SAYA tak tahu darimana ia membaca tulisan tentang oyster eropa. Tak tahu juga dari siapa ia mendapatkan nomor handphone saya ketika pagi tadi ia ber halo..halo..
Melanjutkan halo!!…halo!!!…agar saya gak mengklik kata tolak dengan jemari …
Saya berdamai ketika ada kata pujian dilanjutan halonya. Memuji tulisan saya bagus lantas lanjut bla..bla..bla..
Anda kan tahu kalau ada kata pujian ditambah bla..bla…lainnya bisa memblas kata mbong. Kalau di kampung saya kebiasaan mabuk pujian ini cukup diungkapkan dengan satu kata: “bogok”.
Cilakanya lagi, di usia saya ini sering dituding dengan “bogok tuo” Anda artikulasikan sendirilah tentang “bogok tuo “ini.
Tentang tulisan oyster eropa ini saya tahu tulisannya di “up” oleh sebuah portal berita. “portalnusa.” Sebuah media online mainstream yang memberi “space” bagi saya untuk menulis yang kecil dan ringan.
Space ini secara harfiah berarti ruang. Yang di lingkungan media, terutama surat kabar itu berarti kolom. Kolom yang luasnya bisa satu dua tiga dan paling enam.
Maaf bila saya sering mengutip kata asing. Sudah terbiasa dengan sinonim dan kosokbali. Persamaan dan kebalikan. Yang pelajaran bahasa Indonesia era makan batu. Bukan era makan rupiah.
Ruang atau space itu sendiri berasal dari bahasa latin. Spatium. Ruang kualitas tiga dimensi. Karena tulisan saya itu memiliki kualitas dalam tiga dimensi lantas menjadi bacaan si penelepon. Hahah.. bogok.
Space itu itu sendiri bernama “Kolom Bang Darman.” Ada foto saya di sana yang dipujinya gagah bak Barack Obama. “Ah.. lebay,” gumam saya. Mengolok-olok agar ada kesan akrabnya.
Jargonnya kolom saya itu: ringan berisi. Tapi isiannya sampah di tangan pemulung. Gak ada seriusnya. Topiknya pun diambil dari tumpukan sampah yang lantas saya pilah-pilah.
Sampah basah dan sampah kering. Organik dan nonorganik. Masing-masing jenisnya juga dipilah lagi. Yang kering macam kotak dan plastik, seperti botol mineral ditempatkan dalam karung berbeda.
Saya biasanya memilah sampah kering. Karton dan plastik. Ada harga jualnya untuk didaur ulang. Sampah jenis inilah yang identik dengan tulisan di “Kolom Bang Darman.”
Anda bisa baca sendiri kalau gak percaya apa materi kolom itu. Daur ulang kan?
Udah aja gak usah nyelekit. Begitu denting alarm otak saya. Saya tahu kalau lanjut akan nyenggol sana nyenggol sini. Sikut sana sikut sini.
Akhirnya bisa nyangkut ke sasaran tembak tentang tulisan lain….yang Anda tahu.
Kembali ke bla..bla.. pagi tadi. Usai puji dan dan entahlah apa bla lainnya si penelepon menyebut jati dirinya. Seorang pejabat yang mengurusi ekspor impor. Rajin mencerna komoditi tradisonil.
Membagi bacaannya ke banyak komunitas. Pedagang, petani maupun nelayan. “Ke siapa saja yang butuh informasi,” katanya.
“Informasi bapak di oyster eropa juga saya bagikan,” katanya menyebut saya dengan panggilan “bapak.” Saya pun sepertinya tahu alasannya memanggil saya bapak. Tahu saya sudah “old crack.” Pemain tua.
Pemain jurnalis tua. Yang tak bosan-bosannya saya ulang sebagai “the old journalist.” Mengulang-ulang sebagai penyakit nyinyir.
Penyakit nyinyir yang biasanya disematkan pada orang yang cerewet, banyak mulut, dan gemar bergosip.
Jika diamati, nyinyir kira-kira dapat diartikan sebagai sifat seseorang yang gemar memberikan komentar negatif yang didasari rasa iri kepada berbagai hal yang dialami atau dimiliki orang lain.
Saya gak tersinggung pun diberi label nyinyir. Itu kan bagian dari kerjaan jurnalis. Kalau Anda tak mau disebut nyinyir campakkan saja kartu pers-nya ke keranjang sampah.
Menurut si pejabat kampung saya memiliki banyak potensi ekspor yang dapat dikembangkan untuk dipasarkan ke luar negeri.
Ia menyebut oyster atau tiram mentah yang memiliki kualitas setara dengan yang dihasilkan di Eropa.
“Saya sendiri tak menyangka tiram dari Banda Aceh dan Aceh Jaya itu setara kualitasnya dengan oyster yang dihasilkan di Eropa,” katanya berulang-ulang. Khas pejabat.
Potensi tiram itu tinggal dikelola dengan baik dan dihubungkan dengan pembeli di luar negeri. Is sendiri sedang berupaya mencari hub supaya muncul hubungan bisnis sehingga tiram Aceh dapat dipasarkan di luar negeri.
Ia mengaku sudah mencoba tiram Aceh dengan rasa dan kualitas seperti di Eropa. Saya tak tahu dimana ia mencobanya. Kalau saya kan udah di tulisan kemarin. Gratis lagi.
Apa dia juga mencobanya dengan jalan gratis? Saya gak tanya. Wilayah pribadi. Takut bla..bla.. tergagap putus sambung sehingga informasinya bergelemak peak.
Potensi terbesar tiram ini ada di Aceh Jaya. Selain tiram atau oyser Aceh jaya memiliki baby octopus. Gurita. Bukan raksasa tapi baby gurita.
Saya tahu kala musim panen, nelayan di sana dapat membawa pulang banyak si gurita sebanyak. Bisa seratus hingga seratus lima puluh kilogram per sampan per sekali melaut.
Cerita si pejabat saya dengerin aja. Padahal kalau soal gurita menggurita itu pelajaran kanak-kanak saya. Dulu di kampung “ketelatan.”
Tentang potensi oyster dan baby octopus ini saya cuma tersenyum. Tersenyum karena mainsheet awak geutanyo potensi manajemen yang kurang bagus.
Sering tak sesuai standar yang diminta oleh para pengguna di luar negeri. Maklum saja ingin cepat jadi toke bangku.
Untuk mencari tahu tentang potensi ekspornya dikaitkan dengan harga pasar oyster itu sendiri saya mendapat informasi valid dari seorang teman.
Harga impor per kilogramnya ke Amerika Serikat pernah bertengger di angka lima ratus dollar. “Itu di tujuh tahun lalu om,” katanya.
Ia juga mengatakan, angka ekspornya fluktuatif. Naik turun. Naik terjal turunnya mehambo. Selama dua tahun terakhir relative stabil. Berada di posisi enam puluh dollar
Sebagai jurnalis tentu saya tak ingin tulisan ini dicukup sekian. Anda bisa menuding saya penulis abal-abal. Penyebabnya tak ada penjelasan tentang “rumah” tiram itu sendiri berikut jenisnya.
Dari literasi yang saya baca oyster atau tirom termasuk jenis remis. Berkembang biak lewat aktivitas seks lewat sperma individu yang ditembakkan ke air dari penis mereka.
Kemudian individu lain menangkap sperma itu untuk pembuahan sel telur. Kerang berkembang biak secara kawin. Umumnya tiram itu berumah dua dan pembuahannya internal.
Telur yang dibuahi sperma akan berkembang manjadi larva glosidium yang terlintang oleh dua buah katup.
Ada beberapa jenis yang dari katupnya keluar larva panjang dan hidup sebagai parasit pada hewan lain, misalnya pada ikan.
Sebagai jenis kerang berkembang biak dengan cara bertelur. Seekor kerang bisa mengeluarkan ribuan telur dalam sekali bertelur.
Namun sayang, ribuan telur itu tidak semuanya bisa menetas. Beberapa telur ada yang hilang karena dimakan oleh para ikan
Cara hidup kerang secara umum menempel dan bergerombol pada dasar substrat yang keras, yaitu batu karang, kayu, bambu atau lumpur keras dengan bantuan bysus.
Seperti jenis kerang hijau tergolong dalam organisme hewan sesil yang hidup bergantung pada ketersediaan zooplankton, fitoplankton dan material yang kaya akan kandungan organik.
Saya mendatangi seorang ahli kerang di muara angke. Bertanya tentang pembentukan cangkang kerrang. Menurutnya, cangkang moluska terbuat dari kisi berbagai mineral dan molekul organik.
Tulang mamalia juga tersusun dari matriks mineral kalsium dengan protein kolagen. Tapi, cangkang moluska berbeda dari tulang dalam jenis mineralnya dan proporsi mineral di cangkangnya
Cangkang itu sembilan puluh lima persennya berasa; dari kalsium karbonat, yaitu sebagai kalsit dan aragonite.
Merupakan bentuk biomineral yang tersusun dari kalsium karbonat dan sejumlah kecil protein matriks organik.
Cangkang ini terdiri atas tiga lapisan.
Ada periostrakum sebagai lapisan terluar berasal dari kitin yang berfungsi sebagai pelindung ditambah prismatik yang tersusun dari kristal-kristal kapur yang berbentuk prisma,
Sedangkan lapisan nakreas atau sering disebut lapisan induk mutiara, tersusun dari lapisan kalsit yang.
Tiram yang saya kenal adalah sejenis kerang yang biasa dimakan oleh warga asia timur dan asia tenggara ini disebut kerang darah karena ia menghasilkan hemoglobin dalam cairan merah.
Kerang ini menghuni kawasan indo pasifik dan tersebar dari pantai afrika timur sampai polenesia.
Hewan ini gemar memendam dirinya ke dalam pasir atau lumpur dan tinggal di mintakat pasang surut. Dewasanya berukuran panjang lima sampai enam centimeter dan empat hingga lima senti meter lebar.
Budidaya kerang darah sudah dilakukan dan ia memiliki nilai ekonomi yang baik.
Meskipun biasanya direbus atau dikukus, kerang ini dapat pula digoreng atau dijadikan satai dan makanan kering ringan. Ada pula yang memakannya mentah.
Seperti kerang pada umumnya, kerang darah merupakan jenis bivalvia yang hidup pada dasar perairan dan mempunyai ciri khas yaitu ditutupi oleh dua keping cangkang
Cangkang ini dapat dibuka dan ditutup karena ada persendian berupa engsel elastis yang merupakan penghubung kedua valve tersebut.
Kerang darah mempunyai dua buah cangkang yang dapat membuka dan menutup dengan menggunakan otot aduktor dalam tubuhnya.
Cangkang pada bagian dorsal tebal dan bagian ventral tipis. Cangkang ini terdiri tiga lapisan
Periostrakum adalah lapisan terluar dari kitin yang berfungsi sebagai pelindung Lapisan prismatik tersusun dari kristal-kristal kapur yang berbentuk prisma,
Plua lapisan nakreas atau sering disebut lapisan induk mutiara, tersusun dari lapisan kalsit yang tipis dan paralel.
Puncak cangkang disebut umbo dan merupakan bagian cangkang yang paling tua. Garis-garis melingkar sekitar umbo menunjukan pertumbuhan cangkang.
Mantel pada pelecypoda berbentuk jaringan yang tipis dan lebar, menutup seluruh tubuh dan terletak di bawah cangkang. Beberapa kerang ada yang memiliki banyak mata pada tepi mantelnya.
Banyak di antaranya mempunyai banyak insang. Umumnya memiliki kelamin yang terpisah, tetapi di antaranya ada yang hermafrodit dan dapat berubah kelamin.
Kakinya berbentuk seperti kapak pipih yang dapat dijulurkan keluar. Kaki kerang berfungsi untuk merayap dan menggali lumpur atau pasir. Kerang bernapas dengan dua buah insang dan bagian mantel.
Insang ini berbentuk lembaran-lembaran yang banyak mengandung batang insang. Antara tubuh dan mantel terdapat rongga mantel yang merupakan jalan keluar masuknya air.
Terlalu ilmiah ya… Bukan hanya Anda saya juga risih menulisnya…
Risih .. takut di-cutting terlalu tinggi kupasannya. Padahal kemarin saya dapat kiriman pesan di whatsapp: nyan ka lumayan bang…[]
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”