Rindu ‘Cantoi’

Oleh: Darmansyah

IA teman. Se-umuran. Teman se-almamater, dulunya. Tapi beda memilih jurusan. Beda juga jalan hidup. Dia pilih ekonomi. Lantas jadi  dosen dan menuntaskannya sebagai guru besar.

Saya sendiri memilih hukum. Gak koneks dengan “output” jalan hidup. Di ujungnya buntu. Menjadi “old journalism.” Jurnalis tua yang mengumpat profesinya menjadi artefak.

Tidak hanya beda jalan hidup tapi saya dan si teman beda “aliran” yang menyebabkan kami sering bersilang pemahaman. Maklum, ia “praak…”  garis keras. Sedangkan saya “ketelatan.”  Lebih “soft.”

Namun begitu, kami sepakat: damai dalam  “kuah beulangong.”  Wujud perdamaian itu tercermin dalam sapaan. Saya dan si teman saling menyapa dengan panggilan “ngon.”

Sampai di sini Anda pasti mafhum dengan kalimat di paragrap “lead” saya di atas. Mungkin lebih khatam tentang “praak” dan “ketelatan.” Malah lebih resam lagi dalam mengartikulasikan “kuah beulangong.”

Hahaha….

Di rentangan duha kemarin si teman nelepon ingin ketemuan. Biasa. Pertukaran kalimat di awal sapaan didahului sedikit cekcok. Khas eleganitas aso lhok. Mbong.

Saling mengajukan pilihan. Hampir saja “prang.”  Diakhiri dengan undian pak…pim..pong…di garis demarkasi. Lahir kesepakatan. Ketemuan di mall. Kesepakatan bijak dari sisi jarak hunian.

Kesepakatan lain, masing-masing bayar taksi maupun grab. Aman….

Aman juga ketika ketemuannya. Pilih sudut sempit outlet starbuck untuk menghindari ocehan “riwoh” cas..cis..cus..de atjehers.

“De atjeher” yang gumam kelatnya dan penyakit “moorden”-nya sering menjadi cibiran meja tetangga. Guman kelat dan “moorden” yang bisa menyalin suasana solong ulee kareng.

Ketemuan saya dan si teman kali ini  tak punya tema spesial. Hanya untuk hahaha … hihihi.. Bak duek pakat gampong. Persisnya saling tukar kenangan di alur jalan hidup masing-masing.

Salah satu kenangan di temuan saya dan si teman paling membekas di hari itu adalah konten di sebuah media titik-titik….yang  saya pernah menjadi captain-nya dan sejak lama saya enggan menulis namanya.

Media, yang katanya, tak bisa dia ansich-kan rubriknya. Yang ketika saya tanya langsung dijawabnya: ”Gam Cantoi”.

“Itu jawaban yang bisa saya berikan. Satu-satunya,”  katanya dengan nelangsa tentang media itu sembari memperlihatkan jubelan koleki sapuan gambar grafis Gam Cantoi di handphone-nya.

“Hancuak…,” saya saya teriak. Terbahak. Koleksi Gam Cantoi milik sang teman lengkap dengan hari, tanggal, bulan dan tahunnya. Berurutan.

Saya diseret untuk nelangsa bersama kenangannya. Kenangan ditigapuluhan tahun silam. Di sebuah rumah sewaan milik seorang pejabat yang dijadikan kantor media itu.

Kantor media tempat si Cantoi berkreasi. Berkreasi mengemas ide dan garis untuk membentuk gambar kritis semacam karikatur kehidupan.

Gam Cantoi itu sendiri merupakan tokoh fiktif. Jenaka. “Itu yang gak pernah bisa saya lupakan,” kata si teman menyeret saya untuk ikut nimbrung melayang bersamanya.

Saya tahu itu masa lalu. Tak  ingin mengenangnya dengan alay. Seperti katak yang koek…koek…menanti hujan.

