Cerpen Jurnalistik

Oleh Darmansyah

“JENIS kelamin penulisan feature itu bak sebuah cerita pendek,” ujar saya tergelak menjawab pertanyaan spontan seorang anak muda yang ingin belajar ‘naik sepeda’ tentang genre penulisan feature.

Jawaban itu mengalir begitu saja. Membuat saya mengangguk usai sang anak muda mengatupkan dua telapak tangannya ke dada sebagai salam ‘kulo nuwun.”

Salam yang disertai bunyi berdesis seperti uap angin dari mulutnya.  Desis yang mungkin saja ucapan …”ng-ge.” Terima kasih khas n-jowo.

Pertanyaan itu datangnya spontan, bikin saya gelagapan. Rundung tanyanya datang saat saya sedang berdiri di depan kelas sebagai tutor di komunitas penulis yang entitasnya bernama: “bubur ayam cikarang.”

Entitas yang jumlah pesertanya tiga puluh dua orang.  Semuanya anak muda dengan predikat strata satu. Yang di awal perkenalannya serempak mengatakan ingin jadi penulis tanpa “press card.”

“Kami komunitas happy-happy,” kata ketua kelasnya di pra-pembelajaran usai saya memperkenalkan diri sebagai tutor.

Komunitas senang-senang ini ditegaskan si ketua kelas yang “pariaman” tulen sebagai kaum “happiness.”

“Happiness”-nya orang-orang yang mencari kebahagiaan untuk rasa puas.”Happiness” yang harus dibedakan dengan kaum “hippies” yang saya kenal dulu.

“Hippies” sebagai gerakan antikemapanan. Sebuah gerakan yang munculnya bak air bah meneriakkan jargon tandingan budaya dengan menolak adat istiadat kehidupan arus utama.

Gerakan ini berawal dari kampus-kampus nun di negara “paman sam” sana yang identitas penampilannya belel, rambut gondrong acak, tidur di sembarang tempat dan lain sebagainya.

Selain itu “hippies” ini bikin repot oleh aksi demonya. Penyebarannya merata ke seluruh jagad. Di era tahun enam puluhan hingga tujuh puluhan. Gencar menyuarakan cinta damai dan antiperang.

Lupakan era “hippies.” Jangan kaitkan dengan “happiness” komunitas penulis “bubur ayam cikarang.”

Sebab saya senang dengan  komunitas ini. “Happiness” yang bukan “hippies.” Senangnya memberi kebebasan mereka bayar honor tutor plus uang pengganti transport. Hihihi….

Bayarannya saya cukupkan dengan bubur ayam gratis. Bubur ayam urban yang lokasinya berhampiran dengan sebuah kampus.

Bubur ayam yang setiap pagi diantre jubelan anak-anak president university. Anak kampus. Kampus yang dulunya jadi pilihan kuliah anak saya.

Terima kasih “happiness” untuk nostalgia ini…

Kembali ke feature.  Jawaban saya tentang genre-nya feature sebagai cerita pendek atau cerpen untuk karya jurnalistik tentu sangat beralasan.

Secara gaya kategorinya gak terbantahkan sebagai wujud karya sastra. Terutama aspek penggunaan bahasa, alur cerita, dan “dramatisasi”.

Feature biasanya menggunakan kata-kata berona. ”Color words” yang mengabaikan karakter bahasa jurnalistik  yang ringkas dan lugas. Bahasa “to the point”.

Anda pasti pernah membaca di sebuah feature kalimat…. “menitikkan air mata.” Ini adalah kalimat khas feature bila dibandingkan dengan kata “menangis” sebagai pilihan kata untuk berita.

Untuk itulah saya memberi penegasan ke komunitas “happiness” itu bahwa feature adalah “cerpennya karya jurnalistik” atau “tulisan jurnalistik bergaya cerpen”.

Tentu Anda harus memberi “footnote” terhadap pendapat ini. Catatan kaki untul membedakan cerpen dan feature yang terletak  pada soal substansi atau isi cerita.

