Dahlan, Visioner dan Lain-lain…

Darmansyah

DUEK pakat di bakda ashar itu nyaris gagal. Muasalnya dari hang-nya lokasi dan nama kuliner Aceh di otak saya.  Membuat memori miring saat memetakannya.

Kuliner Aceh yang seharusnya ada pangkal nama: grand. Yang saya nggak pernah  mendengar dan tahu lokasinya. Lokasi “grand kuliner aceh.” Lokasi tempat duek pakat yang ia janjikan.



Yang, ternyata, ooo alah.. lokasi kuliner terkenal dengan pengunjung seabrek plus pilihan menu beragam. Persisnya di Meuraksa. Ulee Lheue. Ulee Lheue di timur Banda Aceh.  Ulee Lheue di Koetaradja.

Grand kuliner aceh ini yang membuat saya berputar-putar sampai hampir satu jam. Yang akhirnya cespleng lewat ulang janji dengan sang teman  di bundaran Ulee Lheue dan lantas ke “grand kuliner aceh.”

Duek pakat itu terwujud.  Terwujud  usai saling sapa antara saya dan sang teman menjelang zuhur-nya. Yang sebelum saling sapa janjian di hari itu kami pernah sepakat untuk berbincang. Kesepakatan beberapa bulan lalu.

“Kita ketemu usai ashar ya…”  begitu isi sapa  di hari itu.  Saya respons dengan jawaban ringkas satu kata: oke. Oke nunut. Nunut karena takzim. Takzim karena usia, pengalaman dan jalan hidupnya lebih dari saya.

Apalagi ada tambahannya dalam sapa hari itu: “kesehatan saya nggak baik-baik amat Man.” Itu kata kunci untuk melebarkan nunut saya.

Nama kawan duek pakat itu bagi Anda dan juga, rasanya, nggak asing amat. Ia pernah menjalani ritual panjang sebagai tokoh. Tokoh dibanyak komunitas. Profesional dan nonprofessional. Di provinsi ini.

Tokoh sebagai aktifis pelajar,  jurnalis yang pemilik sebuah koran, entrepreuner sekaligus banyak berkubang di organisasi dan perhimpunan.

Sebut saja salah satu tempat ia berkubang itu  kamar dagang dan industri di provinsi ini. Jadi pengurus plus ketuanya…

Saya sebut sajalah namanya: Dahlan Sulaiman. Sejak dulu saya menyapanya dengan bang dahlan. Bang Dahlan yang pernah memberi secarik kertas untuk ditukarkan dengan stelan jas lengkap di sebuah taylor di kawasan Peunayong.

Stelan jas khas sogokan pertemanan. Hahaha..Itu dulu sekali…

Bang Dahlan yang saya kenal sejak dulu itu adalah lelaki “dandy”  Ke’dandy”annya itu masih saja menjadi bagian dari kesehariannya di hari kami duek pakat.  Datang dalam balutan kemeja tangan pendek yang saya nggak tanya merk-nya.

Plus plus jaket piere cardin dan topi dengan warna senada. Itu memang khasnya. Kekhasan sebelum jadi orang kaya. Apalagi setelah kaya.. hahaha…

Bahkan di sore itu ia melengkapi asesori kehadiran dengan tunggangan bmw. Yang. katanya. dalam nada canda lebih mahal dari harga pesawat milik seorang mantan gubernur yang kini dicekal kapeka untuk ke luar negeri.

Pesawat  milik sang mantan gubernur yang pernah menghuni penjara suka miskin baling-baling tunggal. Yang dulu viral di  media sosial.

Bang Dahlan sejatinya memang sangat perhatian dengan penampilan. Beda dengan saya yang casual. Acak-acakan.

Ya sudah…

Duek pakat di sore hingga menjelang larut malam itu tak memiliki topik tunggal. Mengalir begitu saja. Mengalir dalam pertukaran kata dan kalimat saling menguatkan. Tidak berhimpitan. Juga tidak longgar.

Selain itu sangat responsif. Tapi tidak atraktif. Sesekali menukik ke pokok pangkal ketika kemasan pembicaraan masuk ke arena peluang dan hambatan investasi, aceh miskin, visi kepemimpinan, hingga mainsheet “mbong” yang mengaduk-aduk anak aso lhok  provinsi ini,

Saya tak ingin menulis depth semua isi duek pakat kami itu. Tak ingin menyergap. Takut out focus.  Ingin mencicilnya, Mencicil agar bisa lebih jinak. Juga agar nggak meuhambo.

Meuhambo seperti aceh miskin yang menyisakan tanya di kepala banyak orang. Yang satuan hitungannya datang dari jamban, rumah duafa dan konsumsi dikaitkan dengan daya beli. Diramu, dipilah-pilah dan menjadi masakan be-pe-es

Hasilnya: Aceh miskin.

Entahlah…

Karena banyak topik saya ingin memilahnya. Memilah dengan mengedepan di tulisan ini tentang kepemimpinan visioner. Kepemimpinan yang pernah menyertai provinsi ini. Kepemimpinan kolektif atas kesadaran bersama.

Kesadaran untuk memperbaiki kisi-kisi keterbelakangan. Kepemimpinan ketika Aceh masih dibelit anggaran cepek tapi mampu melahirkan gagasan besar lewat visi cemerlang dan mengaktualkannya lewat kerja gotong royong.

Visi yang sesungguhnya. Sesungguh arti kata visioner. Yaitu mereka yang memiliki pandangan atau wawasan ke masa depan. Yang juga sering dilekatkan dengan padanan kata imajinasi. Imajinasi yang sering diejek pemimpi.

Padahal jalan menuju kepemimpinan visioner sangat tertata. Adanya kemauan untuk mengubah rutinitas, melakukan brainstorming pribadi, terus menjawab tantangan dan berhati-hati dengan asumsi.

Selain itu tak mudah menyerah dengan alasan sepele: kekurangan sumber daya. Bahkan terus  memperluas wawasan hingga berada di batas paranoid.

Untuk kasus Aceh ambil saja contoh visi pembangunan kampus Darussalam. Sebuah gagasan “tekad bulat melahirkan perbuatan yang nyata. Darussalam menuju pelaksanaan cita.”

Bukan mimpi ketika kampus “jantong hate” itu tumbuh menjadi bagian dari eksistensi Aceh hari ini dan esok.

Tekad bulat bukan hanya jargon. Tapi kolektifitas kepemimpinan. Sebut saja nama Ali Hasymi, Syamaun Gaharu hingga Nyak Adam Kamil. Jejak kepemimpinan mereka bisa menjadi renungan.

Saya tak tahu kepemimpinan siapa yang kita renungkan hari ini. Madjid Ibrahim? Ibrahim Hasan? Atau siapa.

Saya tak bisa menjawabnya ketika Aceh tak punya pelabuhan ekspor, no safe investment atau gaduh peng griek. Atau juga sibuk dengan pokir. Pokok-pokok pikiran yang ujungnya proyek dan fee.

Tak punya kawasan industri. Seperti dulu punya Cot Gapu dengan pabrik kawat, pabrik korek api dan motor penggeraknya cv puspa. Aceh juga punya pabrik plywood, pabrik sabun dan entah apa lagi.

Yang kemudiannya menghadirkan pabrik semen, pabrik pupuk, pabrik kertas dengan motor penghelanya temuan gas arun. Gas arun yang menggelembungkan pendapatan Aceh tapi apes karena gergasi Jakarta memakannya.

Yang menyebabkan Aceh mendapat remah cecerannya. Yang kemudian mencuatkan eleganitas anak do da ida dalam bentuk perlawanan yang sangat keras.

Harga perlawanan itu adalah menyebabkan Jakarta takluk. Takluk lewat sebuah paket otonomi khusus dengan lahirnya Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Undang-undang kekhususan dalam pengelolaan pemerintahan.

Undang-undang yang nggak termanfaatkan. Banyak mubazirnya. Dan saya nggak mengatakan seluruhnya mubazir. Mubazir karena kelemahan visioner kepemimpinan Aceh hari ini.

Dan itulah yang kami duek pakatkan dengan Bang Dahlan.

Saya tahu Dahlan punya penggalan pengalaman dengan visi Aceh. Visi dari seutas tali perikatan i-em-te-ge-te. Kerja sama ekonomi subregional Indonesia-Malaysia-Thailand tiga puluh tahun lalu yang ia ikut mengambil peran di sana.

Selain itu Dahlan juga menjadi bagian dari rancang bangun  visi free port authority Sabang. Free port yang terjengkang lewat gaduh jengek—jenggo ekonomi.

Padahal tak mudah mewujudkannya. Mewujudkan free port authority. Free port yang berjilid-jilid.

Selain itu saya tahu juga jejak entrepreuner Dahlan. Jejak yang tak semuanya lurus amat. Ada jalan memutarnya. Tapi ia tak pernah memutar lewat  jalan menikung.

Dan ketika duek pakat itu kami sepakat harus ada suara meninggi dari kepemimpinan di provinsi ini. Seperti suara meninggi autokritik Malik Mahmud tentang kelakuan “peng griek” di lingkungan mantan kombatan.

“Peng griek,” – uang logam. Uang receh.

Sebagai seorang jurnalis yang “never die.” walau pun sudah “old” Dahlan masih menyisakan adukan eleganitas keacehan dalam keseharian oralnya. Masih dengan retorika khas di sore itu…

Masih ingin menggugat di tengah hiruk pikuknya hari-hari yang nuansa politisnya sangat tinggi. Ketinggian dalam jangkauan pokir…

  • Darmansyah, wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”