LIBURAN saya ke Garut di- “week end” kemarin surprise. Akhir pekan mengejutkan. Bukan karena impian saya terpenuhi setelah dua puluh sembilan tahun bisa kembali ke “swiss van java” itu.
“Swiss van java”-nya Garut seperti kata seorang penulis hebat m.a.w brouwer, orang holand: diciptakan ketika tuhan sedang tersenyum.
Garut yang di selangkang bumi pasundan itu memang pantas menyandang “swiss van java.” Tentu bukan hanya karena komen Brouwer.
Tapi kontur tanahnya berbukit-Bukit. Ada lembah “blang” dengan view papandayan dan gede. View Cibatu atau Karang Parwita, Ada bnyak ci…dan karang.. lainnya. Semuanya indah.
Papandayan sendiri mengingatkan saya ke lembah Seulawah dengan bukitnya Panca Kubu.
Lembah Seulawah dan Panca Kubu yang jembatan penyeberangannya soh karena “peng mirah” menjadi “umpeun” nagabonar.
Garut nyaris sempurna dari tempat saya menginap di hari surprise dan akhir pekan itu. Santika hotel di kaki bukit Desa Penanjung yang ada hamparan sawahnya di kawasan Tarogong Kaler.
Pangkal soal dari kejutan ini saya menerima sebutan sebagai: jurnalis pemulung.
Saya senangnya bukan main-main dengan sebutan itu. Rasanya ingin menebarnya ke-seisi donya. Tapi sayangnya sang teman pesan: cukup kita yang tahu.
Sebutan yang ia kirim lewat pesat whatsapp itu ditambah tatahan ilustrasi goresan dengan latar kata esai dan featured plus pena di bungkusan karung plastik bekas yang ujungnya robek bertuliskan: pemulung.
Di bawah ilustratsi gambar itu ada kata: rombengan.
Saya tertawa terbahak. Hahaha….ngakak. Tertawa ngakak karena pemulung itu lebih hebat dari pengumpul sampah. Tapi masih di bawah tukak loak.
Saya ingat seorang penulis hebat sepanjang republik ini yang menamakan dirinya jurnalis loak. Ia Mahbub Junaidi Ia menyebut dirinya sebagai penulis generalis.
Ini kutipan tulisannya: selaku penulis saya ini generalis, bukan spesialis. Saya menulis ihwal apa saja yang lewat di depan mata. Persis tukang loak yang menjual apa saja yang bisa dipikul”.
Posisi saya sebagai penulis pemulung tentu lebih rendah dari penulis tukang loak. Itu wajar. Level saya jauh sekali di bawah Mahbub.
Untuk itu pesan di akhir minggu itu saya amini. Kalau pesannya berbunyi jurnalis sampah saya pasti gak terima. Jurnalis sampah itukan Anda tahu. Saya juga tahu.
Jurnalisme sampah yang kini dikenal dengan sebutan “garbage journalis” bukan pemberitaan tentang sampah seperti pabrik sampah. Melainkan salah satu sisi gelap jurnalistik.
Jurnalisme sampah perlu saya kasih tahu adalah : “berita yang ditulis tanpa penelitian, investigasi, atau informasi yang memadai sebelum dipublikasikan.”
“Jurnalisme sampah bertujuan untuk mempromosikan lalu-lintas ke situs berita atau untuk mendapatkan perlindungan publik dengan mengarang paket kebohongan untuk pembaca berita.”
Junalisme sampah juga merujuk pada pemberitaan yang sepihak dan tidak menerapkan disiplin verifikasi.
Saya juga sering mengulang di banyak diskusi tentang jurnalisme sampah dalam versi lain. Pemberitaan yang sejatinya merupakan propaganda pro-rezim.
Kehadirannya untuk membunuh kaidah jurnalisme atau kode etik jurnalistik.
Lantas bagaimana jurnalisme yang baik? Jurnalisme profesonal menaati kode etik jurnalistik, juga menjalankan sembilan elemen jurnalis dan tak pernah mengabaikan integritas dan kompetensi.
Harus berpihak kepada fakta. Untuk itu secara insani penguasaan topik atau bidang liputan merupakan prasyarat.
Ketidakpahaman atas topik pemberitaan yang ditulisnya, akan mengarah pada jurnalisme sampah. Jika sebuah media menerapkan jurnalisme sampah, termasuk umpan klik, maka layaknya sampah.
Memang jurnalisme sampah yang berkembang saat ini adalah umpan klik yang menyembunyikan substansi berita di judul dengan harapan linknya diklik.
Kata-kata yang dIulang-ulang bisa “ini” dan “begini”. Kalau Anda gak percaya baca saja media online atau website yang jamurnya bak cendawan tumbuh di musim kebebasan surat izin cetak dan surat izin terbit.
Dan saya bahagia dengan jurnalisme pemulung. Yang seperti ditulis teman pengirim di aplikasi whatsapp itu.
Teman jurnalis. Teman yang dulunya… dulu sekali…sama-sama membangun karir dari lima w+satu h.
Anda kan tahu lima w+satu h? Pelajaran dasar wartawan untuk membuat kerangka berita. Tanpa dasar itu Anda tak pernah jadi jurnalis. Di era itu. Beda dengan era hari ini. Era digital. Yang bentar lagi era AI.
Era artificial intelegence. Kecerdasan buatan. Yang Anda tinggal minta keperangkatnya untuk apa saja. Termasuk untuk menuliskan sesuatu. Di era itu salin dan tempel akan menjadi kuno.
Lima w+satu h era sekarang gak diperlukan lagi. Anda kan bisa menulis apa saja. Sesuka hati. Tak peduli orang sakit hati. Medianya bernama medsos. Aplikasinya dan posisinya juga bisa pilih sendiri.
Bisa facebook, wahtsapp, instagram atau twitter. Posisinya juga bisa buzzer atau netizen. Terserah.
Anda sudah tahu buzzer. Atau Anda sendiri secara gak sadar sudah dalam posisi sebagai buzzer. Buzzer yang memiliki pengaruh tertentu untuk menyatakan suatu kepentingan.
Atau mereka yang bergerak dengan sendirinya memanfaatkan akun sosial media miliknya guna menyebarluaskan informasi. Mereka bisa mengkampanyekan, atau mendengungkan suatu topik.
Begitu juga dengan netizen. Yang akar katanya citizen dan internet yang artinya “warga internet”. Citizen of the ne. Kata tersebut menyebut seseorang yang aktif terlibat dalam komunitas maya.
Entahlah…. media mainstream juga berlaku sama. Hantam dan kromo untuk mengutuhkan diri dalam kata “hantam kromo”
Dulu ada wartawan undertable sekarang wartawan copypaste. Dulu ada wartawan bodrek sekarang wartawan+buzzer. Kalau membantu wartawan disebut kontributor juga koresponden.
Tapi yang berani komeni wartawan disebut ‘pemulung’.….. aduh…jadi ingat, anu.. saya mau beli meterai, untuk persiapan damai minta maaf, permisi… sabar…sabar..
Saya cespleng saja dengan sebutan pemulung. Pemulung kan independent. Memihak kepada fakta. Entah kebenaran sejati atau kebenaran baru.
Dan posisi saya kan layaknya melawan pemerintahnya sendiri. Pemerintah tidak selalu benar malah banyak salahnya dengan indikator kesejahteraan hidup tak kunjung dirasakan rakyat.
Sejak dulu saya tidak mau dijebak amplop. Kalau menulis gossip pun hanya ketika meliput selebriti dan selingkuhan.
Ada kalanya justru selebriti yang kasih umpan minta diekpose kasusnya. Ini namanya wartawan salon yang doyan amplop. Dan wartawan yang sampai saat ini bebas kontaminasi virus rupiah.
Untuk jadi wartawan memang tidak mudah. Butuh skill dan nyali. Skill bisa diasah. Sedang urusan nyali sulit diasah. Terutama di negri wakanda. Sangat berat utk bisa independen.
Bahkan fenomena hari ini banyak wartawanyang ngaku idealis rela melakukan gerakan sluman slumun slamet.
Lihat saja banyak teman yang ketika reformasi berdarah-darah hilang suaranya. Dulu dengungannya anti ka-ka-en. Sekarang malah punya praktek ka-ka-en. Anehnya semuanya tenang-tenang aja.
Kalaupun ada yang nulis hanya selintas. Lipstik saja. Udah enakan jadi direksi atau komisaris bumn. Ah.. nggak usah tunjuk jauh. Anak teman saja aja udah menterang di komisaris usai jadi direksi.
Untuk itulah saya skeptis terhadap informasi sekarang ini, saya tidak tertarik pada berita yang pakai judul bla-bla-bla faktanya; nyesel tidak tahu bla-bla-bla; fakta-fakta mengenai bla-bla-bla; dan seterusnya.
Termasuk terhadap mereka yang hendak menjelaskan secara tirik-tirik duduk perkara sebuah peristiwa, saya telah kehilangan minat.
Puluhan tahun kerja di institusi pers yang punya niat pikiran mulia bahwa berita hendaknya mampu menjelaskan duduk soal ini saya sering berpikir apa sebetulnya makna duduk perkara.
Apakah tanya sana-sini, mengutip semua pihak (bukan cuma satu-dua sumber), lalu itu dianggap menjelaskan duduk perkara sebuah peristiwa?
Menggelindingkan gosip tentang seseorang, lalu meminta orang bersangkutan menjelaskan tentang gosip atau desas-desus tersebut. Dalam bahasa media sebutannya konfirmasi.
Jangan-jangan tanpa peduli atau mendengar informasi pikiran orang malah akan kian jernih.
Dari waktu ke waktu informasi adalah komoditas yang hendak dikuasai satu pihak, entah itu pemilik kekuasaan atau pemilik modal, atau pemilik kedua-duanya sekaligus.
Begitu informasi di tangan mereka, terlebih dengan medium digital yang telah mengubah cara kerja cerebral cortex kita, jadilah kita seperti banteng aduan dalam pertunjukan matador.
Digoda agar seruduk sana sini sebelum sang matador menancapkan tombak ke tengkuk kita.
Sesungguhnya saya sudah kurang bersemangat lagi menulis artikel buat gaya-gayaan, sekadar hiburan ala-ala pensiunan saja.
Membaca judul-judul berita tersebut seolah-olah menyeret saya ke masa lalu, ketika “koran kuning” demikian mencuri perhatian pembaca, yang membuat jenis media ini laris manis di pasaran.
Dulu ada koran milik Harmoko,: “Pos Kota.” Mungkin Anda masih ingat rubrik “Nah, Ini Dia…” yang ditunggu-tunggu selain iklan baris mobil dan motor.
Membaca judul-judul berita yang penuh spekulasi berbumbu hoax tersebut saya merasa, bahwa melalui media online itu kini telah terjadi proses “kuningisasi media” yang dilakukan secara masif.
Tujuannya bukan semata-mata mengemukakan atau menceritakan fakta, tetapi spekulasi dan ilusi dengan efek kehebohan yang luar biasa di mata pembaca.
Kalau sudah begini, hilanglah beberapa fungsi media massa: memberi informasi yang akurat, mengedukasi pembaca, memberikan inspirasi, atau mempengaruhi pembaca menjadi lebih baik.
Jangan cuma memberikan hiburan semata. Benar, cuma hiburan, setidak-tidaknya bagi saya sendiri. Bagaimana saya bisa tertawa bahak-bahak membaca judul-judul berita yang “aneh bin ajaib” itu.
Kemudian tawa saya menjadi sempurna tanpa takut dosa manakala membaca atas “peristiwa” demo dan debat penjabat Anda bisa menambahkan sendiri judul-judul berita.
Dari judul-judul berita “koran kuning online” itu saya mengambil benang merah bumbu utamanya untuk menarik pembaca secara instan alias klikbait. Termasuk kebencian yang digemari pembaca.
Tentu tidak semua media massa mendadak “kuning” dan terjebak “kuningisasi koran online” hanya demi menangguk pembaca sebanyak-banyaknya dengan patuh terhadap “rezim programmatic” dan “google friendly”.
Ada sejumlah kecil media yang masih mempertahankan jurnalisme yang sesungguhnya meski sedikit demi sedikit sudah bermetamorfosa menjadi media online juga.
Jadilah media massa yang menjalankan jurnalisme yang baik dan benar di tengah tsunami “koran kuning online.” []
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”