Purbaya Udik  

Oleh Darmansyah

 “Untung ada Purbaya.”

Itu bukan kata otak saya. Saya pinjam dari otak teman. Guru besar bisnis internasional di sebuah perguruan tinggi prestise negeri ini.

Kapasitas otak saya gak sampai ke sana. Teman yang profesor itu  mengatakan popularita sang menteri keuangan  itu mampu mendongkrak persepsi publik tentang pemerintahan.

Paling tidak, ujian  tahun pertama pemerintahan ini bisa diatasi dengan penampilannya. Kebijakan-kebijakannya memberi harapan baru bagi perekonomian.

Ia berhasil menggerek gerbong citra di saat gerbong lain sedang macet.

Lantas muncul iringan pertanyaan… Kok kehadirannya langsung memberikan warna baru pemerintahan ini? Popularitasnya melejit dalam waktu yang singkat?

Muncul pertanyaan kunci. Apakah itu menunjukkan pergeseran gaya kepemimpinan yang disenangi publik?

Jawabannya bisa dengan entahlah… atau …

Dan setahu saya itu bukan gaya baru…

Saya tahu itu gaya yang pernah ada di dekade lalu. Anda boleh ingat sendiri.

Saat itu nama sejumlah pejabat daerah melejit karena menampilkan kepemimpinan marah.

Misalnya, memarahi birokrat yang tidak benar. Marah saat melihat penyimpangan, dan menonjolkan gaya emosional di depan publik.

Ingat seorang wali kota perempuan yang memarahi panitia event yang merusak sebagian taman. Ia juga sering memaki anak buahnya di depan umum atau kemarahan yang sengaja dipublikasikan.

Saya ingat juga seorang gubernur yang viral di media sosial karena memarahi petugas jembatan timbang yang ketahuan melakukan pungutan liar.

Kemarahan itu buahnya pujian publik. Emosionalitas yang melahirkan popularitas.

Gaya kepemimpinan emosional memang sedang dibutuhkan pada masa itu. Entah juga masa kini…Saat publik mengalami krisis kepercayaan terhadap birokrasi dan elite politik.

Masyarakat jenuh dengan pejabat yang terlihat santai dan tidak tegas. Korupsi dan korosi…  Karena itu, sosok yang marah-marah di lapangan dianggap sebagai pahlawan.

Gaya marah-marah pemimpin tidak dianggap sebagai kekurangan. Tapi, sebagai bahasa moral melawan kemapanan birokrasi. Kemapanan nepotisme.

Kemarahan pemimpin tidak dianggap sebagai penyimpangan, tetapi dianggap publik sebagai simbol ketulusan dan integritas. Seperti si koboi itu.

Dalam literasi saya kepemimpinan seperti itu disebut performativitas moral. Pemimpin yang menjadikan kemarahan sebagai performa simbolis.

Marah untuk menegaskan moralitas pemimpin di hadapan publik. Dengan begitu, emosionalitas publik menjadi terwakili.

Purbaya menandai pergeseran gaya kepemimpinan yang diidamkan publik. Gayanya sesuai dengan selera publik kekinian.

Itu, antara lain, karena perubahan lanskap komunikasi yang berubah. Media sosial memperkuat budaya transparansi, spontanitas, dan autentisitas alias keaslian.

Publik sekarang lebih menghargai pemimpin yang blak-blakan, ceplas-ceplos, dan terbuka. Apalagi, mereka bisa menjelaskan kompleksitas secara lugas.

Kategasan tidak perlu disimbolkan dengan marah-marah atau dengan cara-cara yang emosional.

Ini adalah akhir era performativitas emosional yang pernah digunakan para pemimpin. Di lini masa, gaya ini dikenal dengan gaya terbuka dan argumentatif.

Purbaya memiliki itu. Dan ia mengucapkan itu. “Sang presiden lebih lugas. Kalau saya lebih halus’ Kalimat itu panampikan. Penampikan dari mereka yang “bocor halus.”

