KEPADA saya ia tak pernah mengubah narasi dirinya sebagai anak “kolen station” yang kemudian bermutasi sebagai keturunan “vrij haven.” Lantas menjelma menjadi warga kp4bs.
Ia mampu menceritakan secara detil dengan mengutip banyak literatur tentang “kolen station.” Tentang “vrij haven” Hingga kp4bs dan bpks.
Tak pernah ada tanggal merah di kalender kalau ngomongnya sudah menjalar ke topik tentang tanah kelahiran kakek buyutnya itu. Hilir mudik hingga di kedalaman Danau Aneuk Laot.
Kedalaman ini ia himpun dari banyak tulisan yang menyangkut tanah dan airnya. Ia simpan dengan rapi untuk di-dokumentasi-kan. Hingga punya perpustakaan kecil. Yang saya pernah datang ke perpustakaan mininya itu.
Ia sendiri generasi ketiga dari perkawinan silang Jawa-Minang yang mengaku lebih Sabang dari Sabang itu sendiri.
Dia bisa sangat serius kalau membahas nasib “negeri”-nya itu yang terus jadi “gelandangan.”
“Gelandangan” yang cerai dan rujuk dengan undang-undang dan peraturan dalam status pelabuhan dan daerah perdagangan bebas.
“Anda bisa menghitung sendiri cerai rujuknya Sabang dengan statusnya ini. Sejak status kolen station lanjut ke vrij haven lantas lanjut dengan kata komando di era kp4bs,” katanya pada suatu hari kepada saya.
“Cerai rujuk plus gelandangan sejak satu setengah abad silam hingga hari ini.”
Sejak hakikahnya sebagai “kolen station” dan diturun-tanahkan sebagai “vrij haven.”
Namanya Mohamad Daniel. Sudah berada di kepala tujuh. Dua hari lalu ia menyapa saya. Mengajak ketemuan. Tempatnya di Pasar Nusantara Sarinah. Hanya sepelemparan tempat tinggalnya di Jalan Sabang
Anda tentu sudah tahu Sarinah. Di jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Sarinah sebuah mall persitise yang dibangun Bung Karno dari duit pampasan perang Jepang. Yang dua tahun lalu direvitalisasi usai mati suri.
Ketemuannya dengan janji menikmati kuliner. Soto Haji Mamat. Soto Betawi terkenal di nusantara kuliner lantai empat Sarinah. Harga semangkoknya, plus sepiring nasi, lima puluhan ribu rupiah. Tanpa minuman.
Daniel sahabat saya sejak lama. Sejak masih mahasiswa “drop out” yang hijrah ke Jakarta dalam status ponakan seorang petinggi. Seorang jenderal. Pernah jadi petinggi militer,
Tapi “out” karena ikut menurunkan tekanan di petisi lima puluh. Sang jenderal Sabang asli. Seperti juga jenderal lainnya yang pernah jadi menteri agama. Dan Sabang memang “gudang” jenderal.
Daniel nggak pernah tergagap menyebut Sabang sebagai bandar di pucuk barat Nederland Indies.
Bandar dengan teluk bak beulangong gulee yang dilabuhi empat lima kapal api, berbahan bakar batubara, dengan asap hitam mengepul dari cerobongnya. Dermaga yang kokoh disangga beton tebal di selangkangnya.
Juga ada gudang-gudang yang tertata rapi dipenuhi kuli memunggah barang dagangan. Daniel juga lancar ngoceh tentang rumah model roterdaam bergaya art deco campuran et-spanyola di Kota Atas.
Ada sebaris toko di Pasar Bawah bergaya hokian khas Kwangtung bertiang besar, jendela susun sirih kecil di lotengnya dan kaki lima yang lapang dengan usaha konveksi milik toke berdialek hongfu.
Jangan lupa dengan Pasiran yang masih perawan tempat docking kapal antarpulau yang dibengkelkan.
“Itulah Sabang, kota heterogen, dengan para administrator pendatang yang berbaur dengan klerek anak negeri,” yang saya kenang kata Daniel dengan saya di kesempatan lainnya.
