Koperasi Simsalabim

Oleh Darmansyah

SAYA sepakat dengan banyak teman tentang koperasi merah putih itu. Koperasi “simsalabim.”  Koperasi sekali tepuk delapan puluh ribu blas … punya izin usaha dan sebagainya..dsb.. dsb…

Banyak dsb lainnya yang Anda sudah tahu…

Tentang kata sepakat ini kalau Anda juga sepakat boleh gabung. Gabung ke komunitas “nibak meupakat”.

“Nibak meupakat” itu bukan nama koperasi untuk menyaingi delapan puluh ribu koperasi desa merah putih. Itu nama saya usulkan dan diterima tanpa voting. Nama “meugampong.”

“Nibak meupakat” itu cuma  “cooperative learning” saya dan teman-taman yang skeptis dengan proklamasi koperasi gagasan milik pemerintah pekan lalu.

Mohon jangan cari kata “nibak meupakat” itu dalam kamus. Juga lewat google search. Gak akan ketemu. Walahualam…

Skeptisnya saya dan teman-teman bukan dari klaim angka yang telah terbentuk di tingkat desa atau kelurahan. Tapi dari potensi korupsi dan kebocoran anggaran yang diperkirakan triliunan rupiah.

Pertanyaannya: apakah bisa dicegah?

Saya gak mau menjawab. Teman-teman di “nibak meupakat” juga gak mau kasih jawaban. Mungkin Anda dan Anda yang bisa menjawabnya. Jangan hari ini. Besok dan besoknya lagi.

Dan “cooperative learning” saya dan teman-teman di “nibak meupakat” akan jadi model pembelajaran bersama bagaimana negara mengelola koperasi dalam jumlah gajah bengkak itu.

Saya dan teman-teman akan menjadi siswa dalam kelompok kecil untuk belajar bersama dan saling membantu dalam memahami tumbuh kembangnya koperasi merah putih itu.

Kembali ke “cooperative learning” setahu saya semua kita gak hanya belajar secara individual, tetapi juga bekerja sama dan bertanggung jawab atas pemahaman pendapat kelompok lainnya.

Tentang kata sepakat “simsalabim” itu saya gak tahu muasal “mantra”-nya. Dulu ketika masih awal-awal belajar menyulap kalimat saya pernah diberitahu tentang asal usul kata simsalabim.

Kata pengajar sulap kosakata simsalabim berasal dari bahasa bumi utara bagian barat sana. Swedia. Yang berarti avra ke davra lebih familiar abrakadabra.

Yang dalam bahasa inggris diartikan create as speak, Saya wujudkan, apa yang saya ucapkan. Dan yang mewujudkan yang dia mau dengan koperasi merah putih itu Anda pasti tahu orangnya.

Di era saya tumbuh jadi remaja tunggang langgang dulu kata itu sering kami plesetkan dengan: sekali tepuk tujuh nyawa…

Sekali tepuk… itu  judul komik. Komik karya Taguan Hardjo. Seorang komikus asal Medan dan dikategorikan komik medan.

Sering dipakai para pesulap sebagai plesetan  hohoha. Yang hari ini  “sekali tepuk”-nya delapan puluh ribu. Bukan nyawa. Tapi koperasi. Hhahah…

Di era modern saat ini, pesulap sudah tidak menggunakan kata itu lagi, kecuali pesulap yang bergenre sulap komedi. Karena pesulap yang menggunakan kata itu hanya untuk lucu-lucuan saja.

Lantas, apa arti sebenarnya “simsalabim?”

Seperti kebanyakan mantra trik sulap, tidak sepenuhnya jelas dari mana kata simsalabim berasal.

Tidak dapat diketahui secara pasti siapa dan darimana jargon penyihir ini berasal karena banyak teori yang mengungkapkan asal usulnya.

Harry August Jansen’s atau Dante atau The Great Jansen adalah pesulap asal Denmark yang memopulerkan kata simsalabim.

Jansen memerlukan kalimat menarik dan terkesan ajaib, kemudian dia memilih simsalabim sebagai mantra mistiknya.

Dalam budaya Skandinavia, simsalabim merupakan padanan kata bahasa Swedia untuk abrakadabra.

Kata abrakadabra atau avra ka davra sering kali diartikan sebagai ‘saya buat seperti yang saya katakan’ menurut etimologi rakyat dalam bahasa brani bahasa aram.

Tentang koperasi desa merah putih  diklaim akan memperkuat ekonomi kerakyatan. Digadang-gadang mendorong perekonomian gotong-royong.

Kehadiran koperasi dapat jadi jawaban dari pembangunan ekonomi kerakyatan. Koperasi memungkinkan pula sebagai perlawanan terhadap monopoli pasar.

Saya gak perlu diberitahu tujuan utama koperasi. Tahu tujuannya untuk memenuhi kebutuhan anggota. Tahu juga koperasi bisa jadi alat distribusi kebutuhan pangan dengan harga terjangkau.

Masyarakat jadi terhindar dari monopoli pasar.

Ide koperasi sebagai ajian membangun ekonomi kerakyatan memang megah. Kadang disebut ambisius. Namun, untuk menciptakan iklim koperasi yang sesuai dengan jalur terlampau sulit.

