Pendampingan KKJ dan Preseden Baik dari PN Meureudu

Tim Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Aceh foto bersama dengan Ismail M. Adam alias Ismed, kontributor CNN Indonesia TV (empat dari kiri) menjelang sidang pembacaan putusan perkara penganiayaan wartawan di PN Meureudu, Pidie Jaya, Kamis, 17 April 2025. (Foto Miswar/Divisi Advokasi AJI Bireuen)

Catatan Nasir Nurdin/Ketua PWI Aceh

IRANDA Novandi, salah seorang wartawan senior memposting komentar di WhatsApp Grup (WAG) Anggota PWI Aceh. “Ini preseden baik bagi dunia jurnalistik atau kewartawanan di Aceh.”

Komentar itu ditimpali oleh wartawan senior lainnya, Imran Joni dengan menulis, “semakin kita kompak dan bersatu maka yang lain pun menjadi hati-hati terhadap jurnalis.”

Komentar itu ditulis Iranda dan Joni terkait berita berjudul; Kasus Penganiayaan Wartawan di Pijay, PN Meureudu Vonis Pelaku Gunakan Pertimbangan UU Pers.

Baik Iranda, Imran Joni maupun kita semua para pekerja pers pantas bahagia karena ada hakim yang menggunakan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers untuk memutus perkara penganiayaan yang menimpa seorang wartawan di Pidie Jaya (Pijay) yaitu Ismail M. Adam alias Ismed, kontributor CNN Indonesia TV.

Pelakunya, yakni Iskandar divonis bersalah karena melanggar pasal 351 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan hukuman 10 bulan penjara.

Putusan dibacakan oleh Hakim Ketua Arif Kurniawan didampimgi dua hakim anggota yakni Ranmansyah Putra Simatupang dan Wahyudi Agung Pamungkas di Ruang Chandra Pengadilan Negeri (PN) Meureudu, Pidie Jaya, Kamis siang, 17 April 2025.

Vonis hakim ini merupakan putusan ultra petita atau melebihi tuntutan yang sebelumnya diajukan dalam gugatan oleh penuntut umum M. Faza Adhiyaksa yakni enam bulan penjara, yang notabene tidak sampai seperempat dari maksimal ancaman hukuman seperti yang tertera di dalam pasal 351 ayat 1 KUHP.

Hal yang menarik dari putusan ini ialah poin pertimbangan hakim yang di antaranya menyatakan bahwa penganiayaan yang dilakukan oleh Iskandar melanggar prinsip kebebasan pers seperti yang diatur di dalam UU No. 40/1999 tentang Pers.

Kendati tidak dibunyikan sebagai bagian dari vonis, penyebutan ini sedikit banyak menunjukkan adanya pengakuan hakim bahwa dalam kasus ini telah terjadi kekerasan terhadap jurnalis serta sekaligus adanya penghormatan terhadap martabat kemerdekaan pers.

“Berdasarkan ketentuan UU No. 40/1999 tentang Pers, dalam menjalankan profesinya sebagai wartawan mendapat perlindungan hukum dan dalam meliput pemberitaan, wartawan dijamin kemerdekaannya yang bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan penekanan terhadap masyarakat dalam memperoleh informasi,” ucap Hakim Ketua Arif Kurniawan.

Di dalam poin keadaan yang memberatkan terdakwa, selain karena penganiayaan yang dilakukan kepada Ismed menyebabkan korban tidak dapat bekerja selama empat hari serta tidak tercapainya perdamaian antara kedunya, hakim juga menilai bahwa terdakwa tidak mendukung kemerdekaan pers.

“Mengadili, satu: menyatakan terdakwa Iskandar bin M. Yunus tersebut di atas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan penganiayaan sebagaimana dalam dakwaan penuntut umum. Dua: menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama sepuluh bulan…,” demikian bunyi putusan hakim.

Putusan ini sendiri belum bersifat inkrah atau berkekuatan hukum tetap. Karena pihak terdakwa maupun jaksa penuntut umum diberi waktu tujuh hari untuk pikir-pikir apakah akan melakukan banding atau tidak atas putusan hakim.

Apresiasi majelis hakim

Putusan majelis hakim PN Meureudu disambut lega dan mendapat apresiasi dari Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Aceh yang sejak awal mendampingi korban.

“Apresiasi kami kepada majelis hakim PN Meureudu yang telah memutuskan perkara ini dengan mempertimbangkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,” kata Ketua PWI Aceh, Nasir Nurdin yang bergabung dalam KKJ Aceh bersama AJI, IJTI, PFI, KontraS Aceh, LBH Banda Aceh, dan MaTA.

Tim KKJ Aceh secara khusus ke Pidie Jaya mengikuti proses persidangan pembacaan putusan perkara penganiayaan wartawan tersebut.

