Terkait Bahasa, Ini Sisi Lemah Wartawan Kita

Yarmen Dinamika

Catatan Yarmen Dinamika

PADA 6-7 Juni 2023, dilaksanakan Bimtek Jurnalistik oleh salah satu pemerintah kabupaten di Aceh. Saya dipercaya sebagai instruktur/narsumber untuk kegiatan dua hari tersbut. Ada sekitar 74 peserta yang hadir pada hari pertama dan kedua bimtek. Setelah dilakukan evaluasi terhadap enam karya tulis, ditemukan permasalahan ‘klasik’ berupa kesalahan penulisan, misalnya tidak bisa membedakan di sebagai awalan dengan di sebagai kata depan (preposisi). Semoga “temuan” tersebut bisa menjadi renungan bagi wartawan kita agar semakin profesional, termasuk dalam berbahasa.



Pada hari kedua dilakukan penugasan. Setiap peserta wajib menulis berita yang bahannya bersumber dari pernyataan bupati dan sekda. Pernyataan itu disampaikan dalam konferensi pers yang digelar di sela-sela berlangsungnya bimtek hari kedua.

Dari karya-karya jurnalistik yang masuk ke panitia, hanya enam yang sempat dievaluasi pada kesempatan pertama. Lima karya dievaluasi secara terbuka di hadapan para peserta menggunakan LCD proyektor (infocus), satu lagi dievaluasi tertutup di hp narasumber setelah bimtek berakhir.

TEMUAN:

Dari enam karya jurnalis yang dievaluasi ternyata:

  1. Semuanya tidak bisa membedakan di sebagai awalan dengan di sebagai kata depan (preposisi).

Kesalahan rata-rata mereka saat menulis kalimat: Hal itu dinyatakan bupati disela-sela Bimtek Jurnalistik. Kata disela-sela seharusnya dipisah (di sela-sela).

(Wartawan tipe ini tergolong tak teliti dan tak mau serius belajar tentang kata depan, kata sambung/hubung, dan prefiks).

  1. Tidak cermat/tidak teliti menyebut nama tempat acara. Ada yang menyebut bimtek itu berlangsung di Offroom Kantor Bupati; ada juga yang menulis Off-room; Opproom; dan ada yang menulis Opsroom dari yang seharusnya Operation Room atau Oproom.

(Wartawan tipe ini bahaya karena malas melakukan konfirmasi, sok tahu, dan minim sekali kemampuannya di bidang kata wantahan).

  1. Salah dalam penjudulan. Ada  naskah yang judul beritanya ditulis semua dengan huruf kapital, seperti tipe huruf khas radiogram  TNI dan Polri.

Ada juga judul berita yang diakhiri dengan tanda titik (.)

Ada juga berita yang judulnya tidak mengandung kabar apa pun. Misalnya, Sosialisasi Kabupaten Layak Anak dan Netralitas ASN di Aceh Singkil.

Judul seperti ini lazimnya ditulis di spanduk kegiatan, bukan khas judul berita yang mestinya bersifat mengabarkan atau memberi tahu pembaca.

(Wartawan tipe ini tergolong wartawan yang tak mendalami syarat-syarat ideal penjudulan berita, juga kurang mendalami PUEBI khususnya tentang pedoman penulisan judul karya tulis).

  1. Belum mahir mengutip pernyataan langsung narasumber ke dalam bahasa tulis. Kesalahan paling banyak terjadi pada penggunaan tanda baca koma dan tanda petik dua.

Untuk menandai berakhirnya kalimat kutipan, maka harus dicantumkan koma dulu baru tanda petik dua penutup. Namun, yang banyak terjadi justru tanda petik penutup diletakkan mendahului koma, baru nama orang yang mengujarkan atau mengucapkannya.

Contoh, “Aceh Singkil sebagai Kabupaten Layak Anak kita deklarasikan tahun ini juga”, kata Marthunis.

