Ekonomi Aceh Sulit Tumbuh Jika Kondisi Lingkungan Tetap Buruk

TM Zulfikar

PERTUMBUHAN ekonomi Aceh yang bertumpu pada empat sektor yaitu pertanian, pariwisata, pertambangan, dan industri pengolahan sulit tercapai apabila kondisi lingkungan hidup di Aceh buruk. Pendapat bernada pesimis itu diutarakan pemerhati lingkungan Aceh yang juga Dosen Prodi Teknik Lingkungan Universitas Serambi Mekkah (USM), TM Zulfikar ketika bincang-bincang dengan Nasir Nurdin dari Portalnusa.com, Jumat, 15 September 2023.

TM Zulfikar mengutip apa yang pernah disampaikan Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Aceh, Achris Sarwani kepada media.



Menurut Achris yang mengakhiri tugasnya di Aceh pada 12 Juni 2023, ada empat sektor usaha yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi Aceh pada 2023 ini, yakni pertanian, pariwisata, pertambangan, dan industri pengolahan.

Sektor pertanian dan pariwisata merupakan sektor prioritas yang perlu menjadi perhatian pemerintah daerah untuk memitigasi risiko pada lapangan usaha tersebut. Sedangkan sektor usaha pertambangan dan industri pengolahan merupakan sektor potensial yang harus terus ditingkatkan.

Apa yang dikatakan Achris Sarwani, menurut TM Zulfikar sulit tercapai apabila kondisi lingkungan hidup di Aceh buruk, tidak sehat dan tidak lestari.

“Bayangkan, bagaimana mungkin kita mendorong pertumbuhan ekonomi dari sektor pertanian, pariwisata, pertambangan dan perindustrian apabila kondisi lingkungan yang buruk tersebut dibiarkan berlarut-larut,” katanya.

Kondisi ril saat ini, lanjut pria yang akrab disapa TM tersebut, kerusakan hutan masih terus terjadi, banjir sudah menjadi langganan bukan cuma tahunan tetapi sudah bulanan, lalu krisis air juga sudah mulai dirasakan.

“Kerusakan lingkungan bukan cuma di darat dan di dataran tinggi (bagian hulu) melainkan juga di wilayah pesisir dan kelautan. Kondisi ini perlu penanganan segera,” tegasnya.

TM menggambarkan kondisi hutan dan lingkungan di Aceh belum baik, di mana kerusakan hutan dan lahan masih saja terjadi di hampir seluruh wilayah ekosistem yang ada di Aceh.

Dia mencontohkan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang berisi hampir separuh luas wilayah Aceh sampai saat ini belum ada jaminan bagaimana upaya kelola yang seharusnya dilakukan. Padahal Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) No. 11 Tahun 2006, khususnya pada Pasal 150 ayat (1) telah menegaskan bahwa Pemerintah telah menugaskan Pemerintah Aceh untuk melakukan pengelolaan KEL dalam bentuk perlindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi kawasan dan pemanfaatan secara lestari.

“Menurut saya Pemerintah Aceh masih abai akan hal ini. Buktinya, dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh Tahun 2013-2033 hal yang sebenarnya begitu urgen untuk pembanguna Aceh tidak diakomodir,” ungkapnya.

Oleh karena itu, lanjut TM, dalam pelaksanaan revisi atau penyusunan baru dokumen RTRW Aceh yang sedang digodok saat ini oleh eksekutif dan legislatif harus diakomodir menjadi bagian penting dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh, termasuk juga wilayah ekosistem penting lainnya di Aceh.

Revitalisasi pusat pertumbuhan

TM Zulfikar yang juga Koordinator Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) Aceh dan Direktur Eksekutif Walhi Aceh Tahun 2010-2013 mengatakan, terkait keempat sektor pendukung perekonomian Aceh, Pemerintah Aceh harus segera merevitalisasi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dengan tetap memastikan kelestarian fungsi lingkungan di berbagai wilayah.

“Biar bagaimanapun iklim investasi yang baik perlu didukung oleh situasi dan kondisi iklim lingkungan hidup yang baik, sehat dan lestari,” tandasnya.

Pada sektor usaha pertanian, perlu diperhatikan bagaimana pemerintah memastikan kondisi ketersediaan sumber air di tengah kondisi iklim yang tidak menentu.

Harus dipastikan irigasi benar-benar berfungsi secara baik. Karena pada kenyataannya banyak irigasi, waduk dan embung justru kering di saat musim kemarau dan meluap saat musim hujan. “Kondisi ini sangat mengganggu program ketahanan pangan,” ujarnya.

Pada sektor pariwisata, lanjutnya, banyak lokasi di Aceh seyogyanya dapat dikembangkan sebagai ekowisata, namun kondisi di lapangan justru tidak mendukung dari sisi fasilitas.

Kemudian pada sektor pertambangan, masih banyak yang harus diperhatikan, terutama pada sisi tata kelola pertambangan.

Tata kelola tambang di Aceh juga masih belum baik, protes dari masyarakat karena kerusakan lingkungan masih sangat tinggi, begitu juga konflik antara masyarakat dengan perusahan masih kerap terjadi.

Yang terakhir, sektor industri pengolahan. Dia malah mempertanyakan apa yang mau diolah? Sawit saja bahan bakunya banyak diproduksi di Aceh, tapi diolah di luar Aceh, begitu juga dengan berbagai bahan baku di sektor lainnya seperti perikanan, perkebunan kecil, peternakan, dan berbagai industri lainya.

“Tidak usah jauh-jauh, telur dan ayam saja masih lebih banyak dikirim ke Aceh dari Sumut atau provinsi lainnya. Hingga saat ini belum ada contoh sukses dalam hal pertumbuhan ekonomi di daerah ini. Miris memang,” demikian TM Zulfikar.[]