Dalam Diam Alam Bercerita
Catatan wartawan portalnusa.com (Alimangeu) yang tergabung dalam komunitas pencinta alam MENATA saat menelusuri hutan dan penggunungan Jantho, Aceh Besar, Minggu 7 September 2025.
LANGKAH kami dimulai dari sebuah perkampungan kecil di kaki bukit. Udara pagi terasa sejuk, semilir angin membawa aroma tanah basah dan dedaunan.
Di kejauhan, tampak para petani membungkuk tekun di atas petak-petak sawah, mengolah tanah yang mengilap diterpa cahaya mentari. Jalan setapak membuka perjalanan kami menuju puncak perbukitan Jantho.
Begitu meninggalkan perkampungan, jalur perlahan mendaki menyeberangi sungai yang airnya sebening kaca—hingga bebatuan di dasar sungai tampak jelas di balik riak kecil.
Kicauan burung saling bersahutan, seakan menyambut setiap langkah yang mendekat pada alam bebas.
Jalur terus menanjak, melewati padang rumput luas dan ilalang yang menari-nari ditiup angin. Lalu, hutan-hutan kecil dan semak belukar menutup pandangan, menyisakan lorong sempit yang hanya cukup untuk satu orang berjalan.
Di beberapa titik, tanjakan curam dari batu cadas menantang adrenalin, setiap pijakan harus diperhitungkan, kesalahan kecil bisa membuat tubuh tergelincir kembali ke kaki bukit.
Namun, ketegangan itu terbayar dengan sensasi luar biasa, bagi pencinta alam rasa lelah berubah jadi semangat setiap kali menaklukkan tanjakan.

Saat memasuki hutan lebat, perjalanan mendapat makna baru. Kesunyian hutan tiba-tiba pecah oleh pekikan orang utan yang bergema dari atas pepohonan, melompat lincah di antara dahan.
Burung-burung berwarna-warni berkelebat di antara cahaya yang menembus celah daun, dari kejauhan terdengar gemercik air terjun menyelinap di sela pepohonan.
Setiap langkah terasa sakral—seolah memasuki ruang suci yang hanya dimengerti oleh mereka yang bersahabat dengan alam.

Sayang, keindahan itu tak bertahan lama. Di ujung hutan terbentang luka besar, nanar menatap gundul akibat perambahan.
Pohon-pohon yang dulu menjulang hanya menyisakan tunggul, burung dan orang utan lenyap bersama suara mereka dan sungai kecil yang dulu mengalir kini kering, menyisakan bebatuan berlumut yang retak.
Meski hati sempat perih melihat kehancuran itu, langkah tetap dilanjutkan. Hingga akhirnya, setelah tanjakan terakhir yang menguras nafas, sampailah di puncak yang dituju.
Setelah berjam-jam mendaki, puncak menyambut di bawah langit terbuka lebar, seluruh peluh dan lelah menemukan maknanya. Kami berdiri menatap cakrawala, mata terhipnotis oleh panorama yang terbentang tanpa ujung.
Hamparan sawah tampak seperti permadani hijau, hutan rimbun terlihat rata dari atas, pegunungan berjajar rapi di kejauhan dan sungai yang melingkar-lingkar menuju laut biru yang membentang di horizon.
Puncak bukanlah akhir perjalanan—melainkan hadiah dari setiap langkah, dari setiap tekad yang tak menyerah. Bagi pendaki gunung, setiap puncak selalu menjadi awal baru untuk menaklukkan langit berikutnya.
Saat matahari tenggelam, sinar jingga memantul di balik bukit, memercikkan cahaya keemasan ke langit senja.
Di atas puncak itu, semua lelah, peluh dan bahaya seolah sirna—digantikan rasa syukur dan takjub akan keagungan alam yang masih tersisa.[]