NEWS, SOSOK  

Linda, sang Aktivis Perempuan Itu Memuntahkan Kekecewaan di Forum Musrenbang Banda Aceh

Yuslinda Wati. (Dok Pribadi for Portalnusa.com)

PADA 5 April 2023, Bappeda Kota Banda Aceh menggelar  rutintas tahunan bernama Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Kota Banda Aceh 2024. Kegiatan yang berlangsung di Hotel Grand Permata Hati itu diikuti para kepala OPD di jajaran Pemko Banda Aceh, para keuchik, imum mukim, akademisi, perwakilan perempuan dan disabilitas, LSM, tokoh masyarakat dan adat, serta stakeholder yang ada di Kota Banda Aceh. Di antara ratusan peserta, termasuklah Yulindawati, aktivis perempuan dari Gampong Ie Masen Ulee Kareng. Perempuan yang akrab dinaggil Linda ini dikenal kritis dan sering ‘membantai’ berbagai kebijakan yang melenceng dari kepentingan publik. Begitu juga di Forum Musrenbang Kota Banda Aceh hari itu, saat mendapat kesempatan bicara, dia langsung mengkritisi model musrenbang sekarang yang menurutnya kehadiran peserta hanya untuk mendengarkan pemaparan, bukan bermusyawarah untuk menentukan usulan prioritas dari gampong. Linda juga menyoroti soal objek wisata yang tidak dikelola secara syariat Islam, hilangnya berbagai situs sejarah yang menjadi jati diri bangsa (Aceh), penyertaan modal gampong ke Bank Mahirah Muamalah tetapi masyarakat tak ada akses mendapatkan permodalan, serta pengelolaan PAD dari sektor parkir yang menurutnya semakin tidak jelas. Kepada Meylida Abdani dari Portalnusa.com, sang aktivis mengizinkan untuk mengutip semua yang dia sampaikan di forum Musrenbang Kota Banda Aceh—sebagaimana yang menyebar di media sosial—bahkan dia memberikan beberapa keterangan tambahan untuk lebih memperjelas apa yang sudah dia sampaikan sebelumnya. Berikut kutipan kekesalan Linda di forum Musrenbang Kota Banda Aceh.

 



“Saya Linda, warga Kota Banda Aceh. Saya sudah mengikuti musrenbang sejak tahun 2007. Menurut saya pelaksanaan musrenbang sekarang ini sudah jauh bergeser dari sebelumnya. Dulu, setiap pelaksanaan musrenbang selalu duduk bareng dengan semua SKPD membahas semua program kerja termasuk rencana anggaran untuk berbagai program mulai dari tingkat desa dengan menghadirkan para keuchik dan tokoh-tokoh bertemu dan berinteraksi dengan para kadis. Sekarang juga bertemu, tetapi peserta bukan bermusyawarah tetapi mendengar pemaparan. Saya nggak tahu di sini apa yang akan kita perjuangkan, misalnya kita dari desa mau memperjuangan program prioritas namun kita nggak tahu bagaimana memperjuangkan, bahkan bisa-bisa apa yang kita perjuangkan dari desa justru gagal. Tahun depan begitu lagi. Maunya (mekanisme musrenbang) yang sudah bagus coba ditingkatkan terus jangan malah menurun.”

Kemudian bicara soal kemiskinan, kebetulan di sini ada dari Bappeda Aceh juga, Aceh sudah beberapa kali mendapat predikat paling miskin. Bagaimana kita meningkatkan agar jangan miskin lagi, padahal Aceh itu kaya. Dana otsus kita mau habis. Kalau dana otsus nggak ada lagi, akan bagaimana, PAD Aceh itu berapa.

Terkait PAD, untuk Kota Banda Aceh, misalnya, dulu yang terbesar dari sektor parkir. Sekarang sistem perparkiran kita sudah berubah, sudah pakai model, yang nggak tahulah. Orang nggak mau lagi masuk ke parkir seperti itu karena ribet, akhirnya pemasukan berkurang.

Dulu kami pernah melakukan survei perparkiran di Banda Aceh, setiap tahun pemasukan sektor parkir mencapai Rp 4 miliar lebih. Belum lagi ada permainan, tetapi yang murni masuk Rp 4 miliar lebih setahun.

Sekarang kita nggak tahu lagi perkembangannya karena nggak pernah ada lagi pemaparan tentang PAD Kota Banda Aceh.