Di sebuah era dulu koperasi bahkan dijadikan alat politik, ketimbang alat membangun ekonomi kerakyatan. Alhasil, citranya sering dipelesetkan ‘ketua untung duluan’ tak terhindarkan.

Masih di era itu satu demi satu koperasi desa mulai hancur. Imbasnya banyak orang yang alergi dengan koperasi yang dianggap sarang koruptor kecil.

Saya gak tahu di era ini. Era koperasi merah putih. Yang jumlahnya delapan puluh ribu. Yang duit digelontorkan bak gajak semok. Era yang Anda tahu siapa musuh negara setelah setan…

Padahal siapa pun tahu membangun koperasi bukan main susahnya. Sebab harus berawal dari membangun semangatnya!

Semangat apa? Semangat solidaritas sosial, semangat kebersamaan, kegotongroyongan, semangat anti-individualisme, antiegoisme, semangat saling membantu.

Selain itu harus dipupuk pula semangat mau hidup bersama, semangat mau maju bersama, semangat saling percaya, semangat kejujuran, semangat saling membutuhkan.

Gak saling menipu atau korup.

Semangat keterbukaan, bersedia diawasi dan bertanggung jawab. Itu harus ada pada tataran calon anggota dan pengurus koperasi.

Entahlah.

Dari kenyataan di lapangan hari-hari ini memperlihatkan koperasi rentan menjadi ladang korupsi. Sebuah lembaga riset malah sudah mengklaim potensi korupsi mencuat di tahap pembentukannya.

Dari pencarian modal awal yang berbasis dana desa atau pinjaman bank hingga penggelembungan biaya pendirian koperasi.

Saya gak ingin menuliskan contoh kasusnya. Cari sendirilah..baca sendiri.. dan telaah sendiri mulai dari Sabang hingga Merauke yang berjejer masalah.

Yang saya tahu dari bacaan: anggaran untuk pembentukannya mencapai empat ratus triliun rupiah. Duit gajah bengkak bukan untuk makan siang gratis bergizi. Yang kini popular dengan em-be-ge.

Anda tahu modal koperasi merah putih itu berasal dari pinjaman bank. Angkanya tiga miliar rupiah. Jaminannya dana desa yang satu miliar rupiah setiap tahun.

Sesuai dengan klaim jumlahnya yang sudah terbentuk, Anda tinggal mengalikannya saja dengan angka tiga miliar rupiah itu. Itu modal awal. Saya gak tahu modal akhirnya.

Ketika hari proklamirnya pekan lalu klaim angka delapan puluh ribu itu sudah final. Di tingkat desa atau kelurahan. Sudah berbadan hukum.

Kembali ke “cooperative learning” teman-teman “nibak meupakat” menengarai pengawasan anggaran dinilai bakal krusial.

Selain diaudit berkala, pemerintah disebut harus memastikan laporan keuangan koperasi itu dapat diakses publik.

Namun program koperasi yang kerap dikampanyekan itu juga menghadapi tantangan mendasar lainnya. Minat dan kemampuan warga untuk mengelola koperasi yang tak merata di setiap daerah.

Memang bla..bla.. bla dan bla babla narasi yang dipekikkan membuat banyak orang terkesima. Dari mulai daulat ekonomi, berdikari, berdaya hingga keadilan memenuhi cet langet.

Tapi coba Anda tanya ke ‘si gam pae’ di pucok meuligo sana. Tanya tentang koperasi warna merah dan putih. Kemudian tangkap ceritanya. Jawabannya pasti heng..hong…

Jangan tulis jawabannya bila berbunyi: ini sebenarnya koperasi apa dulu. Koperasi sembako atau memang uang. Supaya kami juga paham betul.

Jawaban yang lain mungkin berbunyi: baru ini saya dengar karena dikasih tahu.

Terlepas dari sosialisasi yang belum merata juga potensi masalah yang kompleks dan serius.

Sorotan yang utama adalah potensi korupsi. Selama ini kasus korupsi di koperasi lazim dijumpai.

Bisa saja muncul modus pengajuan kredit fiktif, markup pencairan pinjaman, dan tidak menyetorkan uang nasabah ke kas koperasi.

Celah korupsi,berpeluang ditemukan di semua tahapan koperasi. Saat pencairan modal awal yang berasal dari dana desa ataupun pinjaman bank.

Di tahap ini, pelaku korupsi bisa berasal dari kepala desa maupun pejabat daerah.

Lantas bagaimana potensi korupsi di fase penyelenggaraan?

Potensi korupsinya jauh lebih banyak, terpampang di delapan tahapan: mulai dari pembesaran nilai proyek hingga penggunaan dana koperasi untuk kepentingan pemilu.

Nah, penyelewengan bisa melibatkan elite desa maupun partai politik. Pendeknya, program ini rentan disusupi praktik kecurangan serta korupsi terselubung.

Panjangnya kita lihat nanti saja. []

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”
Berikan Pendapat

Berita Terkait

Bongek Journalism

Darmansyah
0

Esai Tawakkallah

Darmansyah
0

Terowongan Geurutee

Darmansyah
0