Cemerlang Razali

Darmansyah

IA seorang humble. Terbuka. Bisa masuk di semua segmentasi  pergaulan. Atas bawah.  Dari juru parkir hingga pejabat tinggi. Dari “toke bangku” hingga konglomerat.

Ia sendiri saat itu adalah toke benaran.



Toke yang mau berbagi untuk asa kehidupan. Khas toke di era itu.

Itu dulu. Ketika era berbunganya proyek tunjuk menunjuk. Era belum mekarnya penyatuan oligarki politik dagang uang. Kala era politik masih “dagang sapi.” Masih sogoknya di bawah meja.

Yang kini sogoknya bukan hanya naik ke atas meja tapi sudah memakan titik..titik..nya..

Nama si “humble” itu  Razali NG. NG di singkatan ujung namanya adalah Nyak Geh. Nama ayahnya. Seorang “opas” di era “zelf bestuur.” “Opas” disuruh-suruh “klerek.”

Zelfbestuur itu arti kerennya “pemerintahan raja kecil.”  Raja kecil yang memiliki otonomi mengurus diri sendiri.  Wilayahnya menurut ukuran sekarang berada di tingkat kecamatan.

Nyak Geh opas di “zelfbestuur” Teuku Tjoet Din. Di Lama Inong. Aceh Selatan. Yang saya sering memelesetkannya “aceh ketelatan.” Yang kini Lama Inong menjadi bagian dari Aceh Barat Daya. Abdya.

Kalau kini “opas” itu sama dan sebangun dengan office boy. Anda tentu tahu posisi seorang office boy atau “ob.”   “Ob” zaman baheula yang nggak punya patokan penghasilan.

Kata “opas” ini saya salin dari cucu Teuku Tjoet Din. Arminsyah. Yang malam kemarin saya minta testimoninya tentang profil dan postur Razali NG.

Testimoni ini untuk melengkapi memori saya tentang lelaki melarat di awal kariernya, sukses di pertengahan dan layu di ujung kehidupannya.

Lelaki yang terhubungkan dengan memori saya ketika bertebarannya berita di media  mainstream online tentang perusahaan yang ia dirikan: PT Cemerlang Abadi terjerembab ke kasus hukum.

Kasus dugaan tindak pidana korupsi pada kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit dan diminta untuk menghentikan operasi usaha yang dianggap ilegal.

Kejaksaan pun telah meningkatkan status penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi pada kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit  milik perusahaan ke tahap penyidikan.

Dalam keluarga “opas” inilah Razali dilahirkan dan tumbuh menjadi remaja. Remaja yang bandelnya ampuunn…

Sehingga pada suatu hari setelah sukses ia mengakui kepada setiap teman, termasuk saya, cuma lulusan kelas dua sekolah rakyat.

Tak pernah tamat sekolah rakyat tapi memiliki ijazah sekolah menengah pertama dan atas hingga ijazah setengah sarjana. Saat itu kan ada ijazah setengah sarjana dengan nama sarjana muda.

“Anda memiliki?” tanya saya di sebuah hari tahun delapan puluhan di kawasan Proyek Senen, Jakarta Pusat, ketika ia mengajak makan siang. Di kawasan itulah  ia berkantor.

Jawabannya nggak serius. Hanya dengan tawa ngakak. Dan saya juga ikut ngakak.. hahahaha…

Ngakak juga karena ijazah ini diperlukan untuk melengkapi syarat menjadi rekanan pengadaan barang dan jasa. Ia memang pernah menjadi rekanan pengadaan di Departemen Agama. Rekanan cetak mencetak.

Mencetak apa saja kebutuhan Depag. Saya tak pernah tanya apakah ia juga pernah menjadi rekanan pengadaan kitab suci.  Mungkin pernah.

Sebab waktu itu Depag juga punya program pengadaan kitab suci untuk dibagi-bagikan ke umat.

Sebagai rekanan pengadaan barang cetakan, Razali termasuk kelas kakap. Kakap dalam artian proyek yang dikerjakannya bernilai besar. Besar sekali…

Sehingga dari reseki yang melimpah ini ia membangun bisnis baru. Istilah kerennya diversifikasi usaha. Penganeka-ragaman usaha.

Diversifikasi yang dilakukan Razali adalah  sebagai strategi operasional bisnis  agar profit usahanya bisa semakin besar.

Salah satu pilihan perluasan usahanya menerabas jalur perkebunan. Entah dari mana ide itu datang, saya tak pernah menanyakan kepadanya.

Tapi ia selalu menjawab untuk bakti kampung halaman, Bakti ke Lama Inong. Ke Kuala Batee.

Lama Inong-Kuala Batee memang prospektif untuk pengembangan perkebunan. Selain bentangan lahannya luas juga struktur humus tanahnya cocok dengan areal perkebunan.

Perkebunan apa saja. Bahkan di hari-hari ini cocok untuk memelihara “kebun konflik.”

Dan Razali lewat PT Cemerlang Abadi  memilih menanam sawit. Sawit yang kala itu belum berbunga-bunga. Bunga dollar atau pun yuan seperti sekarang.

Di sebuah pertemuan lain saya menanyakan kenapa harus sawit. Jawabannya sangat sederhana. Lahan Kuala Batee sangat bagus untuk sawit. Perawatannya mudah.

Mudahnya lagi bisa belajar dari kebun Socfin milik Belgia yang jaraknya sepelemparan kilometer dari Kuala Batee.