Ini cara mengutip yang salah. Seharusnya seperti ini, “Aceh Singkil sebagai Kabupaten Layak Anak kita deklarasikan tahun ini juga,” kata Marthunis.

Selain itu, dua dari enam naskah yang dievaluasi tidak tepat dalam penggunaan huruf kecil setelah tanda koma dan petik dua penutup. Mereka menulis dengan kapital huruf awal untuk kata Ujarnya; Katanya; atau Ucapnya.

Contoh,  “Aceh Singkil sebagai Kabupaten Layak Anak kita deklarasikan tahun ini juga,” Kata Marthunis. Padahal, seharusnya kata Marthunis, tanpa K kapital.

Temuan lainnya terkait teknik mengutip pernyataan narasumber ini ada dua dari enam naskah yang dievaluasi yang salah dalam penggunaan kata kita dan kami.

Kedua kata ini, jika diucapkan narasumber, wartawan tidak boleh menulisnya di dalam narasi berita di mana wartawan sebagai naratornya, kecuali kedua kata itu dimasukkan ke dalam kutipan langsung sang narasumber.

Bentuk yang salah: Kita tidak perlu studi banding ke Surabaya untuk melihat keberhasilan penerapan Kota Layak Anak di sana. Cukup kita isi saja check-list-nya untuk memastikan apakah persyaratan Aceh Singkil sebagai Kabupaten Layak Anak sudah terpenuhi atau belum.

Seharusnya, “Kita tidak perlu studi banding ke Surabaya untuk melihat keberhasilan penerapan Kota Layak Anak di sana. Cukup kita isi saja check-list-nya untuk memastikan apakah persyaratan Aceh Singkil sebagai Kabupaten Layak Anak sudah terpenuhi atau belum,” ujar Marthunis.

Bentuk yang juga salah: Kami terus berupaya menjaga netralitas ASN di Kabupaten Aceh Singkil pada pemilu mendatang dan menindak ASN mana pun yang melanggar.

Seharusnya, “Kami terus berupaya menjaga netralitas ASN di Kabupaten Aceh Singkil pada pemilu mendatang dan menindak ASN mana pun yang melanggar,” tegas Sekda Azmi.

(Wartawan tipe ini tergolong wartawan yang belum mahir menggunakan satu saja–bagian yang paling sederhana–di antara enam cara mengutip kalimat langsung secara benar dalam tata bahasa Indonesia. Dia tidak bisa membedakan bahwa kata kita di luar kutipan langsung, itu bermakna adalah dirinya sebagai wartawan dan pembaca. Padahal, konteks kita di dalam kalimat itu  adalah antara narasumber/sumber berita dengan si wartawan).

  1. Belum cakap membedakan antara singkatan dengan akronim. Dari enam karya yang dinilai, tiga menulis akronim Sekda Aceh, Bustami dengan SEKDA Aceh.

Sesungguhnya, Sekda itu adalah akronim dari Sekretaris Daerah. Jadi, hanya huruf S-nya saja yang kapital, tidak boleh kapital seluruhnya, kecuali untuk singkatan. Misalnya, TNI, ASN, SMA, dan USK.

Kesalahan penulisan akronim juga ditemukan pada kata PILKADA (yang seharusnya pilkada) atau PILEG (yang seharusnya pileg). Beda halnya dengan penulisan pemilu yang diikuti dengan tahun penyelenggaraan atau sebagai nama nomenklatur, maka P-nya harus ditulis kapital, misal Pemilu 2024 atau Pemilu Serentak 2024.

Ada juga satu wartawan yang langsung mencantumkan singkatan P3K dalam beritanya, tanpa terlebih dahulu menuliskan versi panjangnya, yakni pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja, baru disingkat P3K.

Pencantuman singkatan P3K tanpa versi panjangnya, dapat menimbulkan multitafsir, terutama bagi generasi awal, mengingat sebelum berlaku UU ASN, mereka hanya tahu bahwa P3K itu adalah singkatan dari pertolongan pertama pada kecelakaan.

