang lapar. Mereka yang mencari kerja, mereka-mereka pula yang mimpinya dipatahkan.
Di di area-area bronx dapu kupi diskusi liar terus berlangsung panas. Diskusi-diskusi gawat yang memetakan kondisi melata negeri ini.
Bagi mereka yang memiliki langkah dan solusi bagi negeri ini, berkata: “jika aku jadi gubernur, udah pasti mereka akan melakukan ini dan itu, begini dan begitu, dan seterusnya, dan seterusnya.”
Saya tahu, mereka gak punya solusi dan kemampuan adaptasi memahami problem karena tiap saat, mereka dicekik keadaan.
Sering saya diundang ke “diskusi pinggir jurang” macam itu dengan sogokan secangkir kopi saring. Saya ditanya, langkah apa yang bakalan di tempuh bila si ampon sana jadi gubernur.
Dan saya pun menjawabnya dengan realistis dan komprehensif. Juga menggunakan alasan-alasan yang mendukung. Setelah saya jawab, wajah-wajah yang sebelumnya menanyai saya, menjadi kaku.
Kadang-kadang mulutnya menganga.
Karena jawaban saya seperti ini: jika dia yang jadi gubernur aceh akan masuk dalam lingkaran setan bernama pemerintahan.
Artinya, idealisme yang melekat di kepala, ilmu filsafat yang dipelajari sampai pagi buta, dan hati nurani yang ditanam dan dipupuk oleh orang tua, rasanya tidak bisa lagi dipakai.
Menjadi orang pemerintah, apalagi kepala daerah di aceh, kita harus menguasai satu hal. Persetan itu yang namanya ilmu, yang kita butuhkan hanyalah tahan malu.
Mereka kaget dengan jawaban saya. Siapapun yangjadi gubernur, sudah pasti bakalan melakukan hal yang sama.
Kaget?
Saya hanya realistis saja. Ayo, ayo, kopi saring-nya diminum selagi saya akan menjabarkan apa maksud setiap jengkal kata-kata itu.
Saya tak habis pikir ada orang yang mau-maunya menjabat jadi gubernur di daerah yang mirip-mirip gambaran negeri nagabonar.
Kalau ada yang membandingkan aceh dengan negeri “baldatun taybatun…” saya bakalan malu sejadi-jadinya.
Ketika mereka bersimbah kekayaan dan kemasyhuran, sedang rakyatnya lintang pukang dihantam kemiskinan, daya pikir mereka yang paling purba menyuruhnya untuk mengencingi malu.
Namun, salah satu tips menjadi kepala daerah di sini, memang harus tahan akan malu. Dan mencari orang yang bisa tahan malu ekstrem itu, rasanya begitu mudah.
Untuk itu saya ingin menutup tulisan ini lewat sepenggal syair yang selalu saya sertakan setiap menidurkan cucu. Ini dia penggalannya:
…Allah hai dô dô da idang
seulayang blang kaputôh talo
beurijang rayek muda seudang
tajak bantu prang tabila nanggroe…..
Teurimong geunaseh….[]
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”