PORTALNUSA.com | BANDA ACEH – Direktur Eksekutif For-Bina, Muhammad Nur menyatakan menindak investasi ilegal patut diberikan apresiasi kepada lembaga penegakan hukum namun memberi kebijakan khusus agar rakyat dapat berinvestasi dengan aman juga sangat perlu dilakukan dan itu t ak kalah pentingnya.
“Kita beri apresiasi kepada Gakkum. Kita dorong pemerintahan Mualem-Dek Fadh menyiapkan kebijakan khusus yang prorakyat,” kata Muhammad Nur dalam rilisnya yang diterima media ini, Sabtu, 28 Desember 2024.
Muhammad Nur menyebut pentingnya kebijakan prorakyat dan ini adalah kode keras bagi Mualem-Dek Fadh yang akan segera memimpin Aceh selama lima tahun (2025 – 2029).
“Bagaimanapun ada beban berat yang bakal ditanggung oleh pemerintahan Mualem-Dek Fadh yaitu warisan kemiskinan. Jika rakyat yang mencari rezeki di negeri sendiri tidak dilindungi sebagaimana perlindungan yang diterima para investor besar maka rakyat akan terus menjadi korban dari kegiatan ilegal,” tegas mantan Direktur Walhi Aceh itu.
Diingatkan, kebijakan terkait aktivitas pertambangan dan juga perkebunan, terutama terkait perizinan masih harus berurusan dengan Pusat, yang sangat mungkin diakses oleh investor besar plus punya koneksi.
“Tanpa dukungan kebijakan, rakyat yang berinvestasi akan terus bermasalah dengan aparat penegakan hukum,” tambahnya.
Menurut Muhammad Nur yang juga salah seorang Jubir Pemenangan Mualem-Dek Fadh, ada langkah dini yang bertugas meneropong isu-isu terkait kegiatan investasi rakyat di sektor pertambangan dan perkebunan.
Hasil teropongan itu didiskusikan, dicari jalan keluarnya, dirumuskan langkah-langkah penangganannya ke berbagai pihak mulai di level Aceh hingga ke level nasional, dikomunikasikan, dirumuskan langkah-langkah antisipatif dan dibangun kesamaan pandangan.
“Apalagi pada Januari 2025 nanti akan berlaku kebijakan PPN 12 persen yang otomatis akan berdampak luas bagi seluruh rakyat. Jika rakyat tidak diproteksi dalam berinvestasi di sektor tambang dan perkebunan maka akan semakin sulit untuk mengatasi problem kemiskinan di Aceh,” demikian Muhammad Nur.[]