TIGA hari sebelum kepergiannya saya besuk. Sabtu usai zuhur. Saya memang terlambat tahu: ia dalam perawatan di rumah sakit.
Saya juga terlambat tahu ternyata ia sudah meninggal dunia. Berarti, hanya tiga hari setelah saya besuk. Besuk yang didahului sapaan.
“Di ruang zamzam dua kamar nomor enam,” katanya ketika saya “say hello” sehari sebelum jadwal menjenguknya. Di hari Jumat sore.
“Say hello” itu saya layangkan karena kehilangan kontak selama dua pekan. Yang menerima “say hello” itu istrinya. Yang saya sapa dengan Kak Ani. Sapaan itu diteruskan kepadanya.
Lantas tang..ting.. tong… Saling tanya dan jawab. Saling tukar informasi dan klarifikasi. Tak ada yang berubah dari intonasi bicaranya. Masih runut kalimat per kalimat. Ada tambahan khas: ceplosannya.
Yang khas ini memang sejak dulu. Sejak dia masih aktifis pelajar hingga menjadi “orang.” Entrepreneur. Pengusaha yang “aktifis.”
Sampai di hari ia “pergi.”
Hari ia pergi saya dalam perjalanan. Perjalanan ziarah. Di perjalanan saya menerima sebuah share pesan whatsapp. Pesan berantai.
Pesan yang teksnya: Innalillah wainalilahi rajiun. Telah meninggal dunia M Dahlan Sulaiman. Mantan ketua Kadin. Meninggal malam di rsuza sekitar pukul 21.30 wib. Info dari Marzuki Sulaiman adik beliau.
Pesan itu disertai fotonya. Saya di perjalanan itu galau. Terhenyak, kaget, tak percaya, sedih, campur aduk tak bisa saya rumuskan tatkala menerima pesan.
Galau karena dua pekan sebelum hari besuk itu ia telah memberi tahu akan ke Kuala Lumpur. “Ada masalah dengan jantung saya,” katanya ketika itu. Saya tahu ia punya masalah dengan jantungnya.
Pernah kronis. Di “by pass.” Itupun ceritanya panjang. Sepanjang jalan Penang – Kuala Lumpur ketika ia harus menempuh perjalanan lewat nang..ning..nong.. ambulans.
Di hari saya besuk ia mengeluh kakinya terasa nyeri. Sulit digerakkan. Harus dibantu untuk diluruskan. Kehilangan rasa. Kebas.
Di hari itu pula saya tidak hanya sekadar besuk. Saya membawa kekayaan pengalaman perjalanan hidupnya. Yang sedemikian lengkap. Saya kemas dalam keranjang bolong.
Yang bolong-bolong itu ditutup. Dia luruskan. Sehingga lengkap. Kalau dibuatkan buku bisa beberapa episode. Karena waktu yang dibutuhkan untuk melar hingga empat jam.
Yang saya tahu dari pengalaman badan, pikiran, roh, tiada terhingga. Tidak mudah bahasa mengungkapkan ke-tak-terhingga-an pengalaman itu.
Seperti saat ini ketika saya menulis sahabat, saudara saya itu.
Sahabat saya mengenalnya sudah sejak tahun seribu sembilan ratus enam puluh delapan. Itu sudah lima puluh tahun lalu. Sering berjumpa ketika sedang aksi pelajar masih belum padam.
Usia saya tak terpaut jauh darinya. Hitungan jari untuk tahunnya. Saya menyapanya dengan panggilan abang. Ia, sejak dulu, selalu menyebut saya adinda. Ia memperlakukan saya sebagai teman sejawat.
Saya dan dia terus memelihara komunikasi. Segalanya. Konteksnya selalu aktual. Bahkan yang comberan pun kami bincangkan.
Terakhir kami bicara panjang tentangi kasus Imam Masykur. Yang kami perbincangkan dalam konteks anak muda Aceh secara menyeluruh. Ada kecemasan. Kekhawatiran tentang masa depan mereka.
Dan di hari-hari, bulan dan tahun terakhir topik yang tak pernah alpa untuk perbincangan berada dalam lingkup kemiskinan entrepreueur. Aceh seperti kehilangan jati diri ke-wirausaha-an.
Perbincangan itu selalu saya pindahkan ke kolom-kolom penulisan. Dalam bentuk esai. Yang isinya konfrontasi gagasan sosial-politik dan ekonomi.
Menggugat yang mapan. Menghibur yang lemah.
Komunikasi saya dengannya pernah hang. Terputus. Tapi terjalin kembali di beberapa tahun silam. Saya ingat betul saat ia menyapa lewat aplikasi facebook. Saat saya di dago bawah. Bandung.
Saat saya sedang mencari tempat parkir untuk makan siang. Makan karedok khas sunda. Yang sepanjang suapan makan itu saya terus ceplas ceplos dengannya hingga baju saya balepotan oleh semburan kuahnya.
Sejak itulah komunikasi saya dengannya terjalin kembali. Sangat intens. Beberapa kali kami ketemuan face to face. Acapkali pertemuan itu melewati batasan normal. Berjam-jam.
Ia menghadiahkan saya tentang pengalamannya. Dedikasinya terhadap negeri ini. Saya juga demikian. Membagi apa yang saya tahu dari endapan pengalaman.
“Adinda, bagi seorang penulis tak ada kata pensiun. Teruslah menulis.”
Ia pun selalu tertawa kalau mendesak saya untuk terus menulis.
Sebagai balasnya, saya katakan, bagi saya dorongan itu akan saya pegang. Sebab itulah lahan saya untuk mengemukakan gagasan. Mengkrontasikannya dengan kondisi yang ada.
Secara personal di awal saya kenal dengannya hubungan itu tak dekat-dekat amat. Saling menyapa saja dan bertukar kabar. Kontak saya dengannya lebih dalam sejak saya disuruh menulis di media senin kempisnya: Berjuang.
Yang semula memakai nama “kappi berjuang.”
Banyak hal yang saya ingat tentang Dahlan.
Bagi saya ia adalah anak zamannya. Di setiap zaman, ada segolongan manusia yang paling mudah ikut arus kekuasaan: para pengusaha.
Banyak juga yang berpolitik, tapi dalam jubah pengusahanya, mereka tak akan berani berhadapan dengan penguasa.
Dahlan tidak. Ia pengecualian. Ia memilih jalannya sendiri: pengusaha.
Lelaki ini adalah pemilik usaha distributor semen Pria kelahiran Lhoknga itu salah satu entrepreneur sukses.
Rumahnya di kawasan Lam Jamee, menempati areal yang luas.
Dahlan adalah contoh orang yang punya keinginan kuat. Kerja keras. Hemat. Ngotot. Sukses.[]
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”