Saya setuju dengan pernyataan seorang teman old jurnalis tentang gaya kepemimpinan model ini  sebagai awal dimulainya era postheroic leadership.

Yakni, pemimpin yang tak lagi dilihat sebagai orang sakti yang marah demi rakyat. Namun, manajer rasional yang bicara apa adanya di depan publik.

Kalau tesis itu benar, meroketnya gaya koboi ini menandai pergeseran gaya kepemimpinan publik.

Dari emotional leadership yang membangun solidaritas publik melalui perasaan moral ke narrative or discursive leadership Dari kepemimpinan emosional ke narataif

Dalam kepemimpinan naratif, kepercayaan dibangun melalui penjelasan, keterbukaan data, dan dialog.

Karena itu, kepemimpinan yang demikian membutuhkan kompetensi dan kecerdasan teknikalitas yang lebih besar ketimbang emotional leadership.

Jika dulu gaya marah efektif di saat publik merasa tidak punya suara, kini tak lagi demikian. Sekarang publik menuntut partisipasi dan literasi informasi.

Kalau dulu marah-marahnya pemimpin menjadi tanda kejujuran, kini menjadi tanda kurang rasional. Kini blak-blakan menjadi simbol transparansi dan kompetensi.

Purbaya memulai pergeseran itu. Sayangnya Cuma dia. Maunya ada dua tiga pemimpin yang begitu…. Ramai… gaduh,, dan heboh…

Khusus untuk si koboi ia tidak hanya punya modal postur tubuh yang charming dan murah senyum, tetapi juga modal kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan saat ini.

Tampaknya, latar belakang pendidikannya menopang kebutuhan kepemimpinan baru seperti itu.

Mungkin background pendidikannya yang lulusan teknik elektro membuat caranya berpikir didasari rekayasa sistem, Systems thinking.

Cara berpikir yang cenderung melihat dunia sebagai sistem yang punya input, proses, dan output.

Apalagi ia seorang doktor ekonomi. Lulusan purdue. Sebuah perguruan tinggi di udik pedalaman amerika. Bukan seperti berckley atau harvard atau pun oxford yang mafiaso.

Sebagai seorang teknik elektro yang mengambil studi ekonomi ia punya keenderungan  menggabungkan logika teknik yang presisi dan efisiensi dengan intuisi ekonomi.

Cara berpikir model begini adaptif terhadap ketidakpastian.

Mereka yang berlatar belakang model ini bisa berpikir sebagai insinyur dalam dunia yang tak bisa direkayasa sepenuhnya.

Pendidikan terakhir itu membuatnya terbiasa berpikir dengan teknik presisi menjadi cara berpikir yang lebih terbuka dalam menghadapi ketidakpastian.

Bukankah ilmu ekonomi lebih bersifat tidak pasti dan tak selinier ilmu teknik yang bersifat lebih pasti?

Pernyataan bahwa ia tak akan mengambil kebijakan aneh-aneh setelah diangkat sebagai menkeu adalah contohnya.

Itu adalah cara berpikir insinyur sistem yang ingin menjaga stabilitas parameter. Bukan melakukan eksperimen liar di tengah sistem ekonomi terbuka.

Purbaya akhirnya tampil sebagai sosok yang berbeda. Ia menjadi menteri yang menampilkan kepemimpinan teknokrat terbuka: teknis dan kalkulatif, tetapi transparan dan komunikatif.

Ia menjadi sosok yang tak membangun citra karismatik atau emosional, tetapi pemimpin sistem.

Kita akhirnya bisa melihat menteri keuangan yang cenderung berpikir sistematis dan berbasis data, fokus pada stabilitas dan efisiensi.

Juga, pemimpin yang punya gaya komunikasi blak-blakan, tapi logis. Menteri yang pragmatis dalam menghadapi ketidakpastian sosial.

Tapi, punya keyakinan bahwa ekonomi bisa direkayasa seperti sistem energi.

Dengan gayanya yang unik, Purbaya memang telah memberikan harapan baru publik kepada pemerintahan ini.

