Gengsi Presiden dan Harga Nyawa Rakyat

Teuku Muhammad Zulfikar

Oleh: Dr. Ir. TM Zulfikar, S.T., M.P., IPU./Akademisi & Praktisi Lingkungan Aceh

BENCANA banjir dan longsor yang melanda Aceh dan sebagian wilayah Sumatra kembali membuka luka lama bangsa ini: negara yang selalu terlambat hadir ketika rakyatnya menjerit.

Di tengah rumah yang hancur, sawah yang lenyap, dan korban jiwa yang terus bertambah, pemerintah justru sibuk memelihara gengsi politik.

Presiden Prabowo Subianto tampak ragu atau enggan menetapkan status Bencana Nasional dan membuka pintu bantuan negara asing, seolah harga diri kekuasaan lebih penting daripada keselamatan warganya sendiri.

Pertanyaannya sederhana: apa yang sebenarnya dipertaruhkan?

Jika penetapan status Bencana Nasional dianggap sebagai simbol kelemahan, maka kita telah salah kaprah memahami makna kepemimpinan.

Negara besar bukanlah negara yang menutup mata saat kewalahan, melainkan negara yang berani mengakui keterbatasan demi menyelamatkan nyawa manusia.

Menolak bantuan internasional di tengah krisis kemanusiaan bukanlah sikap berdaulat, itu adalah keangkuhan yang dibayar dengan penderitaan rakyat.

Lebih menyakitkan lagi adalah lambannya penanganan pasca-bencana.

Evakuasi yang tidak merata, distribusi logistik yang tersendat, dan minimnya perhatian terhadap korban yang kehilangan tempat tinggal menunjukkan buruknya koordinasi dan absennya sense of urgency.

Di lapangan, relawan dan masyarakat sipil bergerak lebih cepat daripada negara. Ini bukan hanya soal cuaca ekstrem, tapi soal ketiadaan kepemimpinan krisis yang tegas dan responsif.

Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat bukan sekadar titik di peta. Di sana ada manusia, ada anak-anak yang kehilangan sekolahnya, orang tua yang kehilangan mata pencaharian, dan keluarga yang kehilangan anggota tercinta.

Mereka tidak membutuhkan pidato normatif atau alasan prosedural. Mereka membutuhkan keputusan cepat, bantuan nyata, dan kehadiran negara yang tidak setengah hati.

Presiden Prabowo harus memahami satu hal mendasar: menetapkan status Bencana Nasional bukan aib, dan menerima bantuan asing bukan pengkhianatan.

Aib sesungguhnya adalah ketika negara memilih menjaga citra ketimbang menyelamatkan rakyatnya. Pengkhianatan terbesar adalah membiarkan korban bencana berjuang sendiri di tengah puing-puing kehidupan mereka.

Sejarah tidak akan mencatat seberapa tinggi gengsi kekuasaan dipertahankan, tetapi akan mengingat dengan jelas berapa banyak nyawa yang gagal diselamatkan karena keputusan yang terlambat. Dan untuk itu, tidak ada alasan yang bisa diterima.[]

Berikan Pendapat

Copyright © 2025. Portalnusa.com – All rights reserved