Oleh Darmansyah
SAYA belum tahu bagaimana Hendry Chairuddin Bangun melawan kasus pemecatannya. Yang baru saya tahu ia telah bikin pengaduan untuk mempertahankan posisi ketua umumnya.
“Ketua umum” yang dipertahankannya berada dalam tanda dua petik. Seperti yang saya tulis di “paragraph” ini. Yang tanda dua petik itu Anda pasti tahu makna dan pemahamannya.
Makna dan pemahaman dari sengkarut yang menimpa ke “ketua umum”annya. Ketua umum pe-we-i yang Anda tahu benar maupun tahu remang-remang kasus yang menyebabkan ia dipecat.
Kalau gak tahu tanyakan saja ke rumput yang digoyang angin…Pasti akan disambut pula dengan angin goyangan.
Pemecatan itu sendiri ramai dan gaduh dikomentari teman-temannya. Komentar yang beragam. Ragam komentarnya mulai sangat memalukan hingga dipermalukan.
Tambahan komentar itu juga melebar hingga sangat memukulnya sampai dia sangat terpukul.
Anda tinggal memilih mana salah satu dari komentar itu untuk diartikulasikan lewat makna dan pemahaman sendiri sebelum memberi komentar lanjutannya.
Kalau saya gak mau mengambil salah satu dari komentar itu. Lebih suka mengambil sampel komentar yang lain.
Komen yang datang dari teman paling dekatnya. Yang teman dekat sekali bukan sekali dekat seperti Anda, mungkin, Kepada saya ia mengomentari dengan kosakata: amblasshh…
Diucapkannya dengan suara gembur bak orang bicara dengan mulut penuh. Yang cara pengucapannya bisa Anda uji kesahihannya.
Amblas itu tatabahasanya sinonim “collapsed” Kalau kosokbalinya saya gak tahu. Malas buka google. Bisa cari sendirilah.
Amblas itu sendiri berdasarkan standar kebahasaan berarti ‘hilang lenyap’ atau ‘tidak muncul-muncul.”
Apakah si Hendry akan “hilang lenyap” atau “tidak muncul-muncul” lagi? Entahlah….
Saya tahu artian kosakata amblas dalam pemahaman si teman yang ia tulis di pesan whatsapp saya. Si teman yang dulunya hanya di tingkat dipermalukan dalam kasus yang berbeda: lantas amblas….
Dipermalukan saja amblas.. apalagi seperti Hendry. Dipecat…yang sama saja dibuang… ke comberan.
Tingkat dipermalukan saja untuk menggapai terbit lagi si teman harus jungkir balik . Bangkit untuk muncul dari comberan.
Comberan yang isinya “banyak ditukangi…banyak hasut.. banyak hasad.. sana sini….bahkan banyak gosok dan geseknya. Gosok dan gesek hingga ke pantat.. wkwkwk…”
Si teman itu sendiri tak punya roadmap bagaimana si Hendry bangkit dari amblas.. Sudah memberitahu. “Caranya terserah,” kata si teman dalam sapa paginya dengan saya.
Kata amblass.. milik jargon si teman menurut saya memang pantas untuk disematkan ke si ketua umum… ups mantan …
Karier panjangnya sebagai jurnalis paripurna ikut terseret-seret. Karier yang ia sering mengatakan gak pernah mengenal kata purnawirawan.
“Gak ada kosakata purnawirawan untuk profesi ini,” katanya seperti yang saya kutip dari sebuah artikelnya Kosakata untuk jurnalis hanya tunggal. Harga mati. “”Never die.” Gak pernah mati.
“Never die” dari amalan Hendry di dunia jurnalistik yang tegak lurus. Ia membuktikannya di dua pertiga umur kehidupannya. “Ia bukan wartawan abal-abal,” kata sang teman terhadap Hendry.
Banyak publis esainya di kolom artikel berbagai media mainstream bertema ideologi tegak lurusnya profesi ini.
Ia menulis apa adanya. Gak memakai bahasa eufumisme. Ia tak mengenal “penghalusan” kalimat terhadap banyak masalah di lingkungan jurnalis.
Untuk itulah ia merasa amblas dengan ketok palu pemecatannya oleh dewan kehormatan.
Padahal sejak teripilih sebagai ketua umum di kongres Bandung akhir September tahun lalu, Hendry sudah mempermaklumkan untuk menjalaninya satu periode.
Usai satu periode itu ia akan bye..bye.
Di sebuah forum seperti yang saya baca pagi tadi ia meminta seluruh pengurus bekerja secara profesional, memberikan pelayanan yang baik kepada semua anggota.
Termasuk anggota-anggota junior di kampung udiksaya. Yang juga kampung si junior yang pernah mem”peusejeuk”-nya dengan si tawar si dingin…. Hahaha.
Peusejuik dengan sebuah janji disupport dalam melaksanakan tugasnya sesuai prinsip kerja jurnalistik di lapangan.
Tentang ke-ketua umum-nya ini secara berulang ia mengatakan : saya hanya mau satu priode Janji lain, ia taat azas sebagai legacy-nya memimpin organisasi profesi ini.
“Semua kalian, tidak ada terkecuali, berpeluang menggantikan saya nanti,” katanya
Dengung lain pernyataannya: ”kepatuhan pada semua aturan itu yang akan membuat kita mendapat pengakuan masyarakat sebagai wartawan professional dan berintegritas.
Tapi apa mau dikata. Sebuah rapat pleno pe-we-t yang datangnya bak banjir bandang memakziukannya. Menunjuk pelaksana tugas ketua umum.
Menyakitkan lagi sang pelaksana tugas adalah orang yang diberhentikannya secara penuh dari keanggotaan.
Kini bola bergulir. Pro-kontra melingkar di sengkarut organisasi profesi ini. Ada pengaduan. Ada langkah ke kongres luar biasa. Entah mana yang keduluan dan ketinggalan kita tunggu saja.
Bagi yang keduluan ada agendanya. Agenda kongres untuk memilih ketua umum definitif yang tenggat waktunya paling lambat enam bulan sejak penunjukan pelaksana tugas.
Kongres juga tidak mudah. Harus ada dua pertiga pengurus wilayah yang menyatakan siap.
Hendry juga gak mau ketinggalan. Menolak pemecatan sekaligus menolak penetapan pelaksana tugas tidak sah karena sudah diberhentikan secara tidak hormat.
Bahkan, kalau pun kongres berhasil dan berjalan pihaknya tidak akan mengakui pelaksanaannya Ia juga telah melaporkan beberapa pihak yang terlibat ke aparat penegak hukum.
Tuduhannya adalah pemalsuan surat keputusan. “Teman-teman pengurus pusat telah membuat laporan ke kepolisian,” katanya.
Ya .. ramai… ya gaduh… entahlah juga….
Saya sendiri gak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Yang benarnya transformasi digital yang jadi program organisasi ini jadi wait and see.
Pemberlakuan dan mengembangan platform digital untuk menyajikan konten jurnalistik, serta memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan informasi jadi tertunda.
Di samping itu kualitas jurnalisme saya takutkan akan meredup. Padahal peningkatan kualitas jurnalisme diharapkandapat menghasilkan produk jurnalistik yang bermanfaat bagi masyarakat.
Saya tahu Hendry punya obesesi untuk menjadikan pe-we-i wadah para wartawan untuk memperjuangkan kehidupan berbangsa lewat tulisan.
Ia merasakan penggalangan kesadaran bangsa harus melewati pemberitaan yang baik. Wartawan harus secara aktif menjalankan profesinya dengan semangat mengutamakan perjuangan.
Ia tahu dari rahim organisasi inilah lahirnya pencerahan dengan semangat luar biasa memperjuangkan kecerdasan. Lewat tekad agar lembaga ini terus senantiasa dijaga.
Terlepas dari era yang berganti eksistensinya organisasi ini harus bisa mewarnainya dengan fungsi dan peranannya sebagai lembaga yang diisi oleh masyarakat sebagai kalangan intelek.
Maka sudah barang tentu, lembaga atau organisasi ini harus memainkan perannya sebagai lembaga yang mempertontonkan keteladanan terlebih sebagai organisasi profesi
Jalannya bisa dilakukan dengan memberikan pelatihan jurnalistik kepada anggota, serta mendorong jurnalis untuk melakukan riset dan investigasi yang mendalam dalam sajian pemberitaan.
Profesionalisme wartawan perlu meningkat agar dapat menjalankan tugasnya secara independen dan bertanggung jawab.
Salah satunya dapat dilakukan dengan mengoptimalkan uji kompetensi wartawan. U-ka-we. Dan deprogram ini Hendry kesandung. Program bernilai enam miliar dari ce-es-er. Juga disebut dari sponsorship Forum Humas BUMN.
Ce-es-er yang saya tulis di artikel sebelumnya. Yang otak atiknya model cashback.
Padahal u-ka-we itu sendiri maksudnya suci: memberikan pembinaan kepada wartawan agar dapat menjunjung tinggi kode etik jurnalistik.
Lewat u-ka-we ini, cepat atau lambat, organisasi di pusat dan daerah dituntut melakukan perubahan agar lebih relevan dengan perkembangan zaman.
Tujuan akhirnya organisasi wartawan terbesar bisa menjadi garda organisasi yang modern yang kuat dan memiliki pengaruh besar di pemerintah dan masyarakat.
“Dengan independensi yang terbangun, ikut memberikan andil terhadap kesejahteraan wartawan yang baik, maka akan muncul benih-benih perusahaan pers yang modern dan profesional,”
Itu idealnya. Tapi gak idel untuk seorang Hendry yang pernah merentang jalan panjang hingga menjadi ketua umum pe-we-i. Jalan panjang dari anggota Dewan Pers. Dua periode sekjen pe-we-i.
Bahkan kalau dirunut karier kewartawanannya bisa lebih jauh ke hulu. Ketika di awalnya ia hanya reporter picisan di majalah “sportif” di empat puluh dua tahun silam.
Kemudian berkarier di harian “Kompas.” Sampai purnakarya. Bukan purnawirawan. Jadi pemimpin redaksi harian warta kota. Selain aktif di organisasi kewartawanan.
Aktif pula mengajar bidang manajemen media di sekolah jurnalisme Indonesia milik pe-we-i.
Selain itu ia membanggakan sebagai penulisaktif: menerbitkan beberapa buku.
Namun semua itu gak bisa sebagai penolongnya.
Amblassshhh…..[]
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”