“Sejak malamnya kita terus memberikan perhatian sambil menebak-nebak amar putusan  yang akan dibacakan majelis hakim. Terus terang kita tidak mengira sama sekali kalau hakim akan menggunakan pertimbangan Undang-Undang Pers untuk memutus perkara ini,” kata Koordinator KKJ Aceh, Rino Abonita dibenarkan Ketua AJI Banda Aceh, Reza Munawir.

Atas putusan “di luar dugaan” ini, KKJ Aceh memberi sejumlah catatan, sebagai berikut:

  • Sedari awal kasus ini telah menjadi perhatian KKJ Aceh. Komite yang terdiri atas organisasi profesi jurnalis dan organisasi masyarakat sipil ini juga mendampingi korban dengan cara mendesak aparat penegak hukum baik di level kepolisian maupun kejaksaan agar menjerat pelaku dengan pasal juncto, yakni bukan saja dengan pasal penganiayaan sebagaimana yang diatur di dalam KUHP, tetapi juga dengan pasal yang telah diatur di dalam ketentuan pidana Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
  • Delegasi KKJ Aceh secara khusus telah melakukan pertemuan dengan Kapolres Pidie Jaya, AKBP Ahmad Faisal Pasaribu dan Plt Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh Muhibuddin secara terpisah agar mempertimbangkan penggunaan pasal pelanggaran UU Pers dalam kasus ini. Dorongan ini kian gencar disemarakkan setelah KKJ Aceh mendapat bocoran bahwa kasus penganiayaan terhadap jurnalis yang dilakukan oleh kepala desa ini masih berkutat seputar pasal penganiayaan sebagaimana yang diatur di dalam KUHP.
  • Pada akhirnya, setelah berkas kasus dinyatakan lengkap (P21) hingga sampai ke meja hijau, pasal pelanggaran UU Pers tidak pernah dibunyikan sama sekali. Aparat penegak hukum di dua instansi baik kepolisian maupun kejaksaan tidak menyentuh pasal tersebut sekali pun. Faktanya, semua pihak yang terlibat di dalam persidangan mulai dari penuntut umum, penasihat hukum terdakwa, saksi, majelis hakim bahkan terdakwa tidak menyangkal bahwa korban mengalami penganiayaan diakibatkan karena aktivitas jurnalistiknya. Dengan kata lain, fakta persidangan menyatakan bahwa kasus ini berkaitan erat dengan pelanggaran atas prinsip kebebasan pers seperti yang diatur dalam UU Pers yang kelak secara mengejutkan juga diakui oleh majelis hakim dalam pertimbangan dalam amar putusan.
  • Perlu ditegaskan kembali bahwa dalam menjalankan tugasnya, jurnalis dilindungi oleh hukum. Jaminan ini dapat dilihat pada pasal 8 UU Pers. Konsekuensi pasal tersebut, terhadap setiap kerja jurnalistik yang ditempuh sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), haram berlaku yang namanya penghalangan, sensor, perampasan peralatan, penahanan, penangkapan, penyanderaan, penganiayaan terlebih lagi pembunuhan.
  • Konstitusi di negara ini juga mengakui kebebasan pers di mana pers nasional berhak mencari, memperoleh, mengolah, dan menyebarkanluaskan gagasan dan informasi serta tidak dapat dikenakan penyensoran, pemberedelan, serta pelarangan penyiaran sebagaimana yang ditegaskan di dalam pasal 4 UU Pers. Pelanggaran atas pasal ini dapat dijerat dengan hukuman pidana maksimal selama dua tahun penjara dan atau membayar denda paling banyak Rp500 juta.
  • Untuk kasus ini, pelaku seyogianya dijerat dengan pasal 351 ayat 1 KUHP juncto pasal 18 ayat 1 UU Pers. Konsekuensi hukum dari pemberlakuan juncto ini, berat dan ringan hukuman yang akan diterapkan atas pelaku tentu saja mesti tunduk pada pasal 351 ayat 1 KUHP selaku pasal yang memiliki kadar hukuman yang jauh lebih berat ketimbang pasal 18 UU Pers, 2,8 tahun ketimbang pasal 18 yakni 2 tahun.
  • Namun, harus digarisbawahi bahwa pentingnya penyertaan pasal dari UU Pers di dalam kasus ini tidak lain sebagai bagian dari upaya “penghormatan” terhadap kemerdekaan pers itu sendiri. KKJ Aceh meyakini bahwa keputusan aparat penegak hukum untuk tidak memasukkan pasal dari UU Pers di dalam kasus penganiayaan terhadap jurnalis diakibatkan karena kompleksitas mulai minimnya pengetahuan, tidak tersedianya perangkat hukum yang mendukung, serta nihilnya perspektif perlindungan terhadap jurnalis itu sendiri.
  • Selanjutnya, KKJ Aceh juga perlu menyoroti adanya upaya perdamaian yang gagal yang difasilitasi oleh Kejari Pidie Jaya dengan mekanisme Restorative Justice atau Keadilan Restoratif. Upaya Restorative Justice ini tentu saja dapat dimaklumi mengingat kejaksaan telah menjadi simbol dari Restorative Justice bahkan menempatkannya sebagai sebuah pencapaian.
  • Namun, untuk kasus kekerasan terhadap jurnalis, mekanisme Restorative Justice ini amat tidak tepat atau bahkan tidak patut. Ini mengingat dampak dari kekerasan terhadap jurnalis selaku pengusung amanah undang-undang serta daya hancur dari kekerasan terhadap jurnalis bagi demokrasi yang amat merusak.
  • Di sisi lain, pihak kejaksaan sendiri dalam bertindak semestinya mengacu pada aturan internal yang dapat dilihat pada pasal 4 ayat 1 Perja No 15/2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Pasal ini menegaskan bahwa penghentian penuntutan berdasarkan Restoratove Justice harus memperhatikan kepentingan korban dan kepentingan hukum lain yang dilindungi—dalam kasus ini tidak lain ialah UU Pers.
  • Andai saja upaya perdamaian dengan pendekatan Restoratove Justice berhasil, maka ia akan berpotensi menjadi semacam yurispudensi dan mulai diterapkan pada kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis lainnya di Indonesia. Jika ini terjadi, maka UU Pers yang selama ini menjadi tumpuan bagi perlindungan kebebasan pers dan jurnalis akan kehilangan maknanya.
  • Dalam persidangan, Hakim Ketua Arif Kurniawan juga sempat menawarkan kembali upaya Restorative Justice, tetapi kembali ditolak oleh korban. Sekali lagi, KKJ Aceh sadar bahwa dalam konteks peradilan pidana, Restorative Justice ini merupakan hal yang lumrah bahkan mekanisme ini dapat diterapkan pada semua tahapan, baik itu pra-ajudikasi, dalam hal ini penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun juga pada tahapan ajudikasi atau persidangan. Bahkan jika memungkinkan dapat juga diterapkan pada tahap purna ajudikasi atau pemasyarakatan.
  • Namun, untuk kasus kekerasan terhadap jurnalis yang notabene memiliki dampak yang bahkan dapat melampaui korban itu sendiri karena koheren dengan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang di dalamnya berkelindan hal-hal seperti hak publik untuk tahu, satu-satunya yang dapat diambil sebagai acuan hanya UU Pers.
  • KKJ Aceh juga menilai bahwa penuntut umum tidak menunjukkan rasa keberpihakannya kepada korban yang sudah dirasakan sejak awal persidangan. Semangat persidangan ini sedari awal bahkan terkesan tidak pernah berpihak kepada Ismed selaku korban hingga akhirnya hakim membunyikan putusan.

