“Alih Fungsi Lahan Ancam Ketahanan Pangan, Ini Strategi Penyelamatan yang Dilakukan Aceh”

Kadis Pertanian dan Perkebunan Aceh, Ir Cut Huzaimah, MP melakukan panen padi di salah satu kawasan pertanian di Aceh dan berharap alih fungsi lahan secara tak terkendali bisa diantisipasi demi terjaminnya ketahanan pangan. (Dok Distanbun Aceh)

LAHAN sangat diperlukan sebagai tempat melaksanakan kegiatan manusia misalnya untuk pertanian dan perkebunan. Luas lahan tak pernah bertambah atau statis sementara manusia dengan berbagai macam kebutuhannya terus meningkat setiap tahun. Dalam kondisi seperti itu, banyak lahan beralih fungsi menjadi kawasan permukiman, perdagangan dan jasa, industri dan lain-lain. Syukur kalau alih fungsi lahan dilakukan secara bijaksana agar tetap terjaganya semua kepentingan, namun jika dilakukan secara asal-asalan dan tidak terkendali, akan sangat berbahaya. Karena, semakin luas lahan pertanian yang beralih fungsi, semakin riskan ketahanan pangan suatu daerah. Laporan khusus Portalnusa.com edisi ini akan meneropong kondisi ril lahan yang terus tergerus untuk berbagai kepentingan dan langkah yang dilakukan pemerintah—termasuk Pemerintah Aceh—dengan ‘senjata’ Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan atau yang dikenal dengan LP2B untuk menghambat laju alih fungsi lahan yang cenderung tak terkendali itu. “Kita akan terus melakukan berbagai langkah dan strategi untuk menyelamatkan lahan demi terjaminnya ketahanan pangan,” kata Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Aceh, Ir. Cut Huzaimah, MP didampingi Kabid Sarana dan Prasarana Pertanian (PSP) Distanbun Aceh, Ir. Nurlaila, MT menanggapi kondisi mengkhawatirkan terkait alih fungsi lahan.

Foto ilustrasi lahan pertanian terus tergerus oleh pertumbuhan permukiman, perumahan, dan bangunan lainnya. (Foto drone: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia)

Lahan pertanian pangan berkelanjutan atau yang sering disingkat LP2B merupakan bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional.



Lahan pertanian pangan berkelanjutan bertujuan untuk melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan, menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara berkelanjutan, mewuudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan, melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani, meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan masyarakat, meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani, meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak, mempertahankan kesimbangan ekologis, dan mewujudkan revitalisasi pertanian.

Lahan-lahan pertanian yang dapat diajukan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan seperti lahan beririgasi, lahan reklamasi rawa pasang surut dan nonpasang surut (lebak) dan lahan tidak beririgasi.

Lahan-lahan pertanian biasa, lahan-lahan non-pertanian, lahan telantar, dan lahan bekas kawasan hutan juga bisa diajukan atau dialihfungsikan sebagai LP2B.

Alih fungsi lahan pertanian menjadi permukiman tanpa pengawasan dapat berdampak negatif bagi manusia dan makhluk hidup lainnya.

Alih fungsi lahan atau konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula atau yang seperti direncanakan menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri.

Alih fungsi lahan merupakan salah satu konsekuensi dari perkembangan wilayah yang merespons pertambahan penduduk. Hal ini tampak dari alih fungsi lahan sawah menjadi lahan pemukiman perkotaan. Sebagian besar alih fungsi lahan tersebut menunjukkan ketimpangan penguasaan lahan yang didominasi pemilik izin mendirikan bangunan pemukiman, baik secara horizontal (real estate) atau vertikal (apartemen).

Payung Hukum

Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) selain menggunakan payung hukum Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 dan turunannya berupa PP Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi LP2B, PP Nomor 13 Tahun 2017 tentang RTRWN, Perpres Nomor 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024, Surat Kepala Biro Perencanaan Kementerian Pertanian No.B747/RC.240/A.I/3/2021 Tanggal 18 Maret 2021, Permentan Nomor 49 Tahun 2020 tentang Alokasi dan HET Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian TA 2021, Perpres Nomor 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN RI Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi, dan Penerbitan Persetujuan Substansi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten, Kota, dan Rencana Detail Tata Ruang, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN RI Nomor 14 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyusunan Basis Data dan Penyajian Peta RTRW Provinsi, Kabupaten/Kota serta RDTR Kabupaten/Kota.

Khusus di Provinsi Aceh, perlindungan LP2B diatur dengan Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2022 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan.

Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2022 yang terdiri 20 Bab dan 61 Pasal itu diteken oleh Gubernur Aceh, Nova Iriansyah pada 11 Januari 2022.

Kondisi Mengkhawatirkan

Inspektur Jenderal Kementerian Pertanian, Dr. Jan Samuel Maringka, S.H., M.H

Inspektur Jenderal Kementerian Pertanian, Dr. Jan Samuel Maringka, S.H., M.H dalam satu pernyataannya menandaskan, “alih fungsi lahan pertanian atau lahan baku sawah menjadi masalah yang harus diperhatikan di Indonesia. Indonesia memiliki pekerjaan rumah (PR) besar dalam menangani alih fungsi lahan pertanian ini.”

“Mungkin saja alih fungsi itu terjadi karena ada kebutuhan-kebutuhan ekonomi. Namun, sekali lagi keberpihakan kita terhadap kepentingan pangan harus diperhatikan,” kata Jan S Maringka dalam Rakor Pengawasan dan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian di Hotel Eastparc, Yogyakarta, Senin, 27 Februari 2023.

Ia menuturkan, perlu keterlibatan pemerintah pusat, pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan seluruh pemangku kepentingan terkait untuk berkomitmen bersama secara nasional dalam menangani masalah itu. Apalagi, luas lahan baku sawah di Indonesia mencapai 7,5 juta hektare.

Terjadinya alih fungsi lahan pertanian pangan karena pertambahan penduduk dan perkembangan ekonomi serta industri.

Alih fungsi lahan pertanian tidak hanya merugikan petani dan masyarakat pedesaan. Namun, hal tersebut juga dapat mengancam kemandirian ketahanan dan kedaulatan pangan.

Ia menyebutkan, pemerintah pusat telah berupaya mengatasi masalah alih fungsi lahan ini melalui Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).

Dalam Pasal 44 Ayat 1 dinyatakan bahwa lahan yang sudah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan. Meski sudah ada aturan ini, alih fungsi lahan pertanian masih terus terjadi.

“Kendati sudah ada sanksi pidana, kenyataannya masih terjadi alih fungsi lahan baku sawah. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya khusus pengawasan dan pengendalian terhadap alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian di setiap daerah,” katanya.

Data dari Kementerian Pertanian (Kementan) sebelumnya mengungkapkan, alih fungsi lahan pertanian mencapai kisaran 90 ribu hingga 100 ribu hektare per tahun. Konversi lahan pertanian itu menjadi salah satu ancaman terhadap sektor pertanian dalam meningkatkan produksi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Kepala Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian Kementan, Husnain menyebutkan, konversi lahan sudah sangat mengkhawatirkan. Jika tidak diatasi, masalah tersebut dapat menurunkan produksi pangan.

Ia tak menampik, salah satu konversi lahan sawah digunakan untuk mendukung pembangunan infrastruktur seperti jalan tol. Namun, hal itu merupakan program nasional sehingga lahan sawah harus dikompensasi ke daerah lain.

Saat ini, pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN tengah mempersiapkan lahan sawah utama yang tidak boleh dikonversi. Kementan juga berupaya melakukan intensifikasi lahan dengan meningkatkan produktivitas padi lewat bibit unggul.

Intensifikasi itu terutama dapat dilakukan di Jawa karena lahan yang sangat subur untuk berbagai komoditas pangan. Adapun langkah terakhir dengan berupaya menurunkan konsumsi beras per kapita.

Sawah Aceh Terus Menyusut

Di Provinsi Aceh total luas baku sawah yang menghampar dalam wilayah 23 kabupaten/kota pada tahun 2017 mencapai 294.483 hektare. Namun luas sawah di Aceh terus berkurang. Kondisi ini dikhawatirkan berimbas pada ketahanan pangan masyarakat.

Data dari Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh, sebagaimana pernah dikutip mongabay.co.id, selama 2017 hingga 2019 lahan sawah yang beralih fungsi mencapai 80.485 hektare atau tersisa luasannya menjadi  213.997 hektare.

Kabupaten Aceh Besar yang letaknya sangat dekat dengan Banda Aceh, ibu kota Provinsi Aceh, misalnya, luasan sawahnya semakin tergerus untuk permukiman baru, pertokoan, dan berbagai fasilitas publik lainnya.

“Saya sudah tidak punya lahan untuk menanam padi. Pemiliknya telah menjual sawah yang sebelumnya saya kelola dengan sistem bagi hasil,” ujar Agam Rahmat, warga Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar, Jumat, 11 Desember 2022.

Agam mengatakan, setelah dijual sawah tersebut dijadikan perumahan. “Ada juga sawah yang di sampingnya didirikan bangunan beton. Tetapi menjadi kolam karena airnya tidak mengalir,” ungkap Agam.

Basri, warga Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar lainnya mengatakan, setelah tsunami 26 Desember 2004, banyak masyarakat meninggalkan permukiman di pesisir.

“Kecamatan Ingin Jaya termasuk favorit, sehingga sawah-sawah dijual untuk dijadikan permukiman dan bangunaan.”

Data Dinas Pertanian Kabupaten Aceh Besar menunjukkan, sejak 2014 hingga 2019, luas areal persawahan yang berubah fungsi di wilayah ini mencapai 4.929 hektare.

Pada 2014, luas lahan baku sawah masyarakat di 23 kecamatannya sekitar 30.421 hektare dan turun menjadi 25.692 hektare pada 2019.

Kondisi yang sama terjadi di Kabupaten Pidie selama periode 2014-2019. Sebelumnya luas baku sawah di wilayah ini sekitar 29.799 hektare namun kini berkurang menjadi 24.787 hektare.

Sulaiman, petani di Kecamatan Grong-Grong, Kabupaten Pidie mengatakan, persoalan ini harus dicarikan solusi. Jangan hanya diserahkan kepada petani dan pemilik sawah.

“Pemilik sawah umumnya menjual untuk menutupi kebutuhan mendesak, seperti biaya berobat atau pendidikan. Meski begitu, manjaga sawah agar tidak berubah fungsi harus dilakukan juga,” paparnya.

Ketahanan Pangan Terancam

Rusmini R, Mahasiswa Magister Agribisnis Universitas Syiah Kuala, di Jurnal AGRIFO, Vol. 4, April 2019 menulis, perubahan luas lahan sawah ke non-pertanian seperti permukiman, fasilitas publik, dan perdagangan bisa berdampak bagi perkembangan ekonomi, sosial daerah, serta lingkungan. Namun, sangat sulit dihindari dampaknya untuk ketahanan pangan, terlebih bersifat permanen.

“Jika dibiarkan akan berpengaruh pada produksi beras yang merupakan kebutuhan pokok  masyarakat,” jelasnya.

Menurut Rusmini, di Kabupaten Aceh Besar, kecamatan dengan laju penyusutan terbesar adalah Krueng Barona Jaya, Darul Imarah, Ingin Jaya, Kuta Baro, dan Blang Bintang.

“Penyusutan luas di Kecamatan Kuta Baro karena adanya perpanjangan landasan bandara, sementara di Kecamatan Blang Bintang luasan sawah berkurang di sekitar Bandara Sultan Iskandar Muda, sebagai akses jalan,” tulis Rusmini di Jurnal AGRIFO.

Sementara di Ingin Jaya, Darul Imarah, dan Krueng Barona Jaya karena aktivitas pembangunan perumahan, perdagangan, dan fasilitas umum.

Penelitian juga dilakukan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala (USK), Rifchi Anggari, Zulfan, dan Husaini di Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah Volume 1, Oktober 2016.

Dalam jurnal tersebut dijelaskan, cukup banyak peraturan berkaitan pengendalian alih fungsi lahan pertanian termasuk peraturan pengendalian konversi lahan pertanian sawah beririgasi.

“Namun, peraturan itu belum mampu menahan laju konversi lahan sawah. Fenomena ini sudah lama terjadi dan terus berlanjut,” terang Rifchi dan kolega yang melakukan penelitian di Kecamatan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan.

Dampak langsung dari konversi lahan pertanian adalah berkurangnya luas areal tanam dan panen khususnya tanaman pangan seperti padi. Ini dikarenakan sebagian besar lahan yang dikonversi adalah sawah yang seharusnya menjadi tumpuan proses produksi pangan.

Konversi lahan juga sering berdampak buruk terhadap kawasan-kawasan tangkapan air dan kelestarian sumber daya air. Dampaknya, ketersediaan air khususnya untuk proses produksi tanaman pangan terganggu secara kuantitas maupun kualitas.

“Ketika kondisi seperti ini terus terjadi, maka keberlanjutan ketahanan pangan akan terancam,” jelas penelitian tersebut.

Upaya Perlindungan LP2B di Aceh

Kabid PSP Distanbun Aceh, Ir. Nurlaila, MT. (Dok Distanbun Aceh)

Pemerintah Aceh menyadari betapa riskannya persoalan lahan, baik secara nasional maupun provinsi. Berbagai fakta tentang penyusutan lahan membuat Pemerintah Aceh melalui Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) terus melakukan berbagai upaya agar kondisi memprihatinkan itu tidak terus berlanjut.

Kepala Dinas Pertnian dan Perkebunan Aceh, Ir. Cut Huzaiman, MP melalui Kabid Sarana dan Prasarana Pertanian (PSP) Distanbun Aceh, Ir. Nurlaila, MT menjelaskan, dalam melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan LP2B (Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan), Pemerintah Aceh telah mengeluarkan Qanun Nomor 2 Tahun 2022 tentang Perlindungan LP2B.

Sosialisasi tentang pentingnya perlindungan LP2B di beberapa kabupaten/kota di Aceh. (Dok Distanbun Aceh)

Pada tahun 2022 Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh dengan sumber dana APBN memfasilitasi penetapan lahan pertanian berkelanjutan dalam sebuah produk hukum di lima kabupaten.

Dalam pelaksanaa penetapan LP2B Provinsi/Kabupaten dibentuk Tim Pokja Provinsi/Kabupaten sebagai wadah koordinasi lintas sektoral dalam penetapan LP2B yang terdiri dari berbagai instansi antara lain Dinas Pertanian, dinas yang membidangi penataan ruang, Bappeda, Dinas Pengairan, BPN/Kantor Pertanahan, dan Badan Pusat Statistik.

Berikut beberapa info grafis terkait kondisi lahan Aceh termasuk upaya yang dilakukan agar LP2B bisa menjamin keberlanjutan ketahanan pangan: