Seruan Wali Nanggroe: Reformasi Tata Kelola Lingkungan!
PORTALNUSA.com | BANDA ACEH – Wali Nanggroe Aceh, Paduka Yang Mulia Tgk. Malik Mahmud Al-Haythar mengeluarkan seruan keras untuk melakukan pembenahan sistemik terhadap tata kelola lingkungan, penegakan hukum, dan reformasi kebijakan pembangunan pascabencana hidrometeorologi besar yang melanda Aceh.
Dalam pernyataannya yang tegas namun sarat empati, Wali Nanggroe menyampaikan duka mendalam atas hilangnya nyawa, kerusakan infrastruktur, serta kerugian besar yang dialami masyarakat akibat banjir dan longsor dalam wilayah 18 kabupaten/kota di Aceh.
Ia menegaskan bahwa seluruh pemangku kepentingan harus memperkuat solidaritas dan memastikan tidak ada satu pun warga terdampak yang terabaikan.
Kabag Kerja Sama dan Humas Wali Nanggroe, Zulfikar Idris menyebutkan, pada aspek penanganan darurat, Wali Nanggroe menekankan pentingnya evakuasi cepat, pembukaan akses distribusi logistik, upaya modifikasi cuaca bila memungkinkan, serta penyediaan layanan kesehatan sebagai prioritas utama.
Ia memberikan perhatian khusus pada risiko penyakit pascabanjir dan meminta agar mitigasi epidemi dilakukan secara ketat, termasuk pengelolaan bangkai hewan, penyediaan air bersih, sanitasi darurat, serta pemetaan segera terhadap desa-desa yang terisolasi.
“Tidak boleh ada keterlambatan. Setiap menit menentukan keselamatan masyarakat,” ujarnya dalam seruan yang menekankan urgensi penanganan darurat di seluruh wilayah terdampak.
Wali Nanggroe menyoroti perlunya menghentikan deforestasi di wilayah hulu dan daerah aliran sungai, menerapkan tata ruang berbasis risiko bencana di seluruh kabupaten/kota, serta membangun infrastruktur pengendali banjir dan jembatan yang tahan terhadap kondisi ekstrem.
Ia juga menuntut pengendalian pencemaran air akibat pertambangan ilegal berbasis merkuri, memperkuat sistem peringatan dini berbasis sensor dan teknologi satelit, serta memberantas aktivitas tambang dan pembalakan liar melalui kolaborasi antara lembaga adat, pemerintah, dan aparat penegak hukum.
Wali Nanggroe menegaskan kembali peran penting masyarakat hukum adat, termasuk Panglima Uteun, sebagai penjaga hutan Aceh yang selama ini menjadi benteng mitigasi bencana.
“Ekosistem Aceh bukan sekadar sumber daya alam; ia adalah sistem penyangga kehidupan,” tegasnya.
Salah satu instruksi paling signifikan adalah pembentukan Tim Investigasi Khusus untuk mengungkap akar penyebab banjir.
Tim ini ditugaskan menelusuri jejak deforestasi, ekspansi perkebunan dan pertambangan besar-besaran, kerusakan daerah aliran sungai, sedimentasi sungai, serta pencemaran dan penyumbatan aliran air akibat limbah padat dan plastik.
Tim juga akan melakukan audit komprehensif terhadap konstruksi jembatan, tanggul, dan infrastruktur lain yang diduga tidak dibangun sesuai standar teknis sehingga menyebabkan kerusakan parah ketika banjir melanda.
Investigasi ini akan melibatkan akademisi, pakar hidrologi, ahli lingkungan, aparat penegak hukum, dan unsur independen sebagai bentuk komitmen terhadap transparansi dan akuntabilitas publik.
Di bagian reflektif Wali Nanggroe mengenang 49 tahun perjalanan sejarah perjuangan Aceh dan menyampaikan penghormatan kepada para syuhada.
Ia menegaskan bahwa tantangan Aceh hari ini bukan lagi peperangan bersenjata, melainkan kemiskinan, ketertinggalan, dan kerusakan lingkungan.
Ia juga menekankan bahwa nasionalisme Aceh tidak bertentangan dengan komitmen terhadap Negara Republik Indonesia, sebuah pesan moderat yang dinilai para pengamat penting bagi stabilitas politik Aceh ke depan.
Wali Nanggroe menyerukan agar tragedi banjir besar tersebut dijadikan titik balik untuk membangun Aceh yang lebih tangguh melalui penguatan pendidikan, pengembangan ekonomi rakyat, pemerintahan yang bersih, perlindungan terhadap adat dan lingkungan, serta kesiapsiagaan menghadapi perubahan iklim.
“Kita harus menjadikan pengalaman pahit ini sebagai titik balik,” pungkasnya.[]




