PORTALNUSA.com | BATAM – Pulau Rempang memiliki luas wilayah 16.583 hektare. Pulau itu terdiri dari dua kelurahan, yakni Rempang Cate dan Sembulang. Keduanya masuk dalam wilayah Kecamatan Galang, Kota Batam, Kepulauan Riau.
Sejak Kamis, 7 September 2023 Rempang bergolak. Bentrok terjadi antara warga Pulau Rempang, dengan tim gabungan yang terdiri TNI, Polri, Direktorat Pengamanan Badan Pengusahaan (BP) Batam, dan Satpol PP.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, ada 7.512 jiwa yang tinggal di Pulau Rempang. BP Batam berencana merelokasi seluruh penduduk Pulau Rempang untuk mendukung rencana pengembangan investasi di pulau tersebut.
Rencananya di Pulau Rempang akan dibangun kawasan industri, jasa, dan pariwisata dengan nama Rempang Eco City.
Proyek yang digarap PT Makmur Elok Graha (MEG) itu ditargetkan bisa menarik investasi hingga Rp 381 triliun pada tahun 2080. Namun rencana tersebut mendapat penolakan warga di sana yang mayoritas adalah keturunan Melayu.
Rempang Eco City akan menjadi lokasi pabrik yang dioperasikan oleh produsen kaca Cina, Xinyi Glass Holdings Ltd. Perusahaan itu pun telah berkomitmen untuk membangun pabrik pengolahan pasir kuarsa senilai US$11,5 miliar di taman tersebut dan menjadikannya sebagai pabrik kaca kedua terbesar dunia setelah di Cina.
“Jadi di luar Cina ini pabrik yang besar dan produknya itu pabrik kaca untuk berbagai macam jenis dan solar panel,” kata Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia saat rapat kerja dengan Komisi VI DPR, Jakarta, dikutip Kamis, 14 September 2023.
Bahlil mengakui, dialah yang menandatangani nota kesepahaman dengan pihak investor untuk pembangunan pabrik di Rempang.
Menurutnya, ini semata demi kepentingan negara untuk mendorong hilirisasi dan peningkatan pendapatan negara dari sisi nilai ekspor.
Soal harkat dan martabat
Tokoh warga Pulau Rempang, Gerisman Ahmad mengatakan, di Pulau Rempang terdapat 16 kampung tua atau permukiman warga asli.
Warga asli tersebut terdiri suku Melayu, suku Orang Laut, dan suku Orang Darat yang diyakini telah bermukim di Pulau Rempang sejak tahun 1834.
Gerisman Ahmad mengatakan penolakan warga terhadap penggusuran kampung adat adalah harga mati. Menurutnya hal tersebut menyangkut harkat dan martabat orang Melayu.
Dikutip dari laman Kompas.id, Gerisman mengatakan, 16 kampung tua di Pulau Rempang luasnya tak sampai 10 persen dari total luas pulau yang mencapai 16.583 hektare. Ia meminta pemerintah membangun kawasan investasi terpadu di Rempang tanpa menggusur kampung-kampung tua itu.
Sementara itu, pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjung Pinang, Muhammad Syuzairi sebelumnya mengatakan, sesuai namanya, Rempang Eco City seharusnya pembangunannya tak boleh meminggirkan warga.
Menurutnya, pembangunan harus berkelanjutan dan warga tak boleh hanya menjadi penonton.
”Seharusnya pemerintah bisa mendorong perusahaan supaya merangkul kampung-kampung tua menjadi kampung wisata. Warga harus diberdayakan, jangan malah disisihkan,” kata Syuzairi.
Menurut Kemendikbud, Pulau Rempang termasuk juga Pulau Galang awalnya tidak masuk dalam Otorita Batam dan merupakan bagian dari Pemerintah Daerah Riau.
Namun setelah dikeluarkannya Kepres No. 28 Tahun 1992, wilayah kerja Otorita Batam diperluas meliputi wilayah Pulau Batam, Pulau Rempang, Pulau Galang dan pulau-pulau sekitarnya.
Pulau Rempang terhubung dengan pulau-pulau lain seperti Pulau Batam, dan Galang melalui Jembatan Barelang. Jembatan ini adalah jembatan yang saling sambung-menyambung dan dibangun untuk memperluas Otorita Batam sebagai regulator daerah industri Pulau Batam.
Nama Barelang adalah singkatan dari Batam, Rempang, dan Galang. Jembatan menghubungkan sejumlah pulau di Provinsi Kepulauan Riau, yaitu Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru.[]