Sabang kota plural dengan majemuknya baur keturunan suku, yang mengidentikkan penghuninya sebagai anak Weh, adalah potret komunitas kesetaraan hidup.
Kesetaraan yang mengharamkan cekcok hegemonitas tentang klaim anak asal. Anak Weh yang menurunkan status koeli ke anak cucunya.
Anak koeli yang tidak pernah mengejar cita-cita menjadi amtenar di matschaappij, dan bangga dengan kultur gado-gado yang acuh terhadap tanah asal ayahnya.
Lainnya?
“Gudang korupsi,” ujarnya ketus sembari menyorongkan sebuah postingan berita tentang gelandangnya Izil Azhar ke Gedung Merah Putih. Ka-pe-ka.
Izil Azhar yang bersekongkol membancak pembangunan dermaga pelabuhan di Sabang. Yang saya nggak usah merincinya karena sudah melewati masa “deadline.”
Masa deadline juga Sabang melewati jilid ketiga eksistensinya. Eksistensi saling ganjal, sikut menyikut dan sandera menyandera para pemilik otoritas atas nama undang-undang yang mereka jepit di ketiak masing-masing.
Otoritas tumpang tindih di era free port jilid dua yang hanya bisa menghasilkan “jengek” atau jenggo ekonomi, sebutan lain dari penyeludup kecil-kecilan, dengan dagangan sarung palekat, rokok Dunhill, pecah belah ataupun elektronik rongsokan.
Dagangan yang pernah difitnah sebagai sumber penyelundupan ketika kapal MV Acress bermuatan tekstil hingga pecah belah dari Singapura diciduk di lepas pantai laut Jambo Aye sebelum tiba di Sabang.
Lantas, dibulan-bulani dengan pemberitaan koran nasional sebagai kasus penyeludupan terbesar hingga mendegradasikan kehidupan Sabang ke tubir kebangkrutan.
Padahal, siapun tahu itu tuduhan nol besar.
Tuduhan rekayasa karena hasutan para cukong Medan bersama toke Singapura karena takut tersainginya kepentingan besar mereka membesarkan Batam dan bisa membuat pelabuhan tikus di seputar Tanjung Balai maupun Bengkalis menjadi kuburan.
Sabang juga pernah mengalami fase bancakan para politisi untuk mengerek jualan popularitasnya hingga menghasilkan status free port jilid tiga.
Vrij haven jilid tiga yang mengganti mainan Sabang dari rokok Dunhill dan sarung palekat, menjadi impor mobil bekas eks Singapura yang dijatah kuotanya oleh departemen perdagangan untuk masuk ke daratan dengan status kepabeanan yang sangat diskriminatif.
Mobil buangan Singapura yang dijadikan ajang sogokan pejabat daratan lewat nota dinas dengan membagikan jatah kuota dan diharuskan mencantumkan huruf NA dan AQ di ujung pelatnya begitu berseliweran di kota-kota di Aceh.
Tukak Sabang tidak hanya membuat koreng di infrastruktur dan kebijakan pelabuhan bebas dan perdagangan bebasnya, tapi ia juga menjalar menjadi penyakit akut di lingkungan otoritas birokrasi berupa tumpah tindihnya kewenangan antara walikota dengan pengelola free port.
Tumpang tindihnya sistem dan prosedur administrasi pemerintahan tentang siapa di antara para pemegang otoritas yang berwenang mengeksekusi berbagai keputusan, termasuk tata ruang, yang sering diplesetkan sebagai “tujuh kalinya zuhur dalam sehari.”
Plesetan untuk mengatakan tidak adanya keputusan final di satu tangan terhadap satu persoalan yang sama..
Untuk itu perlulah dicamkan, sejak awal, Sabang bukan hanya hill dengan jualan vrij haven, free port, kollen station ataupun pelabuhan bebasnya yang tak pernah laku sebagai jualan birokrasi di barat nusantara itu.[]
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”