HINGGA hari kedelapan usai seruan itu saya masih menunggu demo besar yang dijanjikan. Juga menunggu “blow up” media mainstream dengan judul bla..bla.. dan isi berita ha..ha..ha..
Ternyata, hingga “deadline” hari tunggu itu demo besar tak kunjung datang. Tak datang juga “blow up” media online dan mainstream dengan judul bla..bla dan isi berita yang ha..ha..ha..
Lantas saya ambil jalan pintas. Pagi ini saya menurunkan tulisan atas nama “pepesan kosong.” Pepesan kosong untuk men”charging” otak saya agar “hang”-nya terbang.
Kalau dulu, dulu sekali…semasa aktif sebagai karyawan pers, “deadline” itu batasan akhir sebuah berita yang bisa mengisi halaman surat kabar atau majalah.
“Deadline” itu biasanya tengah malam menjelang pagi. Khusus untuk berita utama di halaman satu. Yang kaplingnya tempatnya sudah ditentukan. Kolomnya dan isi berita dan fotonya sudah ditentukan.
Ada tambahannya, beritanya tidak bersambung ke halaman sekian…
Karena sudah “deadline,” pepesan kosong ini pun siap turun. Tak ada berita demo besar.
Di interval waktu menunggu demo besar itu ada demo-demo kecil dan… kecil sekali. Durasi demo-nya pun di ujung pekan. Semacam demo “week end”. Untuk mengisi hura-hura libur mingguan.
Penggerak dan peserta demo-nya tak perlu saya kasih tahu, sudah tahu sama tahu.
Kelompok kecil bauran mahasiswa dengan massa mengambang. Seruan demo-nya. Anda pasti sudah tahu atau diberitahu: batalkan surat keputusan perpanjangan masa jabatan penjabat gubernur.
Lainnya… saya gak tahu. Yang saya tahu gak ada dialog panas selain teriak-teriak para pendemo. Biasalah.
Lokasinya Anda juga tahu. Gedung pokir. Gedung tempat duit pokir disahkan atas nama rakyat.
Rakyat Anda dan Anda rakyat…
Saya mencatat, demo “week end” pekan lalu itu khas demo masa kini. Kalau pun ada khas demo masa lalu adalah: speaker di bahu dan mobil bak terbuka.
Sebenarnya saya rindu ada demo besar. Demo seperti dulu. Demo malari-malapetaka lima belas januari-khas Hariman Siregar. Atau demo reformasi para aktifis yang dikompori Amien Rais.
Ataupun demo ganyang Malaysia era Bung Karno. Bahkan saya rindu pula menikmati demo bubarkan pe-ka-i.
Demo besar dulunya adalah demo tumbang menumbangkan. Demo ganti menggantikan. Seperti demo reformasi fenomenal. Demo ganti Soeharto.
Demo yang melahirkan para tokoh demonstran yang kini ramai-ramai njemplak ke kursi komisaris atau direksi badan usaha milik negara.
Atau pun mendapat kapling hidup di seputar kekuasaan usai menjadi tim sukses dengan predikat buzzer. Ada di ka-es-pe atau jadi staf khusus dan lebih khusus lagi.
Ujung-ujungnya Anda tahu… cari makan…
Khusus demo dengan seruan batalkan surat keputusan perpanjangan masa jabatan penjabat gubernur itu saya tertawai dengan mulut tertekuk. Lebay…. Demo lebay…yang sebelumnya dikompori.
Anda tak perlu saya kasih tahu apa merek kompornya. “Itu-itu juga,” ujar seorang teman ketika saya menelepon di pagi tadi ketika putaran pertama jalan setapak flyover…..
Tukang kompor yang kemarinnya memindahkan seruan demo ke ranah polemik di sebuah media mainstream. Demo yang lebih demonstratif.
Saya tahu bagaimana memindahkan orasi demo ke polemik demonstratif. Memindahkan oral jalanan ke dalam kemasan kata-kata.
Gayanya bisa argumentatif dengan bau akademik. Ada analisa blash..blash..muatan lainnya yang saya gak ngah. Maklum .. saya kan jurnalis.
Sebagai orang jurnalis paling saya tahu demonstratif polemik model begini sama persis seperti difusi hoaks. Yang sekali hoax itu dibuat kita tidak tahu akan “kemana” hoax itu.
Saya sering memosisikan polemik itu sebagai debu hoax, Debu yang diserap oleh kumpulan orang bodoh atau sok tahu yang mendorong hoax itu ke sana-sini dengan men-share-nya.
Saya tak mau menuduh mereka bermaksud jahat. Tapi hasil akhirnya: hoax itu terdifusi kemana-mana. Tidak perlu intensi jahat untuk timbulnya korban.
Intensi itu tidak berarti apa-apa untuk korbannya, yang penting itu akibatnya. Maaf… saya tidak bermaksud menasehati siapa-siapa
Tapi orang-orang bodoh dan sok-tahu semacam itu, perlu mengetahui kalau mereka berpotensi menjadi motor penggerak hoax dengan menyebarkan sesuatu yg mereka sendiri tidak mengerti.
Jadi mereka tidak bisa lepas tangan hanya dengan mengatakan: “gue nggak tau, bukan gue yg buat”.
Karena itu kalau anda akan men-share sesuatu, think again !”. Apakah anda benar-benar mengerti tentang isi sesuatu itu ?
Bisakah anda menjamin kebenaran isinya ? Hanya karena sesuatu itu menarik bagi anda, nggak berarti kalau sesuatu itu benar.
Toh ke-soktahuan anda nggak membuat anda tampak pinter di mata orang lain, cuma membuat anda kelihatan tolol dan nganggur di mata orang yang memang mengerti.
Tentang polemic itu sendiri saya gak mau masuk dalam arusnya. Terlalu tajam. Kan ia merupakan perdebatan mengenai suatu masalah yang dikemukakan secara terbuka dalam media.
Perdebatan sengit di media massa tentu berbentuk tulisan. Digunakan untuk menyangkal atau mendukung suatu pandangan.
Sebagai puak marjinal yang tidak punya stempel akademisi atau politisi saya selalu menjauh dari polemik.
Saya membaca sepintas argumen mereka yang berpolemik. Tiga banding satu. Isinya ide, gagasan, sudut pandang, atau tanggapan
Argumentasi disertai dengan bukti dan analisis. Permasalahan yang dibahas, dianalisis secara kritis dan logis. Disertai dengan kesimpulan.
Memberikan pendapat yang objektif, dan hindari pendapat yang bersifat subjektif. Pendapat subjektif biasanya mengedepankan emosional.
Berbeda dengan pendapat objektif yang sangat berlandaskan pada kemampuan berpikir dan logika.
Menurut Wusu Hendrikus, debat merupakan adu argumentasi antara individu atau kelompok dengan tujuan mencapai sebuah kemenangan satu pihak
Sebagai netizen atau warga internet, Anda sering menemukan adanya hate speech atau ujaran kebencian
Makanya kata persepsi adalah cara. Persepsi itu kan bagaimana sebuah penafsiran untuk memahami sesuatu.
Sedangkan asumsi adalah fakta atau pernyataan yang dianggap benar, tanpa bukti. Base: Persepsi didasarkan pada indera atau intuisi.
Dari persepsi inilah dibingkai sebuah peristiwa, atau dengan kata lain pembingkaian digunakan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan.
Bagi saya sebagai wartawan masalah ini gak asing. Terutama dalam menyeleksi isu dan menulis berita. Menyeleksi untuk menghadirkkan konteksnya.
Definisi kontekstual menjadi makna tambahan dari arti literal suatu kata itu sendiri karena adanya kesan yang timbul dari suatu situasi
Maaf agak ruwet konteksnya. Menjauh dari frame awal tentang demo besar yang gak pernah jadi.Demo yang padam disiram kegiatan sang penjabat yang perpanjangan jabatannya sudah final.
Padam di acara peringatan hari jadi imt-gt, pelantikan penjabat bupati plus walikota. Juga kegiatan perpanjangan kontrak panas bumi seulawah agam.
Yang saya sendiri lebih gairah untuk menuliskan tentang panas bumi ini. Bukan panas hati.. Hahaha…[]
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman.”