Gam Cantoi itu tokoh yang lahir dari khazanah ke-aceh-an dalam bentuk karikatur yang diartikulasikan oleh seniman rekan kerja saya: Sampe Edward Sipahutar. Asli Batak.

Di media itu Gam Cantoi menjadi salah satu rubrik yang paling ditunggu-tunggu untuk kemudian di ha..hi..he.ho ..kan.

Kalau Anda kelahiran millennium dua puluh, chik-putik tuha-muda, memiliki hubungan emosional tersendiri dengan tokoh karikatur dalam rubrik ini.

Rubrik yang kolom pertamanya menggambarkan tentang problematika yang sedang menjadi kegelisahan publik. Selalu aktual. Sesuai dengan prinsip jurnalisme. Newspeg.

Selain itu ia merespons fenomena-fenomena sosial yang sedang diperbincangkan dengan karakter khasnya yang nyentrik. Problematika di kolom pertama mendapat penegasan di kolom kedua. Lebih kompleks.

Di kolom kedua ini Anda akan diberi kejutan lewat trik-trik akal bulusnya.

Yang pasti di kolom terakhir pembaca akan mendapat surprise. Kejutan. Klimaks Cantoi sangat cerdik dalam menyiasati berbagai problematika yang diangkat di kolom pertama dan kedua.

Akal bulus si Cantoi sering menawarkan jalan keluar yang menggelitik dan solusi yang nyeleneh.

Secara tematik Cantoi sering hadir dalam bentuk sindiran. Kepada siapa saja. Sesuai dengan pegnews saat itu, Saya tahu secara langsung atau tidak langsung ia watchdog dalam bentuk kartun dan karikatur.

Secara penampilan Cantoi yang lucu itu memiliki penampilan yang unik. Postur tubuhnya kurus kering, rambutnya keriting, kecuali satu helai yang menjulang ke langit.

Pakaiannya sederhana; perpaduan antara baju oblong dan celana panjang dengan kombinasi sarung yang dipinggang di atas lutut.

Karakter kartun itu berbanding terbalik dengan pengasuhnya; M. Sampe Edward. Sampe yang dandy. Berbadan besar dengan wajah selalu ceria. Yang kalau datang ke meja saya selalu membungkuk.

Dalam merekam peristiwa ia terkadang juga mengikutsertakan keluarganya. Anak-anaknya berkepala plontos, juga dengan sehelai rambut seperti Upin.

Istrinya memakai jilbab, mungkin untuk menegaskan keacehan syariat.

Dalam kasus tertentu, sindirian dan kritikan itu tertuju pada perilaku pejabat. Muncul tokoh-tokoh imajinatif dengan penampilan yang serupa juga diikutsertakan.

Bagi sebagian, seperti teman yang pertukaran sapa kami selalu  dengan kata “ngon,” Cantoi sudah menjadi santapan rohaninya. Pembuka hidangan sebelum membaca berita.

Saya tahu pada era media cetak Cantoi merupakan tokoh sentral. Ikon. Yang kemudian melegenda. Tanpa  kehadirannya, media itu sreg.

Yang bisa saya kenang lainnya dari Cantoi keunikan karena mampu membawa pesan tanpa harus menggunakan dialog.

Gelitikan dan leluconnya sangat menghibur di tengah carut-marutnya kondisi keamanan dan sosial pelitik kala itu.

Bahkan kesenjangan dan ketimpangan sosial yang terjadi usai damai dan pascatsunami masih menempatkannya sebagai “panggung” hiburan.

Posisi letaknya di halaman tiga bagian sangat memberi efek kejiwaan pembaca. Seusai melahap halaman pertama Gam Cantoi langsung jreng…

Pembaca setianya selalu menunggu. Sampai suatu hari ia tak menayapa lagi. Tak menyapa karena si Edwar Cantoi berpulang.

Terima kasih M. Sampe Edward. Anda berkubur satu liang dengan Gam Cantoi. Saya merindukan. Mengenang saat kita memulai. Mengakhiri, dan berjanji akan ketemu ….. entah di mana dan kapan.[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”