Namun, apakah ia akan berhasil membawa pertumbuhan ekonomi seperti yang ditargetkan pemerintahan?  Itu masih perlu waktu. Yang penting, ada kesegaran baru bagi publik.

Kesegeran yang datang dari orang udik. Purbaya itu memang orang udik .

Saya tahu itu tanpa mengutip banyak pernyataan. Kutipan bisa saya salin dari otak saya. Dari memori

Saya tahu dari bacaan ia bukan orang udik. Bogor kota kelahirannya cuma sehasta dari ibu kota. Kota itu memang pinggriran. Bukan terpomggirkan. Itu mah beda….

Dulu namanya buitenzorg. Nama lama. Kalau diartkan secara jadul : buiten berarti “di luar” dan zorg berarti “kekhawatiran” atau “kesulitan”.

Kota  “tanpa kekhawatiran” atau “bebas dari kesulitan”. Cocok untuk fungsinya sebagai tempat peristirahatan guna menjauh dari hiruk pikuk dan tekanan pekerjaan

Tapi kota itu identik dengan udik, Udiknya kelihatan di pagi hari ketika banyak penduduknya nenteng payung. Padahal hari cerah.

Dari sinilah nurul siaya berangkat. Purbaya memang udik. Berbeda dengan orang kota yang manipulative.

Beda ini kelihatan. Ia jujur, apa adanya, bahkan berisiko. Itu bisa jadi kelemahan, tapi juga kelebihan orang udik di tengah masyarakat yang haus transparansi.

Purbaya itu khas. Dimana dan kapanpun ia menjadi diri sendiri. Susah menemukan seseorang menjadi dirinya sendiri. Anda tahu banyak pejabat yang melepaskan dirinya.

Sebelum menjadi pejabat bicara ceplas-ceplos, sambil bercanda, ada waktu luang bisa main domino, bebas.

Sebelum menjadi pejabat jika menerima sesuatu yang menyenangkan bersorak, tepuk tangan disertai joget, bebas.

Setelah menjadi pejabat; ceplas-ceplos, canda, domino, jogetnya lengser. Beda lagi dengan penjahat, apapun yang dilakukan, tidak akan melengserkan jabatannya, kecuali bertobat.

Mungkin beda lagi dengan pejabat yang jahat,..

Sebab era saat ini, era dimana, orang lebih suka dengan kepura-puraan. Orang lebih senang cara santun meski melukai dan menyakiti.

Orang kian condong dengan sikap halus meski menusuk. Dari sulu saya sepakat, tata krama itu penting. Tetapi, apalah arti tata krama dan sopan santun. Jika dibalik sikap itu ada niat tidak baik.

Ada niat merugikan rakyat dan negara. Kenapa jika ada pejabat yang lebih apa adanya dalam sikap, kata dan tingkah laku yang genuin malah sering jadi bahan “rujakan”. Wolo-wolo kuato.

Semoga bangsa ini kian cerdas. Tata krama dan sopan santun itu penting. Tapi jujur dan apa adanya itu jauh lebih penting.

Beberapa riset menunjukkan keberhasilan kebijakan lebih dipengaruhi oleh pengalaman, durasi jabatan, dan dukungan politik ketimbang gelar akademik.

Dari pengalaman akademik hingga karir pengalaman kerjanya membuatnya punya kombinasi analisis teknis + wawasan makro yang solid.

Penentu keberhasilannya bukan ijazah, melainkan kredibilitas pasar, dukungan politik, dan kekuatan tim teknis

Pendidikan penting, tapi bukan penentu tunggal. Kombinasi keilmuan, pengalaman, dan dukungan politik jauh lebih menentukan. Plus, mungkin, harus pelit bicara. Pelit gestur.[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”

 

 

Berikan Pendapat

Berita Terkait

Bor Seulawah

Darmansyah
0

Rakyat Em-er-te

Darmansyah
0

Botani Nilam

Darmansyah
0