RDPU Raqan RTRW Aceh; Ada yang ‘Menggugat’ Penghilangan Kata KEL
Laporan Portalnusa.com
RABU, 17 September 2025, diselenggarakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terkait Rancangan Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA).
RDPU bertujuan menghimpun masukan, saran, dan aspirasi dari berbagai pemangku kepentingan serta elemen masyarakat dalam rangka penyempurnaan rancangan qanun tersebut.
Kegiatan yang berlangsung di Ruang Serbaguna DPR Aceh tersebut dihadiri berbagai pihak, antara lain: Bupati dan Wali Kota se-Aceh, perwakilan Kepolisian (Polda) dan TNI (Kodam).
Juga hadir anggota DPR Aceh serta DPRD kabupaten/kota, rektor perguruan tinggi di wilayah Aceh, General Manager Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pimpinan Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA), instansi vertikal, lembaga swadaya masyarakat (LSM) pemerhati lingkungan, serta sejumlah pemangku kepentingan lainnya.
KEL Kawasan Strategis Nasional di RTRWA
LSM pemerhati lingkungan dalam hal ini diwakili oleh Yakob Ishadamy menyerukan agar Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) secara eksplisit dimasukkan ke dalam Kawasan Strategis Nasional (KSN) dalam Rancangan Qanun RTRWA Aceh.
Langkah ini dinilai krusial untuk menghindari potensi konflik regulasi, mengingat KEL telah secara resmi ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN).
Selain itu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), secara tegas menugaskan Pemerintah Aceh untuk mengelola dan melestarikan Kawasan Ekosistem Leuser.
“Sesuai dengan kaedah tata ruang seharusnya KEL dimasukkan ke dalam KSN dalam Qanun RTRWA. Hal ini agar tidak terjadinya konflik regulasi terhadap UU 11 Tahun 2006,” kata Yacob.
Fakta lain, lanjutnya, Ekosistem Leuser sudah ditetapkan berbagai fungsi kawasan di dalamnya. Sehingga dalam tata ruang ini perlu menyelesaikan semua siklus tata ruang mulai dari perencanaan ruang, pemanfaatan ruang, pengendalian ruang, pengaturan izin bahkan sampai ke sumber pendanaan dan teknologi untuk menghindari konflik ruang.
Dukungan serupa juga disampaikan oleh Dr. Aswita, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan (STIK) Pante Kulu, yang menekankan pentingnya menjadikan KEL bukan hanya sebagai ciri khas Aceh, tetapi juga sebagai jati diri dan identitas ekoregional Aceh yang harus dilindungi dan dikelola secara berkelanjutan.
“Saya sangat berharap kepada tim ahli untuk mengkaji kembali tentang penghilangan kata-kata KEL dalam RTRWA. Saya berpikir ke depan akan terjadi konflik regulasi antara RTRW, UUPA serta kebijakan lainnya. Secara politik, KEL telah diakui secara nasional bahkan internasional. Tidak ada alasan bagi Aceh untuk tidak mengakui dan melindungi KEL dalam instrumen hukum daerahnya sendiri. Tolong dimasukkan lagi KEL dalam RTRWA,” tegas Dr. Aswita.
Masukan dari masyarakat sipil dan akademisi, khususnya terkait KEL, menjadi bagian penting dalam memastikan Rancangan Qanun RTRWA menjadi instrumen kebijakan yang berkelanjutan, adil, berwawasan lingkungan serta selaras dengan kerangka hukum nasional maupun kewenangan khusus Aceh.
Pihak DPRA merespons masukan dari pemerhati lingkungan dengan menjawab “Nanti akan kami kaji kembali”.
Ketidakselarasan Data
Selain itu, LSM pemerhati lingkungan juga menyampaikan masukan penting terkait adanya ketidakselarasan data dalam Rancangan Qanun RTRWA.
Menurutnya, terdapat sejumlah data yang belum selaras dengan informasi resmi yang telah diterbitkan oleh Kementerian terkait. Hal ini berpotensi menimbulkan kekeliruan dalam perencanaan tata ruang dan pengambilan kebijakan di masa depan.
Penyelenggaraan RDPU ini mencerminkan komitmen bersama untuk mewujudkan tata kelola ruang yang inklusif, berbasis data akurat, dan selaras dengan kerangka hukum nasional maupun kewenangan khusus Aceh.
Masukan dari masyarakat sipil, khususnya LSM lingkungan, menjadi bagian penting dalam memastikan Rancangan Qanun RTRWA menjadi instrumen kebijakan yang berkelanjutan, adil, dan berwawasan lingkungan.[]