(Wartawan tipe ini tergolong wartawan yang tak jeli atau memang tak pernah tahu bahwa akronim itu beda dengan singkatan. Ia juga tak paham prinsip penulisan singkatan dan akronim bahwa ditulis dulu versi panjangnya, baru dipendekkan jadi singkatan atau justru akronim).

  1. Satu dari enam karya yang dinilai hanya fokus pada penggambaran/deskripsi suasana bimtek, tanpa mengutip satu alinea pun apa yang diucapkan pejabat setempat. Tak terbaca tentang Kabupaten Layak Anak (KLA) dan pentingnya netralitas ASN dalam pemilu di dalam beritanya.

Sejak dari judul hingga ke tubuh berita, wartawan tersebut hanya menyatakan bahwa pejabat bersangkutan dihadirkan di tengah-tengah berlangsungnya Bimtek Jurnalistik.

(Wartawan tipe ini tergolong wartawan yang malas merekam, apalagi mencatat pernyataan penting dari narasumber. Ia lebih mengandalkan pandangan matanya daripada menggabungkan antara laporan pandangan mata dengan kemahiran mengutip pernyataan narasumber untuk disuguhkan kepada pembaca/publik. Bagi sebagian pembaca terkadang lebih penting apa yang dinyatakan pejabat daripada kehadiran sang pejabat dan apa warna baju yang dipakainya dalam sebuah konferensi pers).

  1. Tidak teliti dalam menulis nama narasumber. Dari enam karya yang dievaluasi, dua di antaranya salah menulis nama pejabat yang hadir padahal nama mereka—termasuk titel—terpampang nyata di spanduk kegiatan bimtek.

(Ini tipe wartawan yang cuek bebek pada detail nama orang. Suatu saat dia akan bermasalah jika berhadapan dengan narasumber temperamental yang marah, tersinggung, dan merasa tak dihargai oleh wartawan yang mewawancarainya, terbukti nama orang yang dia wawancaranya saja salah dia tulis).

  1. Dari enam naskah yang dievaluasi, dua jurnalis menyebut konferensi pers itu sebagai sosialisasi tentang KLA dan netralitas ASN dalam pemilu. Padahal, konferensi pers jelas beda dengan kegiatan sosialisasi.

(Wartawan tipe ini tergolong wartawan yang suka dengan kalimat majemuk bertingkat atau kalimat kompleks. Padahal, wartawan sangat dianjurkan menggunakan kalimat pendek, sederhana, dan menerapkan prinsip _one idea, one paragraph_).

  1. Satu dari enam naskah yang dievaluasi terjebak pada sampiran (pengantar) yang terlalu panjang. Substansi tentang adanya konferensi pers mengenai KLA dan netralitas ASN dalam pemilu, hal itu ia cantumkan justru di alinea ke-9 dari 16 alinea yang ia tulis. Dengan kata lain, baru pada alinea kesembilanlah pembaca bisa menemukan ada nama kepala daerah melakukan konferensi pers tentang KLA dan netralitas ASN dalam pemilu.

(Wartawan tipe ini tergolong wartawan yang menenggelamkan pembacanya dalam samudra kata-kata. Wartawan tipe ini disebut juga dengan tipe _octopus writing_. Pembaca bakal cepat bosan dan kehilangan fokus ketika dari alinea 1 hingga 8 tak menemukan inti dari kabar berita yang ingin disampaikan wartawan kepada pembacanya. Orang-orang sesibuk bupati pasti tak punya banyak waktu untuk membaca berita yang tak jelas 5W+1H-nya sampai ke alinea ke-9).

  1. Empat dari enam naskah yang dievaluasi, terlihat belum konsisten menerapkan prinsip satu paragraf hanya mengandung satu ide/gagasan.

(Wartawan tipe ini tergolong sulit _move on_ dari kebiasaan lama mencampuradukkan lebih dari satu gagasan dalam satu alinea).

