Oleh Azwir Nazar*)
KEBANYAKAN dari kita, sadar atau tidak sadar berjuang untuk belajar, merantau dan memperbaiki nasib pergi ke kota. Menjauhi kampung. Sampai masuk kategori yang orang anggap ‘sukses’ atau berhasil.
Kemudian hidup dalam lingkungan yang lebih baik, well-inform society, dengan akses pelayanan publik yang baik, perlindungan hukum dengan mudah dan kehidupan sosial ekonomi yang mapan dan lebih teratur.
Memang merantau mencari ilmu suatu keutamaan. Tak mesti juga kita harus terus di kampung. Malah ada yang bilang, ya kalau di kampung terus seperti berenang dalam kolam yang kecil!
Namun bila kita lihat lebih dalam, banyak dari kita justru melupakan kampung halaman. Kalaupun pulang satu hingga dua kali setahun bila hari raya tiba. Plus bila ada sebagian yang bawa pulang zakatnya untuk dibagi di kampung. Di titik itu, kita merasa sudah luar biasa berbuat dan peduli kampung halaman.
Padahal ‘mungkin’ beras yang kita bagi, atau daging kurban itu beberapa hari saja atau bilangan bulan sudah habis. Dan tahun depan bila panjang umur mereka menunggu ketiban rezeki (lagi) dari kita. Begitu kira kira siklus perjalanan kita orang kota yang pulang kampung.
Bagi yang super sibuk tak dapat pulang tentu lebih tragis lagi. Hanya menelepon bila di kampungnya ada jaringan, dan sekadar ketawa ketiwi untuk nostalgia. Kita bertanya siapa yang meninggal atau anak siapa lahiran. Ya, mungkin ada yang begitu kadar iman kepedulian kita.
Namun kalau kita mau lebih jujur, sebenarnya kita justru meninggalkan dan banyak dari kita membiarkan orang-orang kampung yang kita cintai hidup dalam kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan secara terus menerus.
Saudara kita yang di kampung, terutama di pedalaman sedikit sekali atau bahkan jarang memperoleh edukasi yang memadai untuk kehidupan yang lebih baik. Jeratan ekonomi, beban hidup dan kebijakan pemerintah yang banyak tak berpihak rakyat kecil seolah ‘mengunci’ mereka untuk pasrah menerima dan menjalani nasib yang menyedihkan.
Sangat banyak kisah dan menjadi rahasia umum bahwa selama ini banyak dari mereka berjuang sendiri dalam kehampaan, terseok-seok menunggu mati di hutan hutan belantara yang penuh binatang buas.
Mulai kita baca ada yang diterkam harimau, diinjak kawanan gajah, dimakan buaya saat mencari rezeki untuk keluarga dan berbagai tragedi menyedihkan lainnya. Di mana pemerintah? Simpan dulu pertanyaan itu.
Susahnya mencari pekerjaan di kampung untuk memenuhi kebutuhan hidup memang seharusnya menampar nurani kita orang kota.
Mereka yang berjalan berkilo-kilo ke kebun pedalaman atau nelayan yang operasional melautnya lebih tinggi dari penghasilan, tukang jualan keliling, penjual ikan asin, pembelah kayu, pemungut sampah, pengepul pinang, penarik RBT atau kerjaan orang kecil lainnya adalah saudara kita.
Kebanyakan dari kita malah bersaudara dengan mereka atau mengenalnya. Mungkin pula hanya jadi cerita-cerita kita. Kisah-kisah nostalgia, tak berarti apa-apa bagi mereka.
Saudara kita yang di kampung-kampung tadi sama sekali tak mendapatkan edukasi yang memadai. Bila ada satu TV di kampungnya, siarannya pun lebih banyak gosip, sinetron perusak moral, korupsi anggota DPR, atau kasus kekerasan dan pemerkosaan. Banyak media juga bekerja by order pemodal yang melengkapi penderitaan masyarakat di kampung.