KKJ Aceh juga mengajukan sejumlah poin penting, di antaranya:

  1. Aparat penegak hukum di level kepolisian dan kejaksaan agar memproses setiap kasus yang berkaitan dengan kekerasan terhadap jurnalis dengan UU Nomor 40/1999 tentang Pers;
  2. Aparat penegak hukum di level kepolisian dan kejaksaan agar mengedepankan perspektif perlindungan terhadap jurnalis dalam menangani perkara yang melibatkan jurnalis terutama untuk kasus penganiayaan dan kriminalisasi terhadap jurnalis;
  3. Pers itu bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan agar hak masyarakat dalam memperoleh informasi terjamin, oleh karena itu, seluruh elemen masyarakat agar menghormati setiap kerja jurnalistik yang dilaksanakan berdasarkan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik sebagai penghormatan serta pengakuan terhadap kemerdekaan pers;
  4. Siapa pun yang merasa keberatan dengan sebuah produk jurnalistik atau pemberitaan, maka dapat menggunakan mekanisme seperti yang telah diatur di dalam UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, yakni dengan menggunakan hak jawab atau hak koreksi;
  5. Para jurnalis agar senantiasa mematuhi Kode Etik Jurnalistik sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme;
  6. Para jurnalis yang menjadi korban kekerasan agar melaporkan setiap bentuk kekerasan yang dialami selama proses peliputan.

Sekilas tentang KKJ Aceh

KKJ Aceh merupakan bagian dari KKJ Indonesia. KKJ Aceh dideklarasikan pada 14 September 2024, yang saat ini beranggotan empat organisasi profesi jurnalis, yakni Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Pengda Aceh, serta Pewarta Foto Indonesia (PFI) Aceh. Selanjutnya, tiga organisasi masyarakat sipil, yakni Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, dan Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA). []