“Guru Sejarah”

SAYA masih ingat tanggal. Juga ingat bulan dan tahunnya. Empat belas Maret tahun dua ribu enam. Cuma harinya saya yang masih ragu. Apakah Selasa…

Tolong beritahu kalau ada diantara Anda yang mengingatnya, Tujuh belas tahun silam….

Hari itu dua “guru sejarah” memberi kuliah di depan dua puluh empat murid. Di sebuah ruangan gedung bundar. Jalan Gatot Subroto.

Anda gak usah saya beri tahu gedung beratap batok tempurung kura-kura itu. Sudah tahu kok ngapain bertanya.

Gedung yang dulu tetanggaan dengan taman ria tempat manggungnya lawakan srimulat.

Gak juga kasih tahu siapa muridnya. baca saja tulisan ini untuk jadi petunjuknya…

Saya sengaja menyertakan tanda dua petik untuk mengapit dua kata: “guru sejarah” di paragraph  ketiga  ditulisan awal ini. “Guru sejarah” yang memberi kuliah itu.

Tanda dua petik itu mempunyai fungsi sekaligus sebagai makna ungkapan arti khusus. Ini untuk menegaskan bahwa tanda dua petik itu  bukan sebagai kalimat langsung. Seperti ucapan seseorang yang menjadi kutipan.

Keduanya mereka memang guru sebenarnya. Bukan benaran guru sejarah dalam kurikulum resmi dulu sekali.

Yang Anda mungkin gak tahu ada mata pelajaran sejarah di kurikulum era sekali merdeka tetap…

Soalnya kurikulum sekarang gak memuat mata pelajaran itu lagi.

Keduanya secara literasi sekarang disebut dosen. Pengajar. Gelar resminya guru besar, mantan dekan, pembantu rektor dan rektor.

Paling update di hari itu keduanya adalah mantan gubernur.

Mantan gubernur dengan latar belakang akademis ilmu ekonomi.

Satunya ekonomi pembangunan lainnya moneter. Dua-dua juga menyandang status strata tiga. Doktor. Satunya di amerika satunya lagi di belgia.

Kapasitas mereka ke gedung bundar hari itu bukan untuk sebuah kuliah sejarah, Tapi untuk membekali penyusunan materi  bagi panitia khusus rancangan undang-undang.

Keduanya memang pantas itu mendapat undangan dalam kapasitasnya akademis dengan pengalaman birokrat, birokrat yang berkecimpung di perencanaan pembangunan.

Keduanya diundang oleh panitia khusus rancangan undang-undang otonomi khusus, Otonomi yang kemudian menjadi bagian dari eksistensi pemeritahan di daerah. Aceh.

Sejak lima belas tahun terakhir sebagai implementasi jalan damai,

Saya mengenang kuliah sejarah itu.. eee… bukan… hanya kuliah oleh “guru sejarah” otonomi khusus.

Kuliah untuk dua puluh murid yang salah satunya ketemuan beberapa hari lalu.

Ketemuannya di sebuah keude kupi. Kawasan Tebet. Jakarta Selayan. Keude kupi yang nuansa aceh-nya sangat kelat.

Merek warungnya pakai kata asing: connection tambah di depannya the atjeh. Ejaan lama. Logonya gambar seorang ulee balang berkopiah meukeutop sedang mengangkat gelas kopi. Tambahan lain ada bahasa “kaphee”nya: ” taste  of atjeh.”

Sang teman habanya masih  berdetak dengan eleganitas sapaan “ kah..lon.. peu” hingga “peutak…”

Untung saja di hari itu sapaan “peutak”nya gak disertai dengan kata “ideh”…. Kalau kedua dijadikan sebagai kosakata “peutak ideh” lalat pun gak berani hinggap di mejanya.

Seperti di hari kami ketemu ternyata lalat pada menghindar. Kami  hanya bicara ringan. Mengenang  dua “guru sejarah” itu  Yang telah “berpulang”.

Telah berpulang juga ketua kelas sejarahnya.

Dua “guru sejarah” itu Prof. Ibrahim Hasan dan Prof Syamsuddin Mahmud. Ekonom yang juga mantan gubernur di kesempatan tujuh belas tahun lalu itu.

Kami mengulang kisah keduanya ketika menguliahi panitia khusus soal sejarah kekhususan “nanggroe”.

Empat bulan sebelum undang-undang itu disahkan satu agustus tahun dua ribu enam.

Undang-undang tentang pemerintahan aceh. Yang mengatur pemerintahan provinsi hasil kesepakatan damai MoU Helsinki.

Undang-undang yang satuan-satuannya  bersifat khusus atau istimewa.

Aceh mendapatkan otonomi penuh, termasuk memiliki struktur pemerintahan dan anggaran sendiri. Yang secara kasat bisa diungkapkan sebagai  “negara bagian”.

Lainnya, saya gak baca apakah juga mengatur bendera dan lagu kebangsaan sendiri. Ini saya gak tahu. Gak pernah terbaca..Yang saya baca boleh memiliki jabatan “wali nanggroe” sebagai kepala adat.

Jakarta hanya mengatur enam masalah: pertahanan, moneter, hubungan luar negeri, fiskal, kehakiman, pertahanan dan praktek beragama.

Saya tak tahu apa arti semua ini. Apa menjadi “negara bagian”. Negara bagian macam di semenanjung. Atau pun seperti di luar sana dengan nama keren federal.. Anda mungkin paling tahu.. silakan…

Tulisan ini saya tulis hanya sebagai lintasan ketika banyak entitas menghendaki undang-undang otonomi khusus direvisi. Yang banyak di antara entitas dan kelompok itu tergagap bagaimana jalan pintas menuju revisinya.

Dulu jalannya lempang. Kelempangan itu menyebabkan muatannya terlalu sarat. Kepenuhan. Sebab draft yang ditumpangkan datang dari mana-mana. Bisa datang dari kampus, akademisi, petualang aktifis atau dari keude kopi.

Saya pernah mendengar ada organisasi nirlaba yang membahasnya di sebuah garasi mobil ngotot untuk mendapat tempat di muatan gerobak draft undang-undang itu.

Saya tahu juga ada dana khusus yang harus mereka bayar sebagai upah.

Upah pungut. Ya.. era itu. Era yang tak mungkin terulang di revisi kali ini.

Gak mungkin juga terulang euphoria itu karena gak ada label pascaperang yang menyertainya. Kecuali ada yang punya niat untuk berperang lagi. Saya gak punya jawaban…

Yang bisa menjawab itu adalah  Anda…Anda. Mungkin juga para akademisi atau kelompok pokir atau juga toke bangku. Saya gak masuk barisan….

Saya hanya bisa membaca di banyak media yang mengutip haba toke bangku, cut bang pokir atau profesor bangku panjang yang telah menyiapkan usulan draft revisi.

Saya tak percaya draft itu bisa dibahas tuntas. Para politisinya kini sibuk menagih janji hasil uang pokir untuk dipilih kembali.

Untuk itulah saya hanya ingin mengenang “dua guru sejarah itu” yang sudah mengikhlaskan baktinya untuk negeri. Dari dua guru sejarah itu saya ingin menulis salah satunya lewat kekocakannya.

Banyak orang memanggilnya Pak Syam. nama lengkapnya Syamsuddin Mahmud.

Pak Syam ini memang bergaya guru tulen. Karena ia pernah jadi guru di beberapa lembaga pendidikan di Jakarta.

Kala itu mahasiswa di strata sarjana muda memang diharuskan untuk bakti guru. Saya mengenang di kampung saya ada Pak Herman, Tidak hanya guru, para mahasiswa di strata tertentu diharuskan pula jadi wamil. Wajib militer.

Dengan Pak Syam yang guru itu daya kenal dari dekat. Sewaktu kuliah saya sering tentern ke rumahnya. Sebab adik istrinya, Ibu Mariana, adalah teman kuliah. Namanya Herawati.

Jadi saya sering ketemuan sekalian ngalor ngidul. Sering diplonco tanya sana sini.

Sang guru ini joke-nya memang berjibun. Bahkan ketika dia bicara sejarah “kekhususan” Aceh gayanya tetap kocak. Kekocakan gaya sesuai dengan bagaimana dia memandang dirinya sendiri.

Kalau Anda gak percaya baca saja biografinya:  “Biografi Seorang Guru di Aceh.”

Kalau saya gak perlu membaca. Cukup melihat dan mendengarkan ocehannya. Dulu. Juga ocehan dari penulis bukunya. Sugiono M.P.

Sugiono yang teman jurnalis.

Bahkan sayalah yang menemani Sugiono yang wartawan majalah wanita “kartini” itu setiap ke Aceh untuk kongkow-kongkow dengan Pak Syam.

Ya… maaf keluar rel.. sedikit ngawur…

Padahal saya telah janjian hanya ingin mencatat kuliah Pak Syam di Senayan kala itu. Kuliah  yang dimulai  dari perjanjian  yang memberi Aceh  otonomi penuh.Termasuk memiliki struktur pemerintahan dan anggaran sendiri.

Yang saya gak tahu apakah juga kekhususan mengatur bendera dan lagu kebangsaan sendiri. Gak pernah terbaca..Yang saya baca boleh memiliki jabatan “wali nanggroe” sebagai kepala adat.

Indonesia hanya mengatur enam masalah: pertahanan, moneter, hubungan luar negeri, fiskal, kehakiman, pertahanan dan praktek beragama.

Artinya, Aceh bisa disebut sebagai  “negara bagian”. Negara bagian tanda dua petik yang gak terlalu istimewa kalau mengikuti alur sejarahnya. Sejarah panjang. Yang kalau diuraikan bisa berpanjang-panjang…

Kalau pendeknya Aceh tak pernah berkhianat  terhadap proyek kebangsaan “indonesia.” Buktinya bergudang-gudang.

“Jadi, tidak ada maksud untuk memisahkan diri dengan republik,” tutur Syamsuddin.

Indonesia, menurut bukti sejarahnya,  sebuah “nama samaran” negara jawa. Dalam sejarah kemanusiaan, tak ada etnik bernama “indonesia.” Struktur birokrasinya dari dulu hingga sekarang, mungkin, sangat sentralistis dan feodalistis.

Tentang ketimpangan pendapatan antara jawa dan daerah-daerah lain bisa dibuktikan lewat pengurasan semua  sumber kekayaan sumber daya daerah-daerah.

Ini menimbulkan reaksi. Masing-masing daerah reaksinya beragam. Aceh adalah bangsa yang berani melawan pengurasan kekayaan itu.

Apabila Aceh diberikan keistimewaan, apakah daerah lain akan cemburu?

Jawabannya tidak. Keistimewaan Aceh sudah ada sejak dulu dan tak ada satu daerah pun yang mengungkapkan kecemburuannya.

Pak Syam bilang dia pernah bekerja di badan perencanaan pembangunan daerah. Banyak tahu banyak soal pendapatan daerah.

Dia yakin masyarakat Aceh tak pernah cemburu dengan daerah tapanuli atau manado dimana penghasilan pajak anjingnya tinggi.

“Aceh nggak pernah cemburu tapanuli yang banyak anjing. Manado juga. Tidak perlu cemburu,” selorohnya.

Selain itu pajak kendaraan. Pajak ini asli pendapatan daerah. Tapi yang menikmati pajak kendaraan adalah siapa? Anda gak perlu dikasih tahu. Sudah tahu….

Maluku tidak ada kendaraan, juga tidak cemburu.” Sebaliknya mereka yang punya kekayaan lain tapi mereka tidak cemburu dengan mereka yang menikmati pajak kendaraan,” tuturnya.

Artinya, daerah-daerah yang punya perusahaan negara besar seperti di Kalimantan Timur dan Aceh pantas menikmati hasil perusahaan itu.

Di Aceh, hasil penjualan gas arun  hanya sekitar satu persen yang diberikan.

Pak Syam  merasa heran melihat betapa sulitnya daerah mendapatkan laba dari perusahaan negara sementara “pengusaha kecil” di di daerah lain dengan mudah mendapatkan hasil laba itu.

Banyak tanya yang mengemuka dari durasi kuliah yang berjalan sembilan puluh menit itu.

Dan ada joke dari pertanyaan seorang murid wakil makasar yang membuat murid lainnya ketawa kecut.

Ia bertanya sembari memberi jawaban: Saya  belum percaya bahwa aceh tak hendak melepaskan diri dari indonesia.

Hahahaha…..

Begitu banyak pendapat yang didengarkan kalau tidak memuaskan, ya keterlaluan jugalah. []

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”