Negeri Setengah Yatim

Oleh Darmansyah

SINGKIL itu negeri setengah yatim. Itu bukan kata saya. Itu kata si Armin. Kemarin saya  meminjam kata si Armin itu untuk judul esai pendek: ”Pulau Piatu di Negeri Setengah Yatim”.

Saya meminjamnya bak kue pancung untuk melengkapi sebuah episode tulisan tentang heboh empat pulau di selatan sana yang sempat di hakikahkan ke Tapanuli Tengah.

Hebohnya gak usah saya ungkit lagi. Mungkin Anda termasuk salah seorang agitator yang membikin hebohnya.

Esai saya kemarin itu isinya tentang kembalinya empat pulau piatu yang sengkarut statusnya oleh bait kalimat bersambung dari kementerian dalam negeri yang bernama permendagri

Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan dan Pulau Panjang.

Armin punya alasan mengatakan Singkil itu negeri setengah yatim. Ia sendiri mengalaminya sebagai yatim penuh ketika mengantongi kartu keluarga sebagai anak Singkil.

Berkatepe Singkil kelahiran Desa Gosong Telaga. Yang trahnya barus bercampur minang. Yang kemudian pindah ke Pulau Sarok. Pulau sampah.

Yang untuk desa tempat ia mengalami masa kanak ini muncul selorohannya: “untung saja Anda gak menulis negeri saya itu sebagai negeri sampah”.

Tentang Desa Pulau Sarok ini sendiri ia bisa terkekeh. Desa yang artian leterlijke memang pulau sampah dalam bahasa pesisir. Pulau sampah di tapak kiri kota Singkil.

Pulau Sarok adalah khas bahasa kuah beulangong yang banyak orang meledeknya dengan kata “munak”. Munak yang mengiris garis pantai selatan itu hingga ke Sibolga.

Ia tak menolak orang di luar Singkil sering mengaitkan kata pulau sarok sebagai tempat buangan.

Di sebuah era yang panjang negeri setengah yatim itu memang identik dengan tempat buangan. Tempat buangan bagi pe-en-es. Pegawai negeri yang punya ulah.

Kalau gak percaya tanyakan pada sepupu saya si Amir yang dulu sebagai seorang penata praja bikin ulah memakan duit anggaran pengadaan barang di kantor bupati di buang ke Singkil.

Ia mendekam selama delapan tahun di Singkil sebelum negeri itu menyempal menjadi kabupaten lep lap. Kabupaten yang memakai kata Aceh di depan kata Singkil. Aceh Singkil.

Saya berani berdebat untuk mengatakan tentang Singkil sebagai lep lap. Lep lap yang harfiahnya campuran. Dan Singkil adalah salah satu negeri lep lap itu.

Negeri belangong etnik. Ada Pakpak, Singkil, Minang, Dairi, Karo yang semuanya termasuk  ke dalam suak boang.

Itulah uniknya negeri setengah yatim itu. Negeri yang salah satu kosakatanya mempunyai ciri khas dalam pengucapan kata er yang berdetak kh.

Kemarin pagi saya bertukar sapa dengan sang sepupu. Saya meminta testimoni tentang nasibnya ketika dibuang dari Tapaktuan ke Singkil.

Ia dengan runut menceritakan bagaimana sedihnya nasib Singkil kala itu yang berstatus sebagai perwakilan kabupaten.

Perwakilan kabupaten atau akronimnya perwakab yang dipimpin oleh pembantu bupati. Yang eska pengangkatannya dari gubernur atas penunjukan bupati.

Yang Singkil sendiri waktu itu masih belum disapih dari kabupaten induknya Aceh Selatan.

Secara terus terang ia mengatakan, Singkil kala itu masih negeri di naca. Untuk sampai ke sana hanya bisa lewat laut dengan boat beregistrasi kapal motor terjadwal.

Ia ingat, satu-satunya kapal motor regular yang berjadwal tetap ke Singkil bernama “fajar harapan.” Kapal motor milik orang kaya Singkil bernama Anhar. Anhar pernah jadi anggota de-pe-er provinsi.

Selain itu ada jalan memutar. Lewat Sibolga.

