TIBA-tiba ia mengalihkan pembicaraan ke anak saya dengan mengatakan: “kalau ananda punya anak jangan sekolahkan ke luar negeri.”
Saya menatapnya. Bingung. Kok seketika bicaranya berbelok. Ke arah tak terduga, Dari pokok pangkal semula. Seperti mobil banting setir saja. Yang menyebabkan penumpang linglung.
Padahal muasal pembicaraan itu fokus dengan masalah yang ia hadapi. Masalah bisnis, berkaitan dengan kesulitan arus kasnya. Cash flow. Yang tersendat oleh kasus bla,,bla,, yang nggak perlu saya tulis.
Yang ia minta advis ke saya. Yang kebetulan pula anak saya punya “link” pekerjan dengan masalah yang membelitnya. Dan saya merengek ke anak yang semula sungkan ketemuan.
Anak saya manggut-manggut terhadap ocehannya yang berbelok itu. Saya sendiri merasa ada yang gemeretak di patahan memori. Selanjutnya menunggu gerak mulutnya. Tapi nggak ada desis.
Ia meraih handphone-nya. Membuka sebuah aplikasi yang saya nggak tahu apa itu whatsapp, facebook, instagram atau twitter. Yang saya tahu ia memainkan jemarinya di permukaan layar.
Lantas memperlihatkan ke-anak saya deretan share foto. Untuk kemudian mengatakan: “saya kecewa dia ngotot tak mau memilih jadi entrepreuneur.”
Nah, saya baru ngah. Ngah juga ketika ia melanjutkan pembicaraan tentang ketiga anaknya yang nggak mau melanjutkan petualangannya sebagai entrepreuneur.
“Mereka semuanya memilih karier sebagai eksekutif di perusahaan orang lain. Makan gaji. Jadi orang gajian. Walau pun memiliki gaji besar,” katanya sembari menarik nafas panjang.
Yang lantas ia teruskan, “mereka itu semuanya sekolah di luar negeri. Di Amerika Serikat, Australia dan Inggris. Sekolah bisnis.“
Tapi nggak ingin berbisnis…
Saya takzim aja mendengarnya. Nggak ingin menyela. Sebab saya tahu ia sedang menghamburkan kekesalannya. Kesal dari belitan yang menimpa bisnisnya hingga ngelantur masalah “dapurnya.”
Anda kan tahu tentang masalah “dapur” yang isiannya belanga, panci, wajan dan lainnya, yang kalau di penggorengan berbunyi “tang..ting..tong.” Gaduh.
Untuk itu saya nggak mau menyela bunyian itu. Bisa tambah gaduh dengan bunyian klentang..klentong.
Tapi celotehnya terus lanjut…Ya sudah.. Saya hanya bisa angguk-angguk dengan stelan serius. Stelan khas untuk memberinya ruang menumpahkan semua isian kejengkelannya.
Kejengkelan atas bisnis yang ia bangun dengan adagium semula: generasi pertama membangun,,generasi kedua membesarkan .. dan generasi ketiga menghancurkan.
Adagium yang menjadi patron bangunan semua bisnis. Kalau Anda nggak percaya tanyakan saja ke konglemerasi bisnis. Sehingga mereka membuat sebuah konstitusi bisnis.
Konstitusi yang punya think tank, tangki pemikir, agar kelestarian konglomerasinya bisa terus eksis. Maka muncul juga konsultan konglomerat.
Khusus untuk kasus sang teman terjadi pembalikan. Pembalikan terhadap patron adagium entrepreneur. Adagium tentang generasi pertama membangun, membesarkan sekaligus hancur.
Saya sempat menjalarkan adagium ini dalam pembicaraan kami. Ia dengan muka masam ditambah cemberut cuma mengeluarkan suara berdesis. hahhhh…
Saya tahu desis suara itu. Suara kecewa. Suara dengan nada mencibir.
Mencibir tentang kegagalannya memanifestasikan jiwa entrepreneur dalam keluarganya.
Terhadap cibirannya ini saya mencoba mengais memori tentang entrepreneur Aceh masa lalu. Entrepreneur yang sudah menguap,
Entrepreneur CV Lubok, Permai, Puspa dan Azeyma, untuk menyebut sedikit dari banyak yang telah menguap dan tak meninggalkan jejak ke generasi berikutnya.
Sehingga banyak orang telah melupakannya.
Melupakan jiwa entrepreneur seseorang yang menjalankan aktivitas kewirausahaan dengan karakteristik dan bakat khusus.
Entrepreneur yang mengenal produk-produk baru, menentukan cara produksi yang baru, mengelola manajemen operasi untuk memasok produk baru, memasarkannya, hingga mengelola modal operasional.
Istilah pengusaha dan entrepreneur tentunya sudah sangat familiar di mana-mana. Tak banyak orang yang tahu perbedaannya.
Entrepreneur itu beda dengan pengusaha. Pengusaha merupakan seseorang yang menjalankan bisnis dengan cara yang tradisional, atau mengikuti ide-ide bisnis yang sudah lebih dulu ada.
Dari banyak textbook pengusaha punya margin risiko yang rendah karena ia hanya mengikuti ide yang sudah terlebih dahulu dicoba orang lain. Pengusaha sudah bisa menghitung dulu apa saja pro dan kontra dari ide maupun strategi bisnis yang akan ia jalankan.
Lantas, entrepreneur?
Mereka merupakan seseorang yang kreatif dan inovatif, dan membawa ide-ide baru dalam memulai sebuah bisnis.
Ketika seorang memperkenalkan ide-ide barunya kepada orang lain, selalu ada kemungkinan bahwa ia akan menghadapi banyak risiko dan rintangan lantaran keunikan idenya.
Saya ingin mengutip sebuah cerita entrepreneur Cina bernama Qin Yinglin. Ia seorang peternak babi di sebuah desa terpencil dengan modal awal dua puluh ekor anak babi.
Kini Qin Yinglin jadi konglomerat pemilik Muyuan Group. Yang kekayaan mencapai dua puluh miliar dollar. Petani dan peternak terkaya di dunia. Sekarang Qing Yinling lima kali lebih kaya dari konglomerasi Evergrande.
Bagi saya entrepreuneur itu harus dihidupkan dalam mimpi. Memulai mimpi dan merencanakan melaksanakan mimpi mereka.
Anda kan tahu, bisnis itu yang paling sulit adalah memulainya. Yang sulit lainnya adalah mengubah sikap dari seorang penganggur atau seorang pekerja menjadi seorang pengusaha.
Orang yang sulit berubah akan sulit jadi pengusaha. Padahal banyak orang yang sudah membuktikan bahwa dirinya pernah membuat perubahan besar dalam hidupnya.[]
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”