Kemudian tadi ada tanggapan dari Prof Jasman.  Menarik bicara terkait wisata. Seharusnya Kota Banda Aceh sebagai Smart City (yang dicanangkan waktu Banda Aceh Gemilang) harusnya kita semakin maju bukan semakin menurun.

Terkait layanan perbankan, Aceh dulu banyak bank konvensional namun bersamaan dengan diberlakukan Qanun LKS, kini hanya ada dua bank yaitu Bank Aceh Syariah dan Bank Syariah Indonesia (BSI) ditambah beberapa bank swasta lain yang juga sudah berlabel syariah.

Bagaimana kita mau masukkan wisatawan ke sini sementara untuk akses perbankan saja mereka tidak familiar dengan bank kita. Seperti kejadian beberapa waktu lalu ketika turis menghadapi masalah keuangan karena kendala penarikan uang.

Menurut saya, hampir tak ada beda antara bank konvensional dengan syariah. Sama-sama riba juga. Namanya saja syariah.

Mengenai pemberdayaan ekonomi Kota Banda Aceh. Sebenarnya Kota Banda Aceh sudah ada bank sendiri yaitu Bank Mahirah Muamalah [PT. Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) Mahirah Muamalah] yang berdiri sejak 15 Desember 2017.

Salah satu sumber dananya dikumpulkan dari dana desa (ADG) yang disupport oleh 90 desa di Kota Banda Aceh. Kenapa itu tidak diakses untuk perekonomian masyarakat Kota Banda Aceh.

Sampai hari ini masyarakat Kota Banda Aceh tidak bisa akses dana dari bank tersebut. Yang bisa mengakses adalah PNS dengan mengambil keuntungan 15 persen. Sedangkan masyarakat yang bukan PNS tidak bisa akses. Kenapa ini tidak dievaluasi. Kalau memang Bank Mahirah Muamalah nggak bisa familiar dengan warga Kota Banda Aceh, silakan keuchik-keuchik tarik uangnya dari sana, nggak perlu dipertahankan.

Kalau masing-masing desa menempatkan dana Rp 200 juta di Bank Mahirah Muamalah, sebenarnya uang sebesar itu bisa membangun dua rumah sewa dengan harga sewa per tahun Rp 15 juta. Jika dua rumah per tahun bisa menerima pemasukan Rp 30 juta.

Tetapi yang terjadi, setelah bertahun-tahun uang desa itu ditempatkan di Bank Mahirah Muamalah yang didapat oleh desa hanya Rp 30 juta. Rugi desa. Makanya saya sarankan keuchik-keuchik cabut saja uang yang ada di Mahirah Muamalah itu, alihkan untuk berbagai program produktif lainnya di desa.

Kemudian terkait dengan wisata, Kota Banda Aceh sudah banyak membangun wisata kuliner di beberapa tetmpat, ada di Ulee Lheue dan di pinggir-pinggir sungai Krueng Aceh. Yang salahnya adalah lampunya yang nggak ada. Lampunya remang-remang. Itu kan mengundang orang untuk berkhalwat. Padahal bagus sekali kalau kawasan Ulee Lheue itu dijadikan tempat wisata. Pasang lampu yang terang dan tempatkan WH di sana untuk mengawasi. Itu baru ada ciri khas wisata islami.

Bukan hanya masjid, Banda Aceh juga dikenal sebagai kota pusaka. Tetapi setiap pembangunan di Banda Aceh selalu menggeser seluruh makam indatu atau warisan indatu. Malu kita. Kita tak punya lagi ciri khas. Beda dengan di Jawa yang kadang hanya dongeng bisa menjadi sejarah sedangkan Aceh sebentar lagi sejarah bisa jadi dongeng kalau begini ceritanya.  Jadi seharusnya setiap pembangunan di Kota Banda Aceh, progresnya harus benar-benar jelas, jangan asal buat pembangunan.

IPAL di Gampong Pande sampai hari ini belum selesai. Kalau dilanjutkan maka (akan berhadapan) teman-teman dari pemerhati sejarah. Kita harapkan Banda Aceh dipertahankan sebagai kota kuno, kota pusaka. Rawat seluruh makam dan warisan indatu. Orang luar yang datang ke Aceh bukan semata-mata karena masjid atau museum tsunami, bukan hanya perahu di atas rumah  tetapi karena heroiknya Aceh berdasarkan bukti peninggalan indatu. Itu yang harus diingat. Karena sejarah adalah jati diri bangsa. Kalau kita nggak sanggup mempertahankan jati diri bangsa apa yang harus kita wariskan untuk anak cucu.”[]