Dalam cerpen, yang dikisahkan adalah cerita fiksi, Khayalan. Persisnya karangan yang tidak faktual. Sedangkan feature kisahnya “real.” Benar. Ada. Kisah nyata yang bahasa kerennya true story.

Ya dalam basis jurnalistik, dari dulunya, saya sering menegaskan feature itu adalah karya jurnalistik yang benar-benar terjadi. Faktual.

Selain itu perlu dicamkan feature adalah tulisan yang memadukan berita dan opini dengan gaya penulisan “bercerita”.

Oo..ya…. maaf saya alpa mengingat untuk membaca kosakata feature ini ringkas tuntas: ficer, Sebab banyak di antara jurnalis muda membacanya dengan lidah bengkok dengan kuluman.

Gak percaya coba saja Anda baca sendiri. Pasti ha..hi..hu…seperti yang saya “prank” ke anak-anak komunitas “happiness.” Yang menyebabkan mereka saling melotot menekuk lidah.

Lupakan “prank” baca kosa kata feature. Genre tulisan  ini memang merupakan salah satu jenis jurnalistik selain news, artikel views atau pun esai yang cara menulisnya juga beda.

Dulunya ketika saya masih belajar ‘naik sepeda’  feature ini sering didengungkan sebagai “karangan khas”.

Karangan “pilihan wajib” media edisi minggu. Atau pun menjadi ciri majalah terbitan mingguan, bulanan, apalagi tiga atau enam bulanan.  Sifat dan gaya tulisannya relatif gak pernah “basi.”

Dari makna asalnya tulisan feature menonjolkan unsur tertentu yang paling dalam di sebuah peristiwa dengan ciri khas human interest dan fokus pada orang-orang, tempat, dan peristiwa tertentu.

Topik bahasanya mendalam dalam istilah keren jurnalistiknya “in-depth.” Lebih dari sekadar memberitakan sebuah peristiwa.

Dengan sumbu utama memperkuat dan menjelaskan unsur yang paling menarik dan penting dari sebuah situasi atau peristiwa.

Tulisan feature mengisahkan sebuah kejadian secara rinci, khususnya yang menyangkut aspek yang menyentuh emosi atau perasaan manusiawi.

Feature tidak dimaksudkan untuk melaporkan berita terbaru, melainkan sebuah pandangan mendalam pada sebuah subjek.

Beda dengan news story atau berita biasa yang pop dengan jargon gaya piramida terbalik –mengedepankan inti cerita atau menempatkan pokok masalah di paragraf pertama,.

Feature lebih sering mengemukakan inti cerita di bagian tengah atau bahkan di akhir tulisan. Lebih mengedepankan unsur “how” dan “why.” Proses, detail kejadian, dan latar belakang peristiwa.

Ada banyak jenis feature. Yang jelas, setiap tulisan yang tidak masuk kategori berita dan tidak pula disebut artikel opini bisa disebut feature.

Jenisnya banyak. Tinggal pilih. Mau human interest, profil, sejarah, catatan perjalanan.. dan seterusnya.

Usai memberi pemahaman di session pertama  anak-anak komunitas “happiness” menggoreng saya lewat pertanyaan tentang nasib genre tulisan dalam jurnalisme online.

Awalnya saya tergagap. Kebingungan. Hampir saja nasib saya sebagai tutor amblas.

Saya tahu di era jurnalisme online berbagai jenis feature sudah sangat langka ditemukan. Bahkan untuk jenis feature berita-news feature-sekalipun. Faktor utamanya berada di satu kata kunci: upload.

Era jurnalisme online yang dikedepan adalah “up.” Kecepatan. Keringkasan. Lupakan feature.

Tapi jangan lupa kini bermunculan genre-genre baru  jurnalistik yang semakin membedakannya dari jurnalisme model lama. Salah satunya jurnalisme feature era baru.

Jurnalisme di  media baru memang memerlukan perubahan. Gaya dari genre baru itu harus  disesuaikan untuk eranya.

Dan gak  ada seorang pun yang mengetahui secara pasti apa yang cocok dengan dunia baru ini.

Eksperimen akan menjadi kunci jawabannya. Dengan demikian menjadi prinsip panduan bagi para jurnalis dalam mencoba membentuk masa depan jurnalisme online.

Saya bersama dengan kaum “happiness” mencoba membahas lewat dua pendekatan berbeda dalam remediasi jurnalisme feature online.

Pendekatan pertama ditemukan di surat kabar online Amerika.

Dari literasi saya temukan, di sana praktik penerbitan jurnalisme feature, sebagai paket multimedia yang dibuat menggunakan perangkat lunak adobe flash, menjadi semakin populer.

Pendekatan kedua ditemukan di surat kabar online Norway, dagbladet.no. Mereka menjadi sebagai surat kabar online pertama  yang mendedikasikan jurnalisme unggulan yang diproduksi secara eksklusif untuk web.

Kedua pendekatan dalam memproduksi jurnalisme feature online ini menjadi contoh semakin luasnya keragaman genre dalam jurnalisme online.

Tidak diragukan lagi, jurnalisme online sejauh ini didominasi oleh liputan berita terkini, sehingga mengedepankan kedekatan sebagai aset utama jurnalisme online.

Oleh karena itu, wacana dominan jurnalisme online tampaknya kontras dengan wacana dominan jurnalisme feature yang kita kenal dari media cetak.

Jurnalisme feature sering dikaitkan dengan majalah mengkilap dan bagian akhir pekan surat kabar.

Dalam jenis tulisan feature, pembaca diundang untuk menghabiskan waktu, bersantai, dan menikmati bacaan mereka.

Sebagian besar surat kabar memilih untuk tidak menerbitkan konten dari bagian feature cetak mereka secara online.

Hal ini menunjukkan bahwa industri surat kabar menganggap jurnalisme feature dan jurnalisme online sebagai jenis jurnalisme yang tidak kompatibel.

Perbedaan antara jurnalisme berita dan jurnalisme feature menjadi kabur.

Sebuah cerita feature dapat berkisar dari artikel pendek yang memberikan contoh latar belakang sebuah berita.

Sehingga narasi multi halaman yang banyak diselidiki tanpa afiliasi sama sekali dengan alur berita.

Meskipun para jurnalis  di surat kabar besar biasanya memiliki spesialisasi pada satu atau lain hal, rekan-rekan mereka di surat kabar lokal mungkin menganggap perbedaan tersebut kurang relevan .

Meninjau literatur tentang jurnalisme feature memberikan kesan bahwa istilah ini agak longgar terkait dengan karakteristik umum. Jurnalisme feature sebagai sesuatu yang melampaui jurnalisme berita.

Penulis feature adalah orang yang kreatif dan subyektif dalam merancang cerita yang cocok untuk memberi informasi dan menghibur.

Sehingga peran online dalam mendefinisikan jurnalisme feature sebagai salah satu dari tiga tipe dasar jurnalisme. Dua lainnya adalah jurnalisme berita dan jurnalisme opini.

Dalam ketiga jenis jurnalisme ini terdapat beberapa genre yang dapat beroperasi dalam tiga jenis apa pun, termasuk artikel, ulasan, dan liputan,

Perbedaan antara tipe dan genre ini mewakili pandangan yang bermanfaat mengenai jurnalisme, namun istilah tipe mungkin membingungkan.

Karena tipe teks adalah konsep umum dalam linguistik yang menggambarkan aspek dasar penulisan, termasuk deskriptif, naratif, dan argumentatif.

Tidak semua karakteristik ini akan muncul dalam setiap berita utama, namun satu atau lebih dari karakteristik tersebut akan mendominasi berita yang kita anggap sebagai jurnalisme feature.[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”