Antara “Aku” dan “Saya”: Kesantunan Bahasa dalam Budaya Melayu Asahan

Rahmat Nur

Oleh: Rahmat Nur*)

BAHASA bukan sekadar alat komunikasi. Ia adalah cermin dari budi, nilai, dan identitas suatu masyarakat.

Dalam kehidupan masyarakat Melayu, terutama di wilayah Asahan, kesantunan berbahasa memiliki kedudukan yang tinggi. Satu kata saja dapat menentukan apakah seseorang dianggap beradab atau tidak. Salah satu contoh menarik adalah pilihan kata ganti orang pertama: “aku” dan “saya.”

Sebagai daerah yang berakar dari Kesultanan Melayu Asahan, masyarakat di wilayah ini tumbuh dalam budaya tutur yang penuh tata krama.

Kesopanan bukan hanya terlihat dari cara berjalan atau berpakaian, tetapi juga dari pilihan kata saat berbicara. Dalam pandangan orang Melayu, tutur kata adalah cerminan hati — bahasa menunjukkan bangsa.

Di Asahan, kata “aku” masih lazim digunakan, namun pemakaiannya sangat bergantung pada konteks sosial.

Dalam percakapan antarteman sebaya, saudara, atau orang yang sudah akrab, “aku” terasa hangat dan bersahabat. Misalnya, dua anak muda berbincang di warung kopi:

“Kau ke mana tadi, ku tengok tak nampak.”

“Aku baru balik dari sawah. Panas kali hari ni.”

Percakapan semacam ini menunjukkan keakraban dan kesetaraan sosial.

Kata “aku” diucapkan tanpa maksud merendahkan siapa pun. Ia menjadi penanda keintiman dan rasa kebersamaan.

Namun, situasinya berbeda ketika berbicara dengan orang yang lebih tua, tokoh masyarakat, atau dalam acara resmi.

Di sinilah kata “saya” mengambil tempatnya. Ucapannya lebih lembut dan menunjukkan rasa hormat. Misalnya, seorang anak muda yang menyapa tokoh kampung:

“Assalamualaikum, Pak. Saya nak tanya, gotong royong besok jadi jam berapa, Pak?”

“Waalaikumussalam. Insya Allah, lepas Zuhur, Nak.”

“Baik, Pak. Saya datang nanti. Terima kasih, Pak.”

Dalam percakapan seperti ini, penggunaan “saya” menjadi simbol kesantunan dan pengakuan terhadap hierarki sosial yang dijunjung masyarakat Melayu. Menggunakan “aku” di hadapan orang tua bisa dianggap terlalu bebas, bahkan kurang ajar.

Kedua kata itu — “aku” dan “saya” — sejatinya sama-sama benar dalam tata bahasa, tetapi tidak selalu setara dalam makna sosial.

Kesantunan dalam budaya Melayu Asahan bukanlah soal bahasa yang kaku, melainkan kearifan memilih kata pada tempatnya.

Menariknya, generasi muda Asahan masa kini mulai menemukan keseimbangan antara keduanya.

Dalam situasi semi-formal, mereka bisa saja memulai dengan “saya” dan beralih ke “aku” ketika suasana lebih santai.

Fleksibilitas ini menunjukkan bahwa kesopanan bukan berarti kaku, melainkan mampu menyesuaikan diri dengan siapa kita berbicara.

Bahasa Melayu Asahan mengajarkan kita satu hal penting:

“Budi bahasa itu pakaian diri. Bila hilang budi, hilanglah seri.”

Dan dari satu kata sederhana — “aku” atau “saya” — kita belajar bahwa sopan santun bukan hanya soal adat, tetapi juga tentang kepekaan hati dan rasa hormat terhadap sesama.

Di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi, bahasa daerah sering kali terpinggirkan oleh bahasa-bahasa yang dianggap lebih modern.

Namun, bagi masyarakat Asahan, mempertahankan kesantunan berbahasa bukan sekadar menjaga tradisi, melainkan mempertahankan jati diri dan martabat budaya Melayu itu sendiri.

Pilihan kata seperti “aku” dan “saya” bukan hanya soal tata bahasa, tetapi juga cerminan rasa hormat, kehalusan budi, dan kebijaksanaan lokal.

Dalam setiap ucapan tersimpan nilai: kapan kita perlu rendah hati, kapan kita boleh akrab, dan bagaimana menjaga keharmonisan dalam berbicara.

Jika generasi muda Asahan mampu memahami makna di balik kata-kata itu, maka mereka bukan hanya mewarisi bahasa, tetapi juga ruh sopan santun yang menjadi napas Melayu sejati. Sebab sebagaimana petuah orang tua-tua dahulu:

“Yang indah itu bukan hanya rupa, tapi tutur kata yang beradab.”

*)ASN asal Aceh yang sedang menjalani Pendidikan S2 di Kampus STIE Bina Karya Tebing Tinggi/Penulisan Artikel ini dibantu oleh AI berdasarkan ide, gagasan dan kerangka berpikir dari penulis.

Berikan Pendapat