Saya sering bolak balik ke Singkil lewat Polonia dengan pesawat capung milik socfin yang mendarat di kebun sawit rimo-lae butar. Pesawat capung berbaling-baling dua yang terbang di bawah awan.

Rimo pada waktu itu lebih afdol disebut sebuah kota dibanding Singkil. Rimo-lae butar yang banyak dihuni buruh kebun dari jawa. Rimo yang punya pabrik cpo sejak awal abad lalu.

Kebun lae butar yang milik pengusaha belgia dengan socfin dan tercatat sebagai perintis kebun sawit pertama di negeri ini.

Makanya, ketika sengkarut empat pulau kemarin itu, saya agak lirih. Lirih karena takut negeri itu terseret ke konflik etnis. Sebab saya tahu Singkil itu rumah besar untuk semua etnik.

Singkil sendiri secara topografi merupakan daerah perbatasan yang unik. Beda dengan perbatasan Tamiang dengan Langkat. Ataupun Gayo Lues dengan Karo.

Topografi singkil sangat khas. Bukan hanya berbatasan dengan Barus di Tapanuli Tengah, tapi juga bertetangga dengan Pakpak maupun Dairi. Bahkan bisa melebar ke Karo.

Untuk itu, ketika penentuan patok batas daratan dulunya, yang saya pernah ikut diajak teman kepala biro pemerintah, kesulitannya cukup tinggi. Tapi selesai dengan satu salam tabik munak.

Saat pemancangan patok batas itu saya baru tahu fenomena etnomigrasi Singkil secara ekonomi dan sosial. Bahkan ada latar belakang animisme pambi yang menyempal di sana.

Seperti cerita si Bahrum Kombih, teman kecil saya dulunya, yang menceritakan tentang kakek moyangnya yang pambi. Pambi yang memberi penyembahan kepada hutan kamper.

Kayu kamper yang dipuja sebagai penghasil kapur barus. Kampernya milik Singkil dan kapurnya milik Barus. Sahlah bahan pengawet menjadi “kapur barus.”

Maaf…saya gak ingin menulis sejarah panjang tentang peta kewilyahan Singkil yang telah berganti musim. Gak ingin menjadi akademisi atau sejarawan. Biarlah itu menjadi milik orang lain.

Gak juga ingin menyarankan referendum di negeri itu untuk memilih negeri mana untuk dijadikan induknya. Saya tak mau bermain kata secara sosial ekonomi Singkil itu lebih dekat kemana.

Dan biar juga mereka sendiri yang menyalakan kehendaknya sendiri.

Saya hanya ingin bermain kata dengan si Armin anak Singkil yang bermarga Kombih yang kini menjadi nunak Medan. Yang lebih Medan dari orang Medan sendiri.

Yang  lebih mengenal Barus, Manduamas dan Sibolga dibanding Kutaradja.

Si Armin bisa berkisah panjang bagaimana dia dengan mobil taft badak dua gardan harus bermandi lumpur untuk bolak balik Medan-Sibolga-Manduamas-Singkil.

“Saya sering bermalam di Manduamas di kompleks transmigrasi. Dari dulu saya pikir tadinya pulau itu masuk Kecamatan Barus.”

“Waktu itu saya sering berangkat sendiri dari Barus menuju Singkil dengan taft badak”.

Kemarin orang meributkan tentang empat pulau yang katanya dicaplok sumatera utara. Pulau-pulau yang dinarasikan secara telanjang mengandung potensi minyak dan gas bumi.

Pulau-pulau yang potensinya besar untuk kawasan rekreasi sekaligus. Mereka berlomba merajang tentang kepemilikannya.

Si Armin gak peduli kapling mengkapling itu. Kalau itu menjadi milik Aceh ya sudah. Tapi jangan larang akses masyarakat Manduamas memanfaatkan persinggahan nelayannya ke pantai dan lautnya.

Pantai dan laut milik publik; bukan lagi milik sebuah negeri. Pantai dan laut yang dijauhkan dari diskriminasi yang telanjang. Jangan dibungkus dengan niat buruk.

Jangan ada usaha menyembunyikan atas kepemilikannya ke bawah karpet yang diskriminatif dan hipokrit.

Terserah aja.[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”
Berikan Pendapat

Berita Terkait

Konsil Kolegium

Darmansyah
0

Benang Kusut

Darmansyah
0