Oleh: Hasballah*)
BELUM lama ini Pemerintah Pusat melalui Kementerian BUMN mencanangkan program untuk menjadikan Aceh sebagai hub energi masa depan di Indonesia.
Hal tersebut disampaikan langsung oleh Presiden Jokowi didampingi Menteri BUMN Erick Tohir saat meresmikan Pabrik Pupuk NPK milik PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) di Krueng Geukueh, Aceh Utara, Jumat, 10 Februari 2023.
PIM bersama dua BUMN lainnya, Pertamina dan Pelindo serta satu BUMD Aceh (BUMA), yaitu PT Pembangunan Aceh (PEMA) telah membentuk konsorsium untuk mengembangkan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun Lhokseumawe, yang saat ini belum berjalan optimal. Ke depan KEK ini akan dikembangkan menjadi Klaster Industri Hijau atau Green Industry Cluster (GIC) untuk mendukung Aceh sebagai hub energi masa depan.
Gagasan presiden untuk menjadikan Aceh sebagai hub energi masa depan merupakan angin segar bagi masyarakat Aceh. Namun angin segar tersebut berlalu begitu saja, sampai saat ini kita belum melihat ada tanda-tanda yang menyegarkan bagi ekonomi Aceh.
Pemerintah Aceh dan PT PEMA harusnya berperan lebih aktif dalam mendukung gagasan tersebut, jangan terbuai dengan apa yang sudah ada dan telah dicapai sebelumnya, seperti alih kelola Blok B dan sulfur Blok A.
Energi Masa Depan
Mengutip yang disampaikan Direktur Utama PT Pupuk Indonesia, Bakir Pasaman, ada empat produk yang akan dikembangkan untuk mendukung pengembangan kluster industri hijau di KEK Arun yang sangat dibutuhkan sebagai sumber energi masa depan, yaitu: blue ammonia, green ammonia, biomethane dan gas alam (LNG).
Bagaimana dan dari mana sumber energi masa depan tersebut dapat dikembangkan? Berikut penjelasan singkat dan sederhana untuk memudahkan pemahaman agar kita dapat mengambil peran dan peluang.
Blue ammonia, ammonia (NH3) yang diproduksi menggunakan gas hidrogen (H2) dari hasil proses steam reforming bahan bakar fosil (gas bumi dan batu bara) dengan memanfaatkan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon atau Carbon Cupture and Storage (CCS).
Gas karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan ditangkap dan disimpan ke dalam reservoir di dalam perut bumi. Aceh memiliki reservoir besar di lapangan Arun yang akan kosong (depleted reservoir) dan dapat menampung CO2 lebih dari 900 juta ton. Pengembangan CCS Arun yang telah ditetapkan oleh pemerintah sangat mendukung pengembangan blue ammonia.
Green ammonia, ammonia yang diproduksi menggunakan gas hidrogen dari hasil proses elektrolisis air dengan memanfaatkan energi listrik dari sumber energi terbarukan (hidro, panas bumi, surya dan angin).
Proses ini tidak menghasilkan emisi gas karbon, namun membutuhkan energi listrik yang cukup besar. Aceh memiliki potensi listrik dari sumber energi terbarukan yang cukup besar mencapai 15 GW lebih. Potensi tenaga listrik ini sangat mendukung pengembangan green ammonia. Ammonia bersifat cair,mudah disimpan dan ditrasportasikan sehingga dipertimbangkan sebagai energi masa depan yang ramah lingkungan.
Biomethane, gas metan (CH4) atau biogas yang diproduksi melalui proses pencernaan anaerobik (anaerobic digestion) dari limbah organik seperti limbah pertanian, limbah perkebunan, limbah hutan, limbah pabrik kelapa sawit (PKS), dan lain-lain. Aceh memiliki lahan pertanian, perkebunan dan hutan cukup luas mencapai 2,9 juta hektare lebih serta jumlah PKS lebih dari 55 lokasi. Ini berpotensi menghasilkan limbah organik yang cukup besar. Biomethane disebut juga gas bumi terbarukan yang dapat diinjeksikan ke jaringan gas bumi yang ada dan merupakan salah satu alternatif energi masa depan yang ramah lingkungan.
Gas alam, merupakan gas bumi yang telah melalui proses pemurnian sehingga mengandung kadar gas metan yang cukup tinggi. Gas alam dapat dicairkan melalui proses cryogenicpada suhu mencapai -160 derajat Celcius, menjadi gas alam cair atau liquified natural gas (LNG). Aceh memiliki fasilitas kilang LNG yang cukup lengkap, berhenti operasi sejak tahun 2014 akibat kekurangan pasokan gas bumi. Penemuan cadangan gas bumi di Blok Andaman diharapkan dapat mendukung beroperasinya kembali kilang LNG tersebut. LNG juga dianggap sebagai salah satu energi masa depan yang ramah lingkungan.
Dunia saat ini sedang mengkampanyekan transisi energi dan Net Zero Emision. Ammonia dan LNG diharapkan dapat menggantikan energi fóssil minyak bumi dan batu bara yang mendominasi saat ini. Selain itu, ada beberapa jenis energi lain yang berpotensi dikembangkan di Aceh, yaitu biodiesel, bioethanol dan biomass yang juga ramah lingkungan dan dapat dipertimbangkan menjadi alternatif energi massa depan.
Biodiesel dapat diproduksi dari crude palm oil (CPO) hasil industri kelapa sawit. Aceh merupakan daerah penghasil CPO terbesar kedua di Sumatera.
Bioethanol dapat diproduksi di ataranya dari tanaman singkong atau jagung. Aceh memiliki lahan pertanian dan perkebunan yang cukup luas dan cocok untuk jenis tanaman tersebut. Sedangkan biomass dapat diproduksi dari hutan tanaman energi seperti jenis kaliandra, gamal, akasia dan pinus. Aceh memiliki hutan produksi dan hutan tanaman industri (HTI) yang cukup luas dan belum dikelola secara optimal. Ini dapat dikonversi dan dikembangkan menjadi hutan tanaman energi (HTE) untuk menghasilkan bahan baku biomass sebagai salah satu energi masa depan.
Aceh Sebagai Hub
Kebijakan pemerintah menjadikan Aceh sebagai hub sudah sangat tepat, mengingat letak geografis Aceh yang sangat strategis. Bahkan tidak hanya untuk hub energi, namun juga cocok sebagai hub pangan (frozen food, halal food, dan lain-lain).
Keberadaan KEK Arun yang sudah memiliki infrastruktur yang memadai sangat mendukung pengembangan hub energi masa depan. Selain itu juga dapat ditingkatkan menjadi hub pangan masa depan. Ini akan meningkatkan ketahanan energi (energy security) dan ketahanan pangan (food security) Indonesia dan negara-negara di sekitarnya.
Lalu apa dan bagaimana peran Pemerintah Aceh dalam mendukung gagasan dan kebijakan tersebut?
Secara potensi, Aceh jelas memiliki sumber energi yang melimpah tidak hanya terbatas pada minyak dan gas bumi saja, tetapi juga sumber energi terbarukan serta ketersediaan lahan yang cukup untuk pengembangan sumber energi terbarukan dan sumber pangan.
Pemerintah Aceh perlu memetakan potensi-potensi tersebut dan membuat arah kebijakan serta anggaran yang mendukung pengembangannya.
Secara regulasi, Aceh setidaknya telah memiliki regulasi yang mendukung seperti UU No. 11/2006 tentang Pemerintah Aceh, PP No. 23/2015 tentang Pengelolaan Migas Aceh, PP No. 5/2017 tentang KEK Arun Lhokseumawe, Qanun No. 4/2019 tentang Rencana Umum Energi Aceh (RUEA) dan Qanun Rencana Pembangunan Industri Aceh (RPIA) 2020-2040. Pemerintah Aceh perlu memanfaatkan regulasi yang sudah ada untuk mengembangkan potensi besar di bidang energi dan juga pangan.
Potensi dan regulasi merupakan dua prasyarat awal yang sudah dimiliki Aceh dalam menarik investasi untuk pengembangan ekonomi. Ditambah dengan kebijakan Aceh sebagai hub energi masa depan, Pemerintah Aceh perlu mempersiapkan diri dan berperan lebih aktif untuk mengembangkan potensi yang ada demi kemakmuran rakyatnya. []
*) Penulis adalah Ketua Lembaga Pengembangan Industri Aceh (LPIA)