  1. Satu dari enam naskah yang dievaluasi mengandung hal yang mengagetkan karena bersifat imajiner. Wartawannya menuliskan satu pernyataan yang justru tidak diucapkan narasumber.

Hal itu tercermin pada kalimat berikut: Menurut Yarmen, PNS tidak boleh menjadi wartawan.

Padahal, ketika ditanyakan seorang wartawan kepada Yarmen (saat konferensi pers berlangsung ia bertindak sebagai moderator, bukan tutor, dan bukan narasumber) ia tidak berkata seperti itu.

Yarmen hanya mengatakan bahwa wartawan itu adalah orang yang secara teratur menjalankan tugas jurnalistik. Kalau rangkap pekerjaan, bisa-bisa ada pekerjaannya yang terganggu atau terbengkalai. Maka, fokus kerja sebagai wartawan atau fokus kerja sebagai PNS, itu lebih baik. Namun perlu diingat, ada juga wartawan yang berstatus PNS, misalnya wartawan RRI, TVRI, dan LKBN Antara. Jadi, sebetulnya tak ada larangan bagi PNS jadi wartawan.

(Wartawan yang menulis sesuatu yang bertolak belakang dari apa yang diucapkan narasumber bisa berakibat fatal jika hal itu sudah tersiar dan menjadi konsumsi publik. Apalagi jika apa yang ia tulis itu menimbulkan akibat hukum. Wartawan seperti ini menjadi ancaman besar bagi kredibilitas dan profesionalisme kerja-kerja jurnalistik. Pada tahap tertentu bahkan dapat menghilangkan kepercayaan narasumber maupun pembaca terhadap apa yang ditulis oleh wartawan bersangkutan).

REKOMENDASI:

Untuk memperkecil, bahkan menihilkan berbagai kesalahan  atau kekurangan di atas, maka wartawan yang sudah ikut Bimtek Jurnalistik ini jangan cepat berpuas diri. Teruslah belajar dan tingkatkan keuletan dan ketelatenan sebagai jurnalis. Terutama dalam memahami dan menguasai ragam bahasa jurnalistik.

Setiap jurnalis juga harus mengunduh aplikasi KBBI Daring V di handphone-nya sehingga bisa dengan mudah dan cepat mengonfirmasi mana versi ejaan atau kata yang baku atau yang tidak baku.

Di KBBI juga tersedia banyak akronim dan singkatan. Jadi, bisa dijadikan sebagai pedoman dalam menuliskannya secara tepat di dalam produk jurnalis yang dihasilkan para wartawan.

Bila dalam tiga bulan ke depan tidak terlihat peningkatan kualitas dalam karya-karya yang dihasilkan oleh alumni Bimtek Jurnalistik ini, maka perlu dipertimbangkan untuk melaksanakan semacam diklat jurnalistik tingkat lanjutan atau tingkat mahir. Bobot materinya lebih banyak di bidang Implementasi Bahasa Indonesia ke Dalam Karya Jurnalistik. Misalnya, bagaimana menulis karya jurnalistik dengan menghindari salah ejaan, salah diksi, salah nalar, dan salah struktur.

Materi berikutnya yang dipandang penting dan mendesak adakah etika jurnalistik dan upaya menghindar dari delik pers (tulisan dalam surat kabar atau media lainnya yang melanggar undang-undang).

Sangat kita apresiasi program Pemerintah Aceh maupun Pemerintah Kabupaten/Kota di Aceh untuk memfasilitasi seluruh alumni Bimtek Jurnalistik ikut uji kompetensi wartawan (UKW), baik tingkat muda, madya maupun utama. Dari UKW itu nantinya akan lebih tergambar lagi siapa sebetulnya yang sudah mampu dan cakap sebagai jurnalis sesuai dengan jenjang UKW yang diikutinya. Bagi yang tidak lulus harus lebih memacu diri lagi agar terpenuhi syarat dan standar minimal dalam menggeluti profesi sebagai wartawan.[]