Menerima Demi Karena-Nya: Jalan Sufi dalam Persahabatan dan Rumah Tangga

Rahmat Nur

Penulis, Rahmat Nur, ST., adalah ASN asal Aceh sekaligus mahasiswa (Tugas Belajar) yang sedang menjalani studi magister di STIE BINA KARYA Tebing Tinggi, Sumatera Utara.

DALAM kehidupan, Allah SWT menghadirkan banyak jiwa di sekitar kita. Ada yang datang membawa ketenangan, ada pula yang kehadirannya menjadi ujian bagi hati.

Dalam lingkaran pertemanan dan rumah tangga, kita sering dihadapkan pada perbedaan yang tak selalu mudah disatukan — cara berpikir, watak, bahkan cara mencintai. Namun bagi para pencari jalan sufiyyah, semua perbedaan itu bukan alasan untuk menjauh, melainkan undangan untuk mendewasakan hati.

Kita belajar menerima keberadaan orang lain, bukan karena ingin mengorbankan perasaan semata demi kebahagiaan mereka. Tetapi karena kita berharap, kelak ketika berhadapan dengan-Nya, kita pun diterima oleh Allah SWT. Sebab Allah tidak pernah menyia-nyiakan kebaikan hamba-Nya yang berbuat baik kepada sesama.

Dalam setiap hubungan, baik dengan sahabat maupun pasangan hidup, kebaikan yang kita tanamkan karena Allah akan kembali sebagai cahaya yang menenangkan jiwa.

Dalam persahabatan, terkadang ada teman yang mengecewakan, melukai, atau membuat hati kita jauh.

Begitu pula dalam rumah tangga, ada masa di mana cinta terasa hambar, dan perbedaan menjadi jurang yang sulit dijembatani.

Namun seorang sufi akan memandang semua itu dengan mata hati, bukan sekadar emosi. Ia tahu bahwa setiap luka adalah pelajaran untuk menundukkan ego, dan setiap perbedaan adalah ruang untuk menumbuhkan kasih yang lebih luas.

Kasih sayang sejati dalam pandangan sufiyyah bukanlah hasil dari kehendak manusia semata. Ia lahir dari rahmat Allah yang menembus hati hamba-hamba-Nya yang tulus. Tidak ada kekuatan di dunia ini yang mampu menumbuhkan rasa cinta, belas kasih, dan ketenangan kecuali Dia.

Maka ketika kita mampu menerima sahabat yang sulit dimengerti, atau pasangan yang sering membuat hati letih, sesungguhnya itu karena Allah telah menanamkan cahaya sabar dalam diri kita.

Dan pada akhirnya, ketika semua perjuangan hati telah dilalui, mungkin jiwa akan berbisik lirih dalam doanya:

“Aku memang tak pantas Engkau terima di sisi-Mu, wahai Rabbku. Namun aku pernah berusaha menerima seseorang yang tak kuinginkan dalam hidupku — baik sebagai sahabat, maupun sebagai pasangan — semata karena-Mu. Maka terimalah aku, yaa Allah. Karena selain Engkau, kepada siapa lagi aku berharap hari ini.” []

Berikan Pendapat