Kebun Socfin di Seumayam yang sejajar dengan garis jalan Kuala Batee-Babahrot  telah eksis di awal tahun seribu sembilan puluh sebagai kebun sawit.

Bahkan tetangga Seumayam, lewat jalan berbelok, Seunagan, juga merupakan kebun sawit yang subur.

Sederhana kan!

Tapi yang nggak sederhananya menurut  Razali adalah mengurus hak guna usaha di kementerian agraria sebelum kementerian berubah nama jadi Badan Pertanahan Nasional.

Badan Pertanahan yang pernah digawangi orang Aceh, Sofyan Jalil.

Hak guna usaha yang diurus itu harus memetakan banyak liku jalan untuk sebuah perizinan.

Seorang Razali tak pernah lelah untuk mewujudkan mimpinya itu. Mimpi cemerlang yang abadi. Yang menjadi nama perusahaannya “Cemerlang Abadi.” Perusahaan berbadan hukum perseroan terbatas.

Cemerlang Abadi yang hari-hari ini mulai oleng karena beban yang menumpang di bak belakangnya terlalu sarat dengan calo-calo. Anda pasti tahu calo-calo itu. Yang pasti bukan calo tandan buah segar.

Entahlah…

Saya sendiri punya catatan sangat spesial tentang jalan Razali menjadi pengusaha. Ia tidak melewatinya di trek lurus.

Ia memulai dengan merantau. Kata merantau inilah yang dimotivasikannya ke siapa saja. Ke setiap anak Lama Inong. Atau siapa pun. Bahkan ke saya yang sering dipanggilnya dengan sapaan adik.

Sebagai motivator, Razali nggak neko-neko. Nggak seperti Mario Teguh yang neko dan dipinggirkan Metro TV.

Cuma neko motivasi Razali ada plesetannya. Plesetan tentang perlunya punya gandengan yang lebih dari …

“Sunah,” katanya suatu hari ke saya kala kami ketemu di Medan. Saya nggak mau masuk ke lobang cerita ini. Biarlah seorang sahabat saya yang menjawabnya. Dan saya kutipkan kalimatnya.

“Bahkan saya sendiri pernah dimotivasinya untuk punya gandengan lebih dari satu. Akhirnya cukup dua,” kata teman saya yang se “aso lhok” dengannya, Arminsyah.

Bahkan si Arminsyah ini membahani saya tentang Razali lewat sebuah cerita pendeknya. Cerita pendek yang berbau fiktif tapi dengan latar seorang Razali.

Yang ia kirim malam kemarin lewat aplikasi facebook. Dan saya hahaha membacanya. Asik.

Razali yang membangun kebun sawit untuk memberi motivasi bagaimana sesorang menggapai sukses.

Rantau pertama seorang Razali  adalah Meulaboh. Di Meulaboh ia menjadi kenek boat jalur laut ke Simeulue.

Di Meulaboh inilah ia terbentuk menjadi entrepreuneur awal.  Entrepreuneur yang dijadikan menantu oleh si toke boat.

Pilihan merantau ke Meulaboh memang obsesi anak Lama Inong. Tidak hanya obsesi Razali. Tapi juga obsesi dari banyak teman saya. Seperti Arminsyah maupun Ridwan Amran untuk menyebut dua nama.

Sebagai lelaki yang memiliki ijazah sekolah rakyat, Razali tak pernah didera rasa minder atau rendah diri di strata pergaulan antarpengusaha.

Bahkan dari bangunan rasa percaya diri atau self confident ini pula Razali pernah merambah dunia perfilman nasional dengan ikut share menjadi produser film “flamboyant.”

Anda pernah menontonnya?

Sebuah film yang disutradarai Sumanjaya dengan pemeran utama Mieka Wijaya, Uly Artha, Tuti Kirana, Rachmat Hidayat, Pong Harjatmo, dan Dien Novita.

Saya ingin menulis Razali NG ini karena panggilan hati. Karena ia sendiri sudah di-”panggil.” Di delapan tahun lalu.

Sehingga ia tak bisa menjawab dan menjelaskan tentang kasus yang membelit usahanya. Usahanya  “pt cemerlang abadi.”  Yang kini dan dulu-dulunya dianggap biang kerok.

Biang kerok karena menguasai lahan Hak Guna Usaha—HGU—seluas tujuh ribu hektare lebih di kawasan Kuala Batee, Kabupaten Aceh Barat Daya.

Penguasaan lahan yang habis HGU-nya. Yang kemudiannya menjadi lahan politik untuk titik..titik.. yang terus didorong-dorong ke “lahan” hukum.

Saya tak ingin masuk ke lahan ini. Sebab tak ada janji saya akan mendapatkan lahan di sana. Lahan yang dijadikan komoditas janji pemerataan .. dan entah apa lainnya.

Kasus ini pun sudah di-“goreng”  menjadi setengah matang dengan memakai kata konflik. Konflik lahan antara masyarakat Babahrot dengan PT Cemerlang Abadi.

Saya nggak berhak untuk mengiyakan atau membantah kata konflik ini. Yang saya tahu gorengannya nggak pernah matang karena prosesnya bertegangan tinggi rendah.

Tinggi rendah dengan memunculkan sengketa lama. Sengketa antara hak guna usaha dengan kebijakan pencetakan sawah di atas lahan milik Cemerlang Abadi.

Sengketa yang Kabupaten Abdya masih di langit tujuh dan Kecamatan Kuala Batee belum terbelah dua. Yang menjadikan Babahrot sebagai kecamatan belahannya.[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”