Sementara kelompok masyarakat ini tak memperoleh informasi berimbang tentang mana yang boleh atau yang tidak. Tentu yang ditontonnya terus menghunjam di pikirannya. Di sisi lain, mereka ini terus berusaha mencari sesuap nasi dengan mengarungi lautan dengan ombak besar, atau menerobos hutan mencari kayu. Kalau beruntung, alhamdulillah dapat makan dan minum. Bila alam lagi tak bersahabat, mungkin harus berutang.
Lalu kemudian, bagaimana kita yang katanya orang terdidik ini menyuruh mereka untuk mengelola emosi, menjauhi kekerasan, atau menjaga ritme berupa keseimbangan seperti kita yang di kota, dengan saldo bank yang cukup untuk 1 bulan atau setahun berikutnya.
Seperti teori para perancang keuangan yang saban hari kita bisa saksikan di Youtube atau seperti paparan para dosen kita yang berapi-api menjelaskan pada peserta didiknya.
Maka menurut saya, bila tiba-tiba kita dihebohkan dengan munculnya kasus- kasus kekerasan, penculikan, atau pemerkosaan yang mungkin tak masuk pikiran sehat kita, seharusnya banyak dari kita juga harus evaluasi.
Kasus yang terjadi di Aceh Timur, misalnya, yang menimpa bocah bernama Rangga (9) yang membela ibunya karena diperkosa, tapi justru Rangga, pahlawan cilik itu harus menerobos maut adalah sebuah kepiluan. Tragis. Sangat menghentak dada. Bila bila menimpa kita, sungguh sangat mengenaskan!
Tapi bagaimana itu bisa terjadi? Di tengah-tengah kita yang hidup di negeri syariat, tak adakah sedikit perlindungan negara dengan aparaturnya yang digaji tiap bulan. Ah, sudahlah. Jangan terlalu berharap pada negara kita yang sakit ini.
Tapi tak bijak juga bila semua kita timpakan kesalahan kepada mereka orang-orang di kampung. Kemana kita yang katanya kaum urban, berpendidikan, punya pandangan luas, punya penelitian yang masuk jurnal-jurnal hebat atau intelektual yang lari dari kampung halamannya?
Bukankah potret beberapa kasus yang muncul yang tak masuk logika pikiran sehat kita menjadi petanda adanya semacam ‘kegilaan’ atau ‘goncangan’ perilaku dalam masyarakat kita.
Dari mana ini muncul, dan dimana posisi kita orang kota, di tengah kehidupan sosial yang makin sulit dan amburadul ini. Tak tergerakkah hati kita untuk berbuat sesuatu bagi saudara kita di kampung?
Baik edukasi soal agama yang rahmatan lil’alamin yang menjaga darah dan kehormatan manusia lain.
Kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan yang melilit terang benderang di hadapan kita seharusnya membuka mata kita lebih sering lagi bahwa saudara-saudara kita terutama di kampung, maupun yang tinggal di pelosok bumi Aceh ini, yang sangat memiliki segala keterbatasan sangat membutuhkan kasih sayang kita.
Kepedulian kita bukan dengan melihat mereka dengan bayangan angka-angka yang menghasilkan nominal dengan berbagai metode dan objek riset di universitas.
Kita jangan hanya pintar mengecam atau mengutuk orang kampung. Tolong jangan hardik mereka! Mereka sepatutnya butuh kepedulian dengan kasih sayang sekarang ini mulai menjauh dalam kehidupan kita.
Semoga kasus-kasus kekerasan, pemerkosaan dan kekejian lainnya terus menjauh dari kehidupan kita yang telah memproklamirkan diri sebagai negeri syariat. Jangan mudah pula menghukum orang lain, karena boleh jadi, saya dan kita semua tidak benar-benar berperan, berbuat sesuai dengan kemampuan, profesi dan latar belakang kita untuk mewujudkan kehidupan yang penuh kasih sayang.
Wallahu a’lam.
- Penulis adalah Azwir Founder Cahaya Aceh, pernah tinggal di Turki