“Pengkhianat…”  

 

SAYA tak tahu single lagu itu ditujukan ke siapa. Gak mau menerka-nerka. Usai kata: bajingan…” ramai di media sosial. Menjadi rebutan untuk diulas. Mendukung dan mencaci.. tambah memaki.

Saya takut kalau tulisan “antena pendek” ini diulas maupun didukung. Apalagi kalau ada caci memaki nantinya.

Single lagu itu judulnya: “pengkhianat.”  Band pengiringnya bernama: rodinda. Rodinda itu sendiri merupakan akronim romantisme, dinamika, dan dialektika.

Si pencipta lagu, yang leader plus vokalis. Ketika lagu itu diluncurkan delapan tahun silam si penulis liriknya mengungkapkan: “pengkhianat” adalah upayanya untuk mendalami sebuah teori tentang revolusi.

Teori setiap perubahan mendasar akan melahirkan pengkhianatan. Dalam revolusi  langkah pertama ciptakan siapa lawan dan siapa kawan.

Nah, pengkhianat itu yang paling berbahaya karena muncul di garis belakang. Menikam perjuangan.

‘Pengkhianat’ sebenarnya merupakan pembelajaran atau pencerahan politik yang bukan dikhususkan untuk orang tertentu. Ia hanya penyebaran gagasan tentang revolusi dan anak muda.

Lewat lagu penyebaran gagasan merupakan cara mudah dimengerti anak muda. Ya, caranya lewat penuturan bahasa lagu. “Itu cara romantika,” kata si penuisnya.

Romantika di nada pertama single “pengkhianat” ini bisa diartikulasikan sebagai prakata dalam mengubah keadaan yang buruk menjadi baik.

Bagi saya kalau hanya membaca judul, menikmati nyanyian plus menghentakkan kaki sembari bergoyang dalam iringan musik beirama metal itu saya so pasti mengakhiri tulisan ini. Stop.. hentikan…

Lagu yang lebih keras dan dahsyat dari itu pernah mengisi memori saya. Hingga kini.. Dari “the beatle” hingga “rolling stone.”  Vokalisnya John Lennon dan Mick Jagger. Yang Anda sendiri tahu bagaimana hentakan suara petikan bas-nya.

Musiknya sendiri ketika mengisi memori remaja saya dipinggirkan lewat kata slogan: ngak..ngik..ngok.

Ngak ngik ngok yang piringan hitamnya dibakar. Dan lagu-lagunga di “blacklist.” Dibrangus  untuk dinyanyikan di panggung.

Kalau hanya patokan dari sisi lagunya, “pengkhianatan” masih jauh di bawah the rolling stone . Masih di bawah ambang batas. Baik dari musik maupun lirik dan syairnya. Gak ada gebrakan. Dan gak pernah muncul kepermukaan.

Khusus untuk lagu “pengkhianat” ini saya tak ingin stop untuk menulis.

Lagu ini sudah sepekan terakhir kembali mengisi laman media. Di “upload” dengan view berjubel oleh banyak komunitas.

Bukan hanya komunitas musik. Terbanyaknya komunitas politikus dari suara berseberangan. Dikomentari dengan nyinyir. Dikait-kaitkan dengan kondisi jumpalitan “road map” politik.

Ditudingkan lewat ujung jemari telunjuk ke satu nama. Yang saya tak perlu harus menuliskannya karena begitu banyak “rilis” yang membantahnya. Dan di sana Anda tahu sendiri namanya.

Saya mencari lilitan akar yang menyebabkan lagu “pengkhianat” ini rimbun bak tanaman akar merambat di pemberitaan media. Media sosial dan mainstream.

Saya sertakan satu bait bunyi liriknya agar Anda gak panasaran:

“dasar kau pengkhianat

pengkhianat berwajah santun

dasar kau pengkhiatan

lihatlah kau berbuat tebarmu”

Dari baik ini Anda tentu sudah bisa menekukkan kepala sembari mengangguk.

Untuk bait lain dari liriknya Anda cari sendiri… Banyak kok di online, medsos . Untuk lengkapnya dengarkan lirik dan musiknya secara utuh dari youtube. Jangan sepotong-sepotong.. Plass…

Bagi saya usai mendengar lagunya ada yang gak plass—nya. Gak plas.. itu dari kata-kata “tempus abire tibi est.” Kamu sudah saatnya pergi…

“Tempus abire tibi est” itu dalam satu bait diulang tiga kali. Karena ia bagian dari refrain maka pengulangannya bisa dua kali lipat. Jadi enam kali.

Kata-kata inilah yang membuat saya curiga. Kata-kata yang maknanya sangat filosofis. Kutipan dari akar kata yunani. Masuk dalam lingkar ilmu filsafat. Ilmu tasauf.

Kalau Anda gak percaya tanyakan saja ke guru filsafatnya: Rocky Gerung. Pasti akan panjang-panjang dan panjang uraiannya. Tapi awas… jangan kaitkan dengan heboh yang belum usai itu…

Saya gak mau bertanya ke Gerung. Gak kenal secara personal. Juga takut titik..titik..

Secara bodoh-bodohan saya mengklak..klik.. lewat mesin pencari google search. Memang gak utuh jawabannya. Tapi lebih dari cukup untuk lanjut ke tulisan ini.

Kata-kata itu terdapat di salah satu puisi karya Horace. Horace adalah sastrawan roma di era sangat lalu. Era kaisar agustus berkuasa. Nyanyian puisinya bergaya satire.

Puisi itu puji-pujian kepada kaisar. Kaisar yang setiap pulang membawa kemenangan dari medan perang. Puisi-puisi itu hakekatnya kemuakan terhadap semua kejayaan yang telah dicapai roma.

Kejayaan yang ujungnya harus berakhir. Sebenarnya bait-bait puisi horacus itu  menggambarkan restropeksi dan instrospeksi yang mendalam mengenai kehidupan.

Rangkaian kata yang menjadi kalimat: tempus abire tibi est itu hakikinya  dimunculkan setelah ungkapan pujian atas capaian-capaian yang gemilang kekaisaran roma.

Nasihatnya mengenai ketidakberartian capaian tersebut dibanding kenyataan hidup yang senantiasa mengenal batas.  Seperti minum anggur, kita tidak mungkin bisa minum sebanyak-banyaknya.

Ada batas di mana kita tidak bisa minum lagi. Saat itulah waktu yang tepat untuk pergi. Waktu yang tepat untuk mengakhiri.

Bahwa kita telah menang, itu bukan tanda bahwa kita dapat terus melakukan hal yang sama. Justru kemenangan terkadang adalah sebuah isyarat kita harus berhenti.

Lantas apa yang menyebabkan lagu “pengkhianat” yang dikaitkan dengan kekaisaran roma itu banyak diunggah dalam sepekan terakhir?

Muasal sebabnya: lagu itu milik Prananda. Nama lengkapnya Prananda Prabowo Soekarno. Sering disapa Nanan. Nah… Anda pasti mendehem. Trahnya proklamator.

Persisnya anak kedua dari si mbak. Megawati. Dari suami pertamanya. Lettu Penerbang Surindro Supajarso yang pesawatnya jatuh di Papua. Suami sebelum Mega nikah dengan Taufik Kiemas.

Prananda bukan figur politisi. Ia sering memperkenalkan diri sebagai seorang musisi rock menggawangi grup band beraliran musik cadas. Metal…

Karena ia Prananda tentu  lirik itu dihubungkannya dengan situasi politik terakhir. Ketika ada pemindahan dukungan dari seorang petugas partai.

Padahal bisa saja bukan. Bisa saja ada maksud yang lain.

Siapa tahu lirik itu hanya ditujukan ke tokoh siapa saja.  Bisa saja ke Anda. Atau jangan-jangan  ke tokoh di dunia lain. Dunia antah berantah. Sebab dunia kita sekarang ini kan semacam di negeri antah berantah.

Saya punya saran: sebaiknya  jangan ada yang tersinggung. Apalagi, liriknya gak ada perubahan satu huruf pun  saat lia di unggah pertama kalinya ditahun dua ribu lima belas. Setahun setelah presiden petugas partai dilantik

Saya tidak mencatat di ingatan tentang tahun itu. Rasanya tidak ada.  Si pemilik lagu pun  tidak pernah punya keinginan masuk dalam daftar kabinet baru.

Prananda tidak kelihatan punya ambisi politik. Di partai milik sang ibu pun ia tidak pernah mencari panggung. Apalagi dipanggungkan. Padahal jabatan dalam partai sangat tinggi: salah satu ketua.

Terlepas dari semuanya bagi saya lagu dari Prananda termasuk genre sarkasmes. Juga “pengkhianat”

Sebagai  penyuka aliran musik cadas dan fans berat band asal inggris. “iron maiden,” dia juga jago bermain bas. Mungkin Prananda merupakan penggabungan bakat seorang seniman dengan ideologi kakeknya.

Band-nya selama ini juga disebutkan kerap membawakan lagu-lagu bertema nasionalisme sebagai pesan kepada anak muda agar memelihara rasa patriotisme.

Era ketika kegelisahan  ketika rakyat ditipu oleh para birokrat, para penggede, rakyat susah dan penggede berfoya-foya.

Dijalanan terjadi bagaimana rakyat harus bergerak dan berdinamika untuk membangun sebuah sistem yang partisipatif Ia berharap rakyat harus punya cara menentukan nasibnya sendiri.

Saya tak tahu apakah ‘pengkhianat’ yang  ia maksud untuk ditudingkan ke seorang…..Mungkin tidak juga  tidak menunjukkan kepada siapapun.

“Mas Nanan itu sahabat semua orang. Yang melintir itu kan orang yang tidak mengerti. Maklum, sekarang ini masyarakat terbelah di dua  sisi, Sisi  pendukung dan lainnya pembenci Jokowi,” kata seorang sahabat Prananda.

Lah.. nyatanya dua kelompok ini kok langsung suuzon…[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”