Ghibah Pe-We-I

Oleh Darmansyah

IA kini sedang kena ghibah. Itu ia sudah tahu. Memang setahunya.

Yang namanya ghibah itu ia tak perlu diberitahu. Ia sendiri pernah menuliskannya di sebuah hari Ramadhan sebagai sebuah catatan di media mainstream.

Saya membacanya. Bahasanya sederhana. Gak bertele-tele semacam banyak tulisan ustadz yang nyinyir, menggiring dan sok tahu. Narasinya juga sederhana sehingga mudah di mengerti.

Ringkasnya: mengena.

Catatan itu seperti ditujukan untuk dirinya sendiri tentang bagaimana dahsyatnya dampak ghibah itu. Ghibah yang sederhananya secara umum, adalah membicarakan orang lain tanpa kehadirannya.

Tentang ghibah terhadap dirinya gak usah diberitahu pun saya sudah tahu. Ghibah yang sedang bersilemak peak terhadap dirinya.

Tahunya dari nguping dan tanya sana-sini apa sih yang jadi pangkal ghibah itu.

Dari seorang teman yang menjadi sahabatnya saya diberitahu ghibah itu soal; hepeng. Hepeng itu pun Anda pun sudah tahu: duit. Hepeng itu sendiri  kosakata prokem negeri tetangga rumah saya.

Hepeng soal dana. Yang jumlahnya banyak sekali. Enam miliar rupiah.

Asal hepeng itu, kata si teman yang juga temannya,  dari forum hubungan masyarakat. Humas. Humas badan usaha milik negara. Be-u-em-en.

Hepeng itu sifatnya sponsor kegiatan. Yakni untuk biaya penyelenggaraan uji kompetensi wartawan. U-ka-we.

U-ka-we-nya itu dicantumkan dalam kontrak. Bunyi kontraknya: untuk sepuluh u-ka-we di berbagai daerah.

Dari sini Anda sudah tahu siapa orangnya yang kena ghibah itu. Tahu juga organisasinya. Organisasi profesi. Organisasi profesi yang akronimnya  sangat mudah terucapkan.

Nama yang dighibah itu: Hendry Chairuddin Bangun. Posisinya ketua umum. Hari-hari ini statusnya losses. Ketua umum yang dipecat.

Dari nama, posisi dan kasusnya saya percaya Anda langsung tahu apa organisasi profesinya.Tahu yang sudah tahu. Rumput yang gak bergoyang saja tahu. Pe-we-i.

Maaf saya menulis nama organisasi itu dengan ejaan huruf kecil.

Kalau Anda ingin mengutip atau mengedit tulisan ini jangan ubah ejaan huruf kecil organisasi ini. Saya punya alasan untuk mengecilkan ejaan ini sejalan dengan makin kecilnya perannya di era ini.

Era ketika siapapun bisa jadi wartawan tanpa perlu lagi punya kartu anggota pe-we-i. Beda dengan era saya dulu.

Kala itu untuk menjadi wartawan sebuah media harus standar kompetensi. Harus menghafal; pasal-pasal kode etik. Kode etik yang harus diamalkan sebagai bagian dari pengamalan Pancasila.

Wartawan yang harus mengikuti p-empat.

Setelah itu diharuskan menggelantungkan kartu tanda anggotanya di leher bersama dengan kartu pers media tempat ia menjadi wartawan.

Kalau Anda gak punya kartu organisasi itu pasti orang menudingnya sebagai wartawan “bodrex.’ Saya gak tahu muasal nama “bodrex” ini dikaitkan dengan wartawan tanpa ka-te-pe pe-we-i.

Kembali ke masalah ghibah yang menyeret si ketua umum. Dari teman yang teman si kena ghibah ada perbedaan asal muasal dana yang menjadi silang sengkarut.

Menurut pihak yang dighibah dana itu itu sifatnya sponsor. Bukan ce-es er seperti yang dinyatakan si pengghibah.

“Tapi saya diberhentikan dengan tuduhan menyelewengkan dana ce-es-er,” kata si Hendry seperti dikutip si teman.

Ce-es-er itu sebenarnya hal yang sangat biasa di lingkungan perusahaan. Termasuk perusahaan di lingkungnan be-u-em-en. Utuhnya disebut corporate social responsibility

Program dari konsep  tanggung jawab sebuah perusahaan atas dampak sosial dan lingkungan yang dihasilkan oleh kegiatan bisnisnya seperti masalah polusi, limbah, sampai masalah keamanan.

Secara general, program tujuannya sebagai bentuk kontribusi nyata untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan.

Program ini memiliki konsep utama untuk menciptakan sustainability atau keberlanjutan dalam seluruh kegiatan bisnis dengan tetap menyimbangkan kepentingan ekonomi, sosial, serta lingkungan.

Jadi ce-es-er itu gak  melulu soal donasi atau program amal. Bisa juga mencakup etika bisnis, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan.

Seperti gabungan perusahaan di lingkungan be-u-em-en yang mengalokasikan dana atau sumber daya untuk program pendidikan jurnalistik.

Itu yang Hendry tidak bisa menerima. “Dasar pemecatannya pun sudah salah,” tambahnya. Ia melawan si penuduh. Si orang-orang yang memecat.  Khas perlawanan mereka yang punya marga.

Yang menuduh ada penyelewengan itu rupanya punya dasar. Sebagian dana itu memang dikeluarkan untuk komisi bagi yang berjasa mendapatkan sponsor.

Hendry mengakui itu. Tapi bukan penyelewengan.

Menurut Hendry, sejak tiga kepengurusan sebelumnya, sudah berlaku aturan itu. Ada surat keputusan-nya. Yakni siapa yang berjasa mendapatkan sponsor akan mendapat bagian.

Dari situlah muncul rumor soal cashback. Dan siapa saja yang menerimanya. Hendry memang tidak menerima tapi dianggap harus bertanggung jawab.

Baginya ghibah tentang penyelewengan itu sudah keterlaluan  Ia dengan alasan masih di jalan lurus tak mau menerima tuduhan itu.

Ia juga konsisten dengan jalan kebajikan yang ditempuhnya. Seperti dulu ketika di awal ia menulis.
Saat menulis sering secara tidak sengaja kita membawa-bawa pihak lain, orang lain.

Mungkin maksudnya untuk memperjelas, memberikan contoh. Padahal kalau tergolong ghibah maka dosanya amat besar. Diibaratkan memakan bangkai saudara sendiri.

Satu hal dulu, wartawan yang telah bekerja puluhan tahun pastilah sudah terbentuk watak yang kritis dan memandang sesuatu dengan skeptis.

Curiga, tidak mudah percaya, mempertanyakan, mencoba melihat dari sisi negatif, otomatis muncul kalau ada peristiwa dengan tujuan untuk menyeimbangkan informasi yang datang dari pihak lain.

Hampir tidak ada, atau sedikit sekali, wartawan yang serba maklum dan langsung percaya. Kalau ada press release, pasti dicek dari sumber lain, bagaimana duduk perkaranya.

Itu katanya. Tapi kata yang lain menyindir kok temannya meninggal secara mengenaskan di kampungnya sana gak diurus. Mereka kok sibuk urus enam milar.

Memang dunia jurnalis seperti sangat mengenaskan. Ehh bukan ..Dunia kita. Eh bukan juga..Dunia.lu aja kali.

Lantas muncul cerita panjang membahasnya. Saya hanya mengutip cerita lepasnya saja tentang “dunia” cashback yang diributkan itu. Ini dia kutipan gak utuh:

Cashback di media massa, sekarang ini berdasarkan cerita teman saya yang masih aktif di dunia pers, sangat lazim terjadi. Cashback di kalangan internal.

Biasanya pemimpin perusahaan membuat surat yang ditujukan ke semua pihak internal, baik redaksi maupun bisnis.

Misalnya, jika berhasil mendapatkan iklan dari klien tertentu, cashback-nya lima persen atau sepuluh persen. Cashback di kalangan eksternal.

Pemasang iklan minta cashback yang sadis, bisa sampai tiga puluh persen. Nantinya, ada dua invoice. Satu untuk si pemasang iklan, nilainya utuh seratus persen.

Ini penting sebagai bukti jika suatu saat ada pemeriksaan dari tim audit. Satu lagi untuk internal media, nilainya sudah dipangkas 30 persen.

Ini juga penting bagi pimpinan perusahaan, sebagai bukti jika ada pemeriksaan internal audit. Kedua pola itu, internal dan eksternal, sangat lazim terjadi.

Maka dianggap legal. Menjadi kebiasaan. Yang repot kalau pola itu diterapkan bersamaan. Si pemasang iklan dapat cashback, internal media dapat cashback juga.

Yang masuk kas perusahaan sisa enam persen. Ada pula pola yang ilegal. Oknum internal media yang bermain. Korup. Cashback bukan atas nama institusi.

Oknum itu bikin dua invoice. Satu untuk pemasang iklan, nilainya sertaus  persen. Satu lagi untuk perusahaan, seolah si pemasang iklan hanya bayar tujuh puluh persen.

Entahlah… mungkin teman yang lain lebih bisa ngarang cerita…

Teman saya yang wartawan, sepuluh tahun bekerja masih naik motor. Seangkatannya di iklan, baru lima tahun sudah beli mobil.

Ya udah…

Saya sedih melihat apa yang terjadi di pe-we-i sekarang ini. Lebih sedih lagi karena mereka yang bersilang sengkarut sesama teman sendiri.

Baik mereka yang di atas panggung maupun yang di balik layar.

Dewan kehormatan memecat ketua umumnya. Bahkan sekjennya dipecat sampai ke keanggotaannya. Yang di dipecat melawan.

Hendry sendiri hingga hari saya menulis ini  masih tetap merasa sebagai ketua umum.

Melihat kemelut di organisasi wartawan paling tua ini hanya bisa menonton. Pilihannya seperti yang banyak disarankan kongres luar biasa.

Itu, kata Hendry, tidak mungkin.  Kata yang lain mungkin. Bisa terlaksana kalau diminta dua pertiga pengurus cabang –berarti sekitar dua puluh daerah.

Hendry adalah pensiunan pimpinan redaksi Kompas. Kini ia memimpin media online hello indonesia. Sebelumnya ia dua kali  menjabat sekjen.

Hendry asal Karo. Punya marga: bangun. Hendry sendiri dari sisi nama adalah inspirasi oleh kehebatan tokoh palang merah dunia .

Saya mengira-ngira heboh pe-we-i ini akan panjang. Soalnya gak ada yang mau mengalah.[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”