“Fiesta” Soliditas

Darmansyah

FIESTA itu sangat besar. Waktu itu. Bahkan di waktu-waktu berikutnya. Bukan hanya sangat besar tapi juga sangat berat tantangannya ketika ia masih di tataran ide.

Sangat besar karena akan tumpah ruahnya pengunjung. Tumpah ruahnya dana untuk mendukung penyelenggarannya. Sangat berat karena negeri ini masih berstatus darul harb.



Syamaun Gaharu (kiri) dan Hasjmy (kanan) ketika meninjau persiapan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) pertama (1958).

Saya sendiri hanya bisa mengingatnya dengan samar-samar. Samar-samar di usia sepuluh tahun. Usia yang memorinya masih mekar dan mekar… dan terus mekar hingga mulai meredup ketika saya menuliskannya kembali.

Hari ini.

Hari ketika gumam  tentang soliditas kepemimpinan  yang retak. Yang .. ampun sulitnya untuk dipersambungkan. Sulit ketika negeri ini punya duit bak gajah semok. Duit otsus.

Yang apa saja bisa di- “fiesta”- kan. Tapi tak bisa diselenggarakan karena tak ada soliditas. Soliditas kepemimpinan. Kepemimpinan yang berbobot dan kokoh.

Semuanya ingin maju sendiri. Menang sendiri dan memetik hasil sendiri.

Untuk itu saya ingin mengenang soliditas kepemimpinan saat itu. Dan fiesta saat itu. Fiesta Pekan Kebudayaan Aceh yang nggak ada huruf  penanda romawi pertama di belakangnya.

Huruf romawi untuk satu, dua, tiga dan selanjutnya. Yang selanjutnya itu pernah terselenggara dengan sangat monumental saat Ibrahim Hasan memimpin negeri ini.

Monumental karena panggung utamanya saja mengisi hampir seperempat Lapangan Blang Padang. Yang rangka panggungnya itu menjadi saksi ketika kembali dirakit di Stadion Haji Di Moerthala, Lampineung.

Pekan kebudayaan yang terselenggara di era pergolakan darul harb yang ditopang soliditas kepemimpinan. Kepemimpinan Ali Hasjmy dan Syamaun Gaharu sebagai “duo” tunggalnya. Hasjmy yang gubernur dan Syamaun yang ka-de-em-a, yang kini pangdam.

“Duo” tunggal yang belum ada forkompimdanya seperti hari ini. Forkompimda yang sering memilih jalan sendiri-sendiri. Yang beda dengan “duo” tunggal Hasjmy dan Gaharu yang saling bergandengan tangan.

Hasjmy dan Gaharu yang saya ingat ketika pekan kebudayaan berlangsung dua puluh agustus seribu sembilan ratus lima puluh delapan. Enam puluh lima tahun silam.

Yang saya tulis sepenggal. Sebagai kenangan mengenang soliditas kepemimpinan saat itu.

Inilah catatannya itu:

Stasion PMABS, Jalan Merdeka, Tapaktuan. Enam puluh lima tahun telah berlalu. Tapi kenangan itu tak pernah lekang di memori saya.

Hari itu, setelah saya telusuri lewat bongkahan akar serabut saya  penanggalannya adalah Selasa, delapan belas agustus tahun Seribu sembilan ratus lima puluh delapan. Sehari usai peringatan tiga belas tahun proklamasi.

Suasana di stasion “besar” untuk kota sekecil Tapaktuan itu sangat cair . Secair ekspresi kami, rombongan besar yang akan menjalani “ritual” budaya ke Koetaradja.

“Ritual” megalomania atas nama kesejarahan untuk mengangkat harakat budaya sebuah negeri yang terpuruk oleh coreng morengnya pergolakan konflik vertikal dan horizontal.

Konflik yang melumatkan “persaudaraan” anak negeri ini ke degradasi paling kritis.

Kami, rombongan yang akan berangkat ke Koetaradja, adalah kumpulan wajah optimis, yang berangkat atas nama kebesaran budaya plural Aceh.

Sebuah rombongan besar, sesi kedua, dari “negeri ketelatan” berangkat ke Koetaradja nun di sana, dua hari mendatang, tepatnya, Kamis, dua puluh agustus, ada perhelatan besar dalam sejarah, yang kemudian dicatat untuk tidak dikenang sebagai tonggak penting oleh anak generasinya.

Tonggak sejarah yang digagas dengan pemikiran besar dan diselenggarakan oleh “the founding father,” pascapost aceh “modern” dengan nama pekan kebudayaan.

Peukan, dalam artian harfiah “acheh,” adalah “pasar.”

Pasar tempat pertemuan berbagai kepentingan dengan mengutamakan plurarilis atau keberagaman dalam satu tujuan, saling menempatkan “kepentingan bersama” dalam konteks ke”aceh”an.

Tonggak sejarah, yang di kemudian harinya dicatat oleh banyak pengamat sebagai kebangkitan Aceh pascakemerdekaan.

Kebangkitan untuk mencari identitas baru bahwa negeri ini tidak hanya diisi oleh gejolak kemarahan. Negeri ini bukan hanya “atjeh moorden.”

Negeri amok yang menepis semua kehendak orang lain dengan satu kata,”berontak.”

Hari itu, kami mengenangnya sebagai anak “sekolahan” dalam konteks pembelajaran tentang antusiasme sejarah.

Anak sekolahan dengan gairah “kematangan” pemikiran akibat penderitaan panjang sebuah negeri yang “terjajah.”

Ya, hari itu di stasion kecil, sebuah kota kecil, di ujung selatan Koetaradja, menggelegak gairah untuk menopang gagasan besar dari “mimpi” besar tentang pencarian identifikasi diri anak “nanggroe” untuk menempatkannya dalam bejana yang retak.

Identifikasi tentang ke“acheh”an. Identifikasi tentang negeri berbudaya. Identifikasi untuk melawan “kenakalan” atas sebutan bahwa negeri ini sebagai “nanggroe” kaum pemberontak ketika tertindas hak “istimewa”nya akibat dicabut oleh kepentingan “politisi” republikein nasionalis nun di Jakarta sana.

Hari itu, setelah menyadarinya bertahun-tahun, kami menemukan jawabannya. Pekan kebudayaan adalah “pasar” pertaruhan untuk mengembalikan Aceh sebagai “kiblat” budaya dengan “hegemonis” yang berpunca pada satu kata “islamis.”

Hari itu, dari Stasion PMABS, yang banyak orang mengidentikkan sebutan ini dengan “persatuan masyarakat aceh barat-selatan,” kami, termasuk saya sebagai anak sekolahan, harus mengarungi perjalanan “pembebasan” ke Koetaradja.

Sebuah perjalanan “jauh” dalam kondisi infrastruktur jalan “sirtu,” pasir dan batu, serta dihadang sepanjang jalan dengan “swepping” ala darul harb untuk mengumpulkan “infaq.”

Dua hari sebelum pekan kebudayaan berlangsung, perjalanan dua hari ke Koetaradja adalah perjaalanan “ngepas.” Artinya, perjalanan kritis dengan keharusan bermalam di Meulaboh sebelum di hari berikutnya meneruskannya ke Koetaradja.

Saya tidak tahu, apakah ada kekhawatiran yang dipendam oleh rombongan besar itu untuk tiba tepat waktu ke sana.

Sebab, selain menghadapi kondisi jalan pasir batu, dengan tujuh rakit penyeberangan yang belum tentu bisa bersahabat, perjalanan Tapaktuan-Koetradja itu memang kritis dengan sisa waktu dua hari.

Yang saya tahu, Rabu sore, 19 Agustus 1958, rombongan besar dari “negeri ketelatan” itu tiba di Banda Aceh. Pas satu hari sebelum pekan kebudayaan dihelat, 20 Agutus.

Yang saya tahu juga, rombongan kami ditumpangkan di sebuah sekolah dasar di ujung kawasan Jalan Mohd Jam. Tumpangan menginap “ala” perjuangan.

Bentangan tikar dan sudut dapur umum yang menggairahkan hasil kesepakatan untuk hidup “nomaden” untuk sebuah “harga diri.”

Ketika datang ke Koetaradja hari itu, ada antusias besar dari anak negeri ini memaknai perhelatan budaya ini. Jauh hari sebelum ia dihelat, sudah tersemai di memori semua “anak bangsa” Aceh bahwa gagasan pekan kebudayaan adalah milik semua orang.

Tidak terkecuali bagi “pemberontak” yang bersimpangan jalan memaknai keberadaan “nanggroe” dalam konteks republik.

Mereka bisa melancar “amok” terhadap Jakarta, tetapi tidak pernah “melawan” ide besar dan gagasan besar tentang penyelenggaraan pekan kebudayaan.

Ya itulah pekan kebudayaan dalam konteks Aceh, yang untuk pertama kalinya dilaksanakan. Pekan kebudayaan, yang kalau diukur secara finansial dengan pekan kebudayaan yang diselenggarakan hari ini, kalah jauh. Tapi secara maknawi ia berada jauh melampaui apa yang menjadi gagasan hari ini.

Tidak hanya melampui kecemerlangan ide, tapi juga melampaui zamannya ketika pekan kebudayaan itu menjadi megalomania dalam kesejarahan Aceh pascakemerdekaan.

Kesejarahan ketika di hari itu orang tahu tentang kebesaran Aceh dengan simbol gajah putih yang berpijak pada realitasnya di era itu.

Ya, hari itu, 20 Agustus, ketika di Balai Teuku Umar, atau dikenal dengan BTU, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Prof Prijono, membuka Pekan Kebudayaan Aceh, yang kemudian hari diakronimkan dengan PKA I, terbentang sebuah cakrawala baru tentang kekayaan khazanah Aceh yang sulit tertandingi di bidang seni dan kreasi.

Sejak hari itu seudati terangkat menjadi tarian “istana.” Tarian yang menjelmakan kekaguman luar biasa atas dinamisasi geraknya di pesta Asian Games dan Ganefo.

Seudati menjadi tarian “anak emas” di istana dan menjadi supremasi harga diri anak-anak Aceh penghuni Asrama Poba di Jakarta.

Sejak hari itu, “orang Aceh” mengenal “saman yang datang dari ufuk tengah negeri ini, nun di Pinding, sekarang Gayo Lues sana. Tak ada kesangsian orang terhadap ketinggian filosofis tarian “guel” dengan pesona geraknya yang santun dan dioralkan dengan nyanyian lembut tapi merangsang yang datang dari negeri Takengon.

Dan hari itu, juga ada bentengan “kasab” yang rumit pemasangannya sebagai puncak dari keindahan pelamin dari Aceh barat-selatan.

Pelaminan yang kini menjadi “trend” perkawinan di Jakarta dengan harga sewa mencapai ratusan juta bila harus dilengkapi dengan asesori secara “full capacity.”

Bukan hanya kehebatan kreasi berkeseniannya, tapi, di hari itu, Kamis 20 Agustus 1958, Aceh menjadi sebuah “tamadun” budaya dengan pesona memukau.

Dalam hal pengelolaan event dan organisasinya, hari itu pula, Aceh menjadi sebuah contoh yang sulit dicari tandingnya dalam menyelenggarakan pesta budaya.

Hari itu pula, kami tahu tentang hebatnya manajemen “event organizied” yang dikelola oleh Teuku Hamzah Bendahara sebagai Ketua Harian PKA.

Sang tokoh, yang kemudian mencapai karier kemiliteran dengan pangkat mayor jenderal, dan pernah pulang ke Aceh sebagai Pangdam, mampu menggilas egoisme kabupatenisme lewat caranya mengisi kepanitiaan dengan keberagaman unsur asal dan sub-etnis yang ada di negeri ini.

Hari itu pula kami tahu, pekan kebudayaan itu menjadi gairah dari berahi masyarakat Aceh dengan mengisinya tanpa pamrih, bermodalkan kebersamaan yang tidak dipenggal-penggal oleh dominasi kotak anggaran yang angka, kini, bisa bermiliar-miliar.

Dan sesudah itu, ketika kami menjadi dewasa, kami tahu pekan kebudayaan “model btu” bisa menggilas “keterjatuhan” Aceh dan ia hadir dalam lintasan zaman untuk mengabarkan sebuah “aceh baru” dalam konteks budaya yang utuh.

Konteks budaya dengan pengenalan “kepribadian” Aceh yang “lembut” tanpa dipenuhi oleh dendam dan rasa kemarahan dari jiwa pemberontakannya.

Itulah yang bisa saya catat.  Saya catat untuk mengingatkan bahwa di negeri ini pernah ada fiesta hebat yang digawangi soliditas kepemimpinan hebat.

Entah hari ini. Saya nggak tahu. Nggak tahu bukan nggak mau tahu. Karena Anda dan.. Anda-lah yang tahu. []

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”