LAMA saya tak ke Peunayong. Sejak pasar sayur dan pasar ikannya di pagar seng. Sejak gaduh pedagang dan “toke bangku” meuhambo-kan dagangannya di halaman balai kota.
Dua tahun lalu. Dua tahun “prang” ngotot-ngototan antara pedagang, nyak-nyak penjual sayur dengan balaikota yang disertai tepuk hore dari masyarakat. Tepuk hore yang dikompori media sosial.
Bukan kompor media manstream yang oleng memberitakannya karena takut kehilangan salam amplop dari balaikota.
Pekan lalu saya ke Peunayong lagi. Itu berarti Aminullah Usman tak berkantor di sana lagi. Aminullah yang rajin menganggarkan proyek untuk meruntuhkan Peunayong.
Meruntuhkan pasar ikan dan pasar sayur hanya untuk meuwujudkan proyek kulinernya. Proyek kuliner dengan nama beken “riverwalk” yang menurut seorang sahabat saya ada “fee”-nya.
Kan nggak ada proyek tanpa “fee.” Anda sudah tahu yang kalau namanya proyek pemerintah, apalagi infrastruktur. Yang salam belakangnya disertai “fee.”
Kan di mana-mana anggaran infrastruktur harus disertai fee. Pokir dari anggota dewan aja ada fee-nya. Itu bukan kata saya. Itu kata data yang ada di kapeka yang biasa menggiring pejabat ke gedung merah putih karena fee proyek. Fee salam tempel belakang.
Salam tempel yang Anda sendiri bisa menghitung jumlah bupati, gubernur dan anggota dewan yang mengenakan borgol disertai rompi warna oranye yang dipertontonkan sebagai koruptor.
Merubuhkan pasar ikan dan pasar sayur Peunayong seingat saya butuh waktu panjang. Butuh tolak tarik. Bolak balik. Bolak balik pedagang ikan dan pedagang sayur.
Tolak tarik yang menyebabkan Aminullah mengirim Satpol PP berjaga dua puluh empat jam. Berjaga agar toke bangku di pasar ikan dan nyak-nyak penjual sayur tak mengoyak pagar seng dan membuat lapak di jalan kartini.
Saya sendiri datang kembali ke Peunayong karena “terpanggang” ucapan seorang teman. “Peunayong telah mati bang…,” ujar sang teman. Jasman Makruf.
Jasman Makruf seorang gurubesar ekonomi unsyiah di sebuah pagi ketika kami bertemu di kupi solong kawasan Ulee Kareng.
Entah kenapa Peunayong menyeruduk dalam pembicaraan kami bertopik hambatan investasi di Aceh. Saya tak ingat persis kedatangan kata Peunayong itu. Apalagi datang dari mulut seorang guru besar ekonomi.
Guru besar yang dua periode menjalani masa jabatan rektor di Universitas Teuku Umar Meulaboh yang rajin mengamati pembangunan ekonomi skala regional.
Jasman yang kini juga membantu Pj Wali Kota Bakri membenahi keruwetan birokrasi yang ditinggalkan Aminullah. Keruwetan seabrek. Kusut dan banyak simpul yang nggak beres-beres.
Yang saya ingat munculnya kata Peunayong itu berasal dari penggalan kalimat tak utuh ketika kami bicara tentang Banda Aceh yang bak kereta api cah.. ceh.. coh.. pertumbuhannya,
Kereta api “atjeh spoor” yang ceh..coh.. jalannya. Lambat dan harus didorong-dorong. Didorong ketika menanjak dari Padang Tiji ke pendakian Seulawah.
Peunayong ketika saya datang di hari pertama pekan lalu itu memang sudah mati. Persis seperti kata Jasman. Mati pengunjung. Mati hura-hura di banyak jalan utama. Bahkan mati kutu pemerintahan kota karena pagar sengnya sudah terkoyak.
Lantas bagaimana dengan pasar penggantinya?
Pasar Mahirah. Pasar yang namanya pinjaman dari Madinah. Pasar yang pembangunannya nggak berkesudahan. Karena pembangunan yang “cilet-cilet”.
Pasar yang berlokasi di Lamdingin. Arah makam Syiah Kuala. Di atas areal tambak. Dan dibangun dengan tambal sulam bak menempelkan kain perca. Penuh genangan air kala hujan. Pasar tanpa gairah.
Ya sudah… Saya nggak ingin terperosok pada seliweran ghibah pasar mahirah yang penuh dekaden. Penuh tanya.
Saya ingin fokus ke Peunayong. Peunayong yang kejayaan telah mengelupas. Peunayong yang dulunya kampung cina di timur Banda Aceh.
Penayong yang dulunya… dulu sekali adalah metropole. Metropole dengan restaurant tropicana dan aroma khas. Metropole dengan bioskop tumpeng dan rex. Serta toko swalayan Pelangi.milik Aken di ujung Jalan Ahmad Yani
Selain itu tak ada lagi ucapan menggelitik lidah Kwangtung yang meliukkan ucapan “cing cai lha”. Lidah para kek atau hokian itu sudah lama kelu.
Jejak Peunayong yang metropole itu hingga kini masih tersisa di sebaris toko, di belokan ujung Jalan Yani arah jalan Supratman, bergaya klasik, campuran “hongfu” dan “kek” itu masih berdiri kukuh.
Tiang beton di kakilimanya, “trade mark” bangunan pecinan masa kolonial, menyangga lantai papan langit-langitnya, belum terusik oleh renovasi.
Bahkan jendela susun sirih di lantai atas, yang complang dimakan usia, tetap dipertahankan sebagai penguat keasrian komunitasnya.
Keasrian warisan perantau hongfu, Kek dan Hokian, dari cina selatan, yang datang sebagai koeli di zaman kolonial.
Koeli yang membangun hunian ekslusif tanpa mencampakkan akar budaya leluhurnya, dan memelihara semua tetek bengek kebiasaan moyangnya dengan sandaran falsafah “kong hu cu”isme.
Lihatlah sisa bangunan di Jalan Jambi, Jalan Kartini dan Jalan Yani yang masih utuh dan setengah utuh. Letaknya simetris. Lurus memanjang. Mengingatkan kita pada pesan “fengshui” yang mengutamakan asas keselarasan.
Asas kepatuhan terhadap arah bangunan, tingginya pintu, jumlah jendela, letak dapur dan segala macam remeh temeh tempat pedupaan untuk mengalirkan kesinambungan spritual kehidupan dan kematian.
Harmoni. Itu kata kunci dari “fengshui,” ala cina Kwangtung. Harmoni untuk memelihara kehidupan di rantau. Rantau kampung pecinan. Kampung di timur Krueng Aceh. Kampung Peunayong
Peunayong memang kampung cina di timur Koetaradja. Kampung memanjang bersegi empat dari ujung Jalan Chairil Anwar, Jalan A Yani, Panglima Polem hingga batas Kampung Mulia.
Kampung yang kisi-kisinya memintasi jalan Teluk Betung, Jalan Jambi dan membelah gang hunian dengan tumpukan rumah tinggal di selangkangnya. Sebuah pemandangan unik dari sisa masyarakat perantauan yang tertutup.
Itulah Peunayong. Kampung cina yang berpijar ketika Hon Kap masih berkuasa sebagai “kapiten der chineezen” dan mengapling kebun Mulia, kebun Laksana dan kebun Keuramat.
Kebun yang populer dengan nama kebun cina dengan tumbuhan jeruk bali, sayur sawi, kandang babi dan kebun kelapa di ujungnya. Kebun cina, yang kemudiannya, menjadi perkampungan padat seusai “amok” ‘66. Amok yang menceraiberaikan anak turunan “kek” ini.
Siapa yang tak berdecak melirik rumah si kapiten Hon Kap, namanya Hon karena ia seorang kapiten maka di belakang namanya disambung dengan “kap,” di Jalan Panglima Polem.
Yang pernah sebagai toko penjualan motor suzuki, yang gerbangnya dipajangi dua patung singa, khas rumah pemuka cina zaman itu, sebagai lambang keperkasaan. Kapiten mengayomi komunitas perkauman.
Mematikan pembangkangan dan mengatur lancarnya arus tradisi sembari merogoh kantong kaumnya atas nama “belasting” sebagai harga keamanan.
Kapiten, yang diangkat atasnama kebijakan kolonial berdasarkan strata kota menurut ukuran penduduk dan mobilitas perekonomian, untuk mengatur perkauman.
Yang diberi dispensasi memelihara “centeng” guna melanggengkan kekuasaan serta dibiarkan menumpuk harta untuk membeli kehormatan sebagai sesepuh dalam memutuskan hitam-putih sengketa di antara puak.
Peunayong tidak hanya otoritas kapiten. Ia adalah bagian dari denyut Koetaradja, kini dan dulu, secara keseluruhan. Denyut heteroginitas kota tua, usai penaklukan Belanda di tahun 1873, yang mengundang kemajemukan puak, tradisi bahkan agama.
Kemajemukan yang memberi ruang bagi domisili cina, misalnya, di tanah “Peumayong.” Tanah perlindungan milik kadi besar Malikul Adil. Tanah, yang kemudiannya, terpeleset di lidah “kek” menjadi Peunayong.
Tak banyak petunjuk benderang kapan Peumayong atau Penayong mulai dibangun.
Yang jelas tanah hibah sultan untuk kadi besar ini, menurut catatan sejarah kerajaan Aceh, pernah menjadi bagian keramaian pelabuhan.
Ketika Lampulo, Kampung Pande dan Peulanggahan masih berkibar sebagai pusat perdagangan internasionalnya Iskandarmuda dengan loji-loji memanjang dan berhimpitan sepanjang sungai.
Jejak permulaan sejarah Peunayong menjadi komunitas pecinaan memang sulit untuk ditelusuri sampai menukik.
Sebuah plakat di dinding samping bekas toko Pelangi, Jalan Supratman, diprakarsai tim bustanussalatin, usai humbalang laut tsunami mengayak kota kerajaan ini, tak benderang amat memberi petunjuk.
Sumir dan hanya prakiraan yang tidak membantu akses penelusuran sejarah pecinan itu sendiri.
Plakat di atas kepingan tembaga, yang diberi tonjolan semen hitam bertabur kerikil halus itu, kini, terkepung iklan operator telepon seluler “treegi” sepenuh dindingnya, tak secuilpun membuka tabir keberadaan kampung cina itu.
Catatan ringkas itu hanya menginformasikan tentang kawasan pinggiran Krueng Aceh, di timur kota, pada abad ketujuh belas telah menjadi alur perdagangan. Krueng Aceh.
Menjadi lalu lintas kapal dagang, waktu itu, tulis plakat hasil kerja sama proyek bersama BRR itu, termasuk dari cina. Informasinya berhenti sampai di situ.
Sebuah informasi, mungkin, dicantelkan pada catatan sejarah persahabatan kerajaan Aceh Darussalam dengan Cina, yang ditandai souvenir lonceng “cakradonya,” sebagai simbolnya. Bukan informasi utuh dari domisili koeli Kwangtung di tanah Peunayong.
Tak ada penegasan tahun awal pemukiman. “Plakat itu tak profesional. Padahal mereka mencantumkan nama sebuah tim,” ujar seorang cina tua kepada penulis dengan meradang.
Perkiraan abad, menurutnya, sangat relatif dan kabur. Seharusnya mereka mencantumkan tahun dan tapak pertama dimana pancang sebuah bangunan bersejarah didirikan.
Dan seharusnya